God Spy

Minggu, 01 Maret 2009

Teologi Moral 1

Analisa Kasus Padre Amaro dari Sudut Pandang
Moral Kristiani



1. Gambaran Singkat Film “The Crime of Padre Amaro”

Film "The Crime of Padre Amaro" ini menceritakan tentang Padre Amaro, seorang pastor muda yang tugas pertamanya adalah melayani gereja di Los Reyes, sebuah kota kecil di Meksiko. Ia sangat berambisi untuk mengabdi pada Tuhan dan membantu orang-orang di kampung tempat dia bekerja. Sayangnya, di saat ia sedang ingin menjalankan niat baiknya itu, ia “tergoda” oleh seorang gadis yang bernama Amelia. Sebenarnya Amelia sudah punya seorang kekasih namanya Ruben. Karena Pastor Amaro sangat tampan dan kelihatan begitu baik, Amelia memutuskan untuk meninggalkan Ruben dan mulai mendekati pastor tersebut. Awalnya Father Amaro tidak tergoda, tapi karena didukung oleh situasi dan Amelia yang semakin agresif, akhirnya hubungan mereka semakin dekat dan mulai mabuk dalam hubungan romantis. Pasangan yang mabuk asmara dan lupa segalanya itu mulai melakukan hubungan layaknya suami-istri. Kenikmatan semu itu semakin sulit dilepaskan. Sampai akhirnya mereka mulai merasakan akibat yang menjadi buah hubungan mereka. Dan kehamilan Amelia kini menjadi tanggungan yang harus mereka pikul. Tidak hanya itu kejahatan berzinah yang dilakukan oleh Pastor Amaro ini akhirnya mulai berentet ke kejahatan-kejahatan lain seperti melakukan berbagai muslihat dan kebohongan demi menutupi hubungannya dengan Amelia. Semuanya ini membuat keadaan mereka semakin rumit. Mereka semakin sulit lepas masalah tersebut.
Padre Amaro dilanda kebimbangan ketika ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia masih ingin mempertahankan imamatnya dan memperjuangkan impiannya untuk melanjutkan studi. Sehingga kemudian ia meminta Amelia untuk kembali kepada Ruben, mantan kekasihnya. Namun Ruben menolak karena ia tidak lagi mencintai Amelia. Padre Amaro pun tambah bingung harus harus berbuat apa. Karena kehamilan Amelia tidak diketahui oleh orang lain, maka Padre Amaro akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan aborsi sebagai jalan keluarnya. Namun pada akhirnya Amelia meninggal dalam proses pengguguran kandungannya. Ia mengalami pendarahan yang hebat yang kemudian merenggut nyawanya.

2. Analisa Perbuatan Moral Padre Amaro

2.1. Tindakan Moral Padre Amaro
Dalam menganalisa tindakan moral yang dilakukan oleh Padre Amaro, kita tidak hanya melihat dari sudut perbuatan itu sendiri, tetapi juga perlu melihat faktor-faktor yang berpengaruh didalamnya. Secara objektif tindakan Padre Amaro adalah tindakan yang bertentangan dangan moral kristiani atau boleh disebut tindakan buruk secara moral. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut:

2.1.1. Zinah
Sebagai seorang manusia, Padre Amaro tentunya tidak luput dari pengalaman jatuh cinta atau rasa tertarik terhadap lawan jenis. Namun sebagai seorang imam, status keimaman dengan sendirinya sudah menjadi norma yang mengikat hidupnya. Kesucian imamatnya menuntut penyerahan dirinya yang total demi kerajaan Allah. Sehingga hidup selibat sudah secara otomatis menjadi norma yang harus dihayati oleh setiap imam. Dalam hal ini, setiap imam yang telah mengikat diri dengan Tuhan dengan tahbisan imamat, tentunya tidak lagi melihat rasa tertarik dengan lawan jenis dan keinginan lainnya sebagai suatu perasaan yang harus dipenuhi, tetapi sebagai perasaan manusiawi yang justru semakin menyadarkan dirinya pada keimamannya. Padre Amaro dengan bebas mengabdikan diri demi kerajaan Allah dengan menerima tahbisan imamat, dengan demikian ia juga harus bebas dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang imam yang berselibat.
Dengan situasi yang ada Padre Amaro terjerumus oleh pemenuhan hasrat manusiawi. Tanpa pertimbangan yang matang ia malah melampiaskannya dalam tindakan seksuil dengan Amelia. Tindakan amoral hubungan di luar nikah yang dilakukan oleh Padre Amaro bukan menodai kesucian sebuah perkawinan, tetapi juga menodai kesucian keimamannya. Tidakan percabulan ini tentunya menjadi tanggung jawab yang besar bagi Padre Amaro bukan hanya karena dilakukan di luar nikah, tetapi karena dilakukan oleh seorang imam yang membaktikan diri untuk hidup murni. Dan Padre Amaro pastinya tahu bahwa tindakan zinah merupakan tindakan yang dilarang oleh Tuhan sendiri (bdk. Ul 5: 18; 5: 27).
Seksualitas manusia adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang indah. Tidak ada jejak dosa di dalamnya. Seks berfungsi sebagai sarana untuk menyatukan dan memperoleh keturunan, dalam hubungan pria dan wanita untuk menjadi ‘satu daging’. Sehingga kesucian hubungan seks itu hanya ditampakan dalam suatu ikatan perkawinan. Ketika hubungan itu rusak oleh seks pra-nikah atau seks di luar nikah seperti yang dilakukan Padre Amaro, sebenarnya tindakan itu sudah merupakan dosa zinah. Dan hubungan seks pra-nikah Padre Amaro tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran tentang pengungkapan rasa cintanya pada Amelia. Mgr. Andre Leonard dalam Yesus dan tubuhmu-tuntunan Moral seksual bagi kaum muda mengungkapkan bahwa dalam percabulan hubungan seksual hanya membuka jalan bagi pelampiasan cinta atau pencarian kenikmatan erotis, dan bukan ungkapan penyerahan diri dari seseorang kepada yang lain secara definitif. Seksualitas semacam ini lepas dari kebenaran kristiani tentang cinta dan tuntutan-tuntunan yang bersumber dari padanya: orang mengambil kesempatan yang ditawarkan orang lain kepadanya untuk saling menikmati sesaat diri mereka masing-masing, akan tetapi dia tidak lagi menyerahkan secara total kebebasannya, dengan jiwa-raganya.[1]

2.1.2. Pembunuhan
Hak pertama pribadi manusia ialah hak atas hidup. Gereja begitu menghargai kehidupan manusia, pro life. Hak hidup manusia lebih diutamakan dalam setiap norma hukum Gereja. Terlebih juga larangan membunuh merupakan pertintah Tuhan sendiri (bdk. Ul 5: 17; Mat 5: 21-22). Sehingga Gereja dengan tegas menentang segala bentuk tindakan yang menghilangkan atau merusak nilai-nilai kehidupan manusia. Bentuk tindakan tersebut bukan hanya penghilangan nyawa manusia atau pembunuhan, tetapi juga berbagai tindakan lain yang “membunuh” martabat manusia sehingga ia tidak lagi dianggap manusia seperti perdagangan manusia yang kerap terjadi dewasa ini.
Begitu juga dengan kehidupan bayi dalam kandungan, posisi Gereja cukup tegas terhadap hidup manusia yang berada dalam kandungan. Gereja memberlakukannya sebagai makhluk manusia baru yang punya hak hidup seperti layaknya manusia. Memang menjadi problem sampai saat ini adalah menentukan sejak kapan manusia itu terbentuk dalam kandungan. Atau, kapan pertemuan sel sperma dan sel telur itu dianggap atau dikatakan sudah menjadi manusia. Dalam hal ini Gereja cukup tegas dan konsisten dalam mengambil keputusan. Dikatakan bahwa sejak pembuahan sel telur sudah mulailah hidup yang bukan hidup ayah atau ibu, melainkan hidup makhluk manusiawi baru yang tumbuh karena diri sendiri. Ia tidak pernah menjadi manusiawi bila tidak sudah manusiawi sejak waktu itu.[2]
Dalam kasus aborsi yang dilakukan oleh Padre Amaro, kita dapat menilai bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan penghilangan hidup atau nyawa manusia. Dengan alasan apa pun, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Dalam kasus ini beban moral yang ditanggung Padre Amaro tentunya berbeda dengan umat biasa, karena statusnya sebagai seorang imam. Sebagai seorang imam, ia pasti punya pengetahuan lebih tentang moralitas aborsi dibandingkan umat biasa. Sehingga bila tindakan aborsi tetap terjadi, tanggung jawab yang dikenakan pada Padre Amaro tentu lebih berat.

2.1.3. Dusta
Berdusta berarti tidak mengungkapkan suatu kebenaran. Apa yang dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang ada. Karena tidak mengungkap kebenaran maka secara moral tindakan dusta merupakan tindakan yang buruk. Perbuatan dusta juga menunjukkan ketertutupan diri terhadap sesama dan Tuhan sendiri.
Tindakan dusta yang dilakukan Padre Amaro memiliki tujuan agar hubungan gelapnya dengan Amelia tidak diketahui oleh orang lain. Maksud dari tindakan dusta yang dilakukannya adalah mempertahankan hubungan gelap tersebut. Kita ketahui bahwa hubungan tersebut tidak dapat dibenarkan, lebih-lebih karena Padre Amaro adalah seorang imam. Dan tindakan dusta itu sendiri merupakan tindakan yang bertentangan dengan perintah Tuhan sendiri atau dengan kata lain merupakan tindakan yang buruk (bdk.Ul 5: 20; 5: 33-37). Suatu maksud yang tidak baik dilakukan melalui tindakan yang tidak baik pula merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara moral.

2.2. Norma Moral: Hukum dan Hati Nurani
Norma moral yang rasional selalu memiliki ciri khas ganda. Pertama norma tersebut bersifat objektif bila dilihat dari dimensi sosial. Hidup sosial membentuk nilai moral untuk tujuan dasar hidup bersama manusia. Aspek keumuman dalam struktur dasar keberadaan manusia patut mendapat pertimbangan atau perhatian. Norma moral objektif ini dapat berupa ketentuan hukum yang mengatur suatu komunitas. Dan Yang kedua norma moral juga dapat bersifat subjektif bila suatu keputusan menyangkut pribadi. Karena manusia tidak selalu tergantung pada norma moral objektif. Seseorang dapat mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan hati nurani. Hati nurani inilah yang menjadi norma moral subjektif dalam pengambilan suatu keputusan dan tindakan. Hati nurani moral dipandang sebagai norma terakhir, sehingga manusia seharusnya mengikuti hati nurani yang dinilai baik dan menjauhi yang dianggap jahat.[3]
Bila kita menganalisa tindakan moral yang dilakukan Padre Amaro tentunya peran norma moral baik yang bersifat objektif maupun subjektif patut mendapat perhatian. Sebagai seorang imam, ia tentunya terikat dengan norma hukum Gereja dan juga norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat dimana ia bekarya. Fungsi hukum manusiawi atau hukum yang berlaku dalam masyarakat tentunya bertujuan untuk kebaikan bersama, sehingga dapat menuntun orang pada kebaikan yang otentik. Karena masyarakat dimana Padre Amaro bekarya kental dengan budaya kristiani, hukum-hukum yang berlaku tentunya juga dipengaruhi oleh hukum moral yang ada dalam Gereja. Di sini hukum Gejera melarang umat terlebih para selibater berhubungan seks di luar nikah. Gereja juga sangat menentang tindakan aborsi. Norma hukum Gereja tersebut tentunya dipandang baik, karena kehidupan manusia begitu dihargai dan dilindungi. Padre Amaro tentunya sudah tahu akan hal-hal yang dilarang oleh Gereja. Apalagi sebagai seorang imam pastinya ia sudah mendapat pengetahuan lebih tentang hukum Gereja. Seharus ia tidak boleh melakukan tindakan seks di luar nikah, apalagi pengaborsian.
Peran hati nurani sebagai norma subjektif juga berperan penting dalam penilaian tindakan moral Padre Amaro. KV II melalui GS 16 melukiskan hati nurani manusia sebagai “sanggar suci” terdalam, pusat manusia yang tersembunyi, tempat munculnya keputusan-keputusan moral manusia. Hati nurani merupakan sanggar suci yang ditemukan pada bagian terdalam diri manusia, yang tidak tertutup dalam dirinya, namun selalu terbuka untuk dirinya sendiri, sesama, dan Tuhan. Dalam hati nurani, pinsip-prinsip moral pertama dikenal sebagai yang dirancang oleh Allah.[4] Tindakan konkret yang dilakukan oleh Padre Amaro tidak berdasarkan pertimbangan hati nurani yang sehat. Bila berdasarkan hati nurani, keputusan-keputusan yang ada seharusnya dirumuskan dengan mengikuti akal budi yang berpadu dengan kebaikan yang dikehendaki oleh Allah. Dalam hal hati nurani lebih dipandang sebagai putusan moral praktis yang memberitahukan kepada manusia dalam suatu keadaan konkret sambil mengingatkan manusia akan kewajiban moral yang perlu dipenuhi.

2.3. Keadaan Hati Nurani dan Keputusan Padre Amaro
Sebagai sebagai seorang imam, Padre Amaro ingin mempertahankan keimamannya. Ia juga ingin mempertahankan segala harapan dan impian, terutama prestasi dan karirnya sebagai imam muda. Ia masih ingin melanjutkan studi dan sama sekali tidak terlintas di benaknya akan menikah sebagai pertanggungjawaban perbuatannya. Dengan permasalahan seperti itu, Padre Amaro pastinya mengalami kebimbangan dalam hati nurani. Ia berada dalam ketidakpastian untuk mengambil suatu keputusan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pada awalnya ia meminta Amelia untuk kembali pada Ruben. Namun usaha itu tidak berhasil karena Ruben tidak lagi mencintai Amelia. Usaha yang tidak berhasil ini tentunya membuat hati nuraninya bertambah bimbang. Jika terlalu bimbang, sebaiknya Padre Amaro tidak bertindak atau mengambil keputusan apa pun. Karena keputusan yang berasal dari kebimbangan dapat menggiring ke dalam dosa. Seharusnya Padre Amaro berani membuka diri dan meminta bantuan kepada rekan imam yang lebih bijaksana, seperti Padre Antonio dalam menghadapi dan mengatasi kebimbangannya. Meskipun tindakan ini sulit dilakukan karena harus membocorkan rahasia, namun perlu dilakukan mengingat rekan imam lebih memahami dan mengerti situasi tersebut daripada umat biasa.
Keputusan Padre Amaro untuk melakukan tindakan aborsi bukan merupakan jalan keluar yang objektif. Karena dalam keadaan bimbang, ia sebaiknya menunda mengambil keputusan agar dapat mempertimbangkannya dengan lebih tenang. Mungkin Padre Amaro tidak persoalan itu diketahui Padre Benito yang seminggu lagi kembali setelah operasi. Sehingga ia harus segera memutuskan untuk menyelesaikan persoalannya. Namun bagaimanapun juga dalam keadaan bimbang, ia tidak harus bertindak atau memutuskan sesuatu. Pertama-tama Padre Amaro harus menyingkirkan kebimbangan tersebut lebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau bertindak. Sehingga keputusan yang diambil paling tidak merupakan keputusan yang lebih baik dan lebih mendekati kebenaran duduk masalah.
Padre Amaro berani bertindak berdasarkan hati nurani yang bimbang. Ia memilih untuk melakukan tindakan aborsi. Dalam hal ini, tanggung jawab atas perbuatannya itu harus dipikul oleh dia sendiri. Ia tentunya sudah sudah tahu bahwa melakukan aborsi sama dengan melakukan tindakan membunuh. Dengan demikian, ia sudah siap menanggung beban dosa pembunuhan.

2.3. Tindakan Bertanggung Jawab
Dalam mengalisa kasus Padre Amaro, tanggung jawab menjadi unsur penting dalam menilai tindakan moralnya. Karena tindakan tanggung jawab menunjukkan juga tindakan moral seseorang. Tanggung jawab juga menunjukkan seberapa besar tindakan moral dapat ditolerir dan sejauhmana orang dapat memperbaiki keadaan. Tanggung jawab mengandaikan orang sadar akan perbuatan salah yang telah ia lakukan, sehingga perlu ada perbaikan. Sehingga di sini tangggung jawab merupakan unsur penting dalam diri manusia, karena menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi risiko tindakan yang telah dilakukan. Menganalisa dengan tepat sejauhmana aspek tindakan tanggung jawab seseorang tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Namun kita dapat menilainya secara umum dari tindakan pertanggung jawaban yang ada. Dan hal yang lebih penting agar penilaian moral lebih mengena, kita perlu mengenal lebih mendalam tentang pribadi manusia dengan berbagai kerumitannya. Dengan demikian kita dapat menganalisis aspek tanggung jawab perbuatan seseorang secara lebih mendalam.[5]
Dalam menganalisa aspek tanggung jawab perbuatan Padre Amaro, kita perlu melihat faktor kebebasan dalam memutuskan atau bertindak. Kebebasan yang dimaksud di sini lebi menyangkut kebebasan interior manusia. Bebas atau kebebasan pribadi tidak memberi ruang pada unsur paksa atau keterpaksaan baik dari luar maupun dalam diri manusia. Sehingga dalam hal ini dimensi paksa atau keterpaksaan tidak mewajibkan seseorang untuk mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakan yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, tanggung jawab moral seseorang atas tindakan yang dilakukan dengan kehendak bebas akan lebih berat daripada tanggungjawab moral seseorang atas tindakan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau karena suatu paksaan. Suatu tindakan dikatakan bebas apabila tindakan itu mengandung pengetahuan, pertimbangan rasional, dan keputusan berdasarkan kehendak.[6] Unsur-unsur ini penting untuk diperhatikan untuk menilai tindakan moral Padre Amaro.
Dalam hal pengetahuan, Padre Amaro tentunya punya pengetahuan lebih tentang moralitas kristiani. Ia sadar dan tahu bahwa tindakan seks di luar nikah dan aborsi tidak dibenarkan oleh hukum Gereja, bahkan merupakan perbuatan dosa. Secara rasional, aborsi bukan perkara menghilangkan nyawa yang ada dalam kandungan, tetapi juga membahayakan nyawa sang ibu bila terjadi pendarahan hebat. Dan keputusan yang dilakukan Padre Amaro dilakukan dengan bebas. Tindakan amoral itu sungguh berasal dari dalam diri Padre Amaro, tanpa ada pihak yang memaksakan kehendaknya. Unsur-unsur yang ada ini menuntut pertanggungjawaban. Keputusan atau tindakan yang diambil Padre Amaro menunjukkan bahwa adanya pengabaian terhadap unsur-unsur tersebut, Tindakan moral Padre Amaro yang dilakukan dengan tahu dan sadar ini tentunya menuntut pertanggungjawaban moral yang lebih berat.

3. Pembinaan Hati Nurani
Bila kita menyaksikan film “The Crime of Padre Amaro” dengan cermat, salah satu pesan moral yang dapat kita petik adalah bagaimana kita membina hati nurani. Pembinaan ini merupakan upaya hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Melalui pembinaan hati nurani tersebut, manusia semakin matang dan terhindar dari kesesatan dalam mengambil suatu keputusan dan dalam tindakan manusiawi.[7]
Pembinaan hati nurani begitu penting bagi umat Kristiani, terlebih bagi kaum berjubah. Pembinaan hati nurani dapat terwujud dalam doa dan hidup rohani. Hati nurani yang terbina dengan baik memampukan orang untuk membedakan “yang baik” dan “yang jahat”. Sehingga orang semakin peka dan teguh dalam menghadapi godaan-godaan dosa. Terlebih godaan zaman sekarang, perkembangan massmedia kerap menjadi godaan yang membuat hati nurani menjadi tumpul. Banyak orang menjadi egosentris dan hanya sibuk dengan kesenangannya sendiri, tanpa mau peduli pada keadaan orang lain.
Dengan pembinaan hati nurani, orang semakin dewasa dalam bersikap atau memutuskan sesuatu. Orang semakin tegas dalam mengambil suatu keputusan yang tidak hanya berada di hadapan sesama tetapi juga di hadapan Tuhan. Sehingga dalam hal ini kita tidak dapat menyangkal bahwa pembinaan hati nurani ini mestinya menuntun manusia kepada kebaikan yang bisa membangun pribadi dan seluruh masyarakat (lih.1 Kor 10: 23-24).

[1] Mgr. Andre Leonard, Yesus dan Tubuhmu (Tuntunan Moral Seksual bagi Kaum Muda), Jakarta: Penerbit Obor, 2002, hlm. 47.
[2] Prof. Dr. W. F. Maramis, dkk., Pengguguran, Malang: Dioma, 1989, hlm. 17.
[3] Dr. William Chang, OFMCap., Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hlm. 85.
[4] Idem., hlm. 133-134.
[5] Idem., hlm. 56-57.
[6] Idem., hlm. 60.
[7] Idem., hlm. 136-137.