God Spy

Jumat, 26 November 2010

Paper UTS Islamologi

Abaraham: Bapa Seluruh Kaum Umat Beriman

(Sebuah Refleksi Teologis dalam Membangun Dialog Interreligius)


1. Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri bahwa cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Kenyataan ini menyisakan luka yang sulit sekali disembuhkan dalam historisitas kedua agama tersebut. Ada banyak usaha yang telah dilakukan beberapa kalangan terutama para pemimpin agama untuk membangun kembali kerukunan antar kedua agama tersebut. Baik pihak Kristiani maupun Muslim sudah mulai membuka diri dalam berdialog. Namun patut disayangkan bahwa dialog tersebut masih belum berjalan secara efektif. Artinya bahwa dialog tersebut masih sebatas tataran wacana para pemimpin agama dan belum menyentuh lapisan umat beriman kedua agama tersebut.[1]

Sebenarnya agama Kristiani dan Islam juga Yahudi merupakan agama Abrahamik.[2] Ironisnya dalam sejarah justru ketiga agama tersebut banyak mengalami pertikaian. Ketiga agama tersebut mengakui dan menghormati Abraham sebagai bapa rohani banyak orang beriman. Abraham adalah tokoh penting dalam Alkitab dan Al-Quran. Agama dan Kristen mengakuinya sebagai patriarkh, sementara dalam tradisi Islam ia dikenal sebagai Nabi Ibrahim. Di dalam Torah dan Al Qur'an, Abraham digambarkan sebagai seorang leluhur yang diberkati oleh Allah (orang-orang Yahudi menyebutnya "Bapa kami Abraham"), dan dijanjikan banyak hal yang besar. Orang Yahudi, Kristen, dan Islam menganggapnya sebagai bapak bangsa Israel melalui anaknya Ishak; Orang Muslim juga menganggapnya sebagai bapak bangsa Arab melalui anaknya Ismail.

Oleh karena itu penulis mengangkat Abraham sebagai tokoh yang dapat menjadi teladan iman baik umat Katolik maupun kaum Muslimin. Dalam usaha membangun dialog antara kedua agama tersebut, nilai-nilai tokoh Abraham patut digali bersama. Pangkuan Abraham sebagai bapa rohani kaum beriman juga berarti menempatkan Abaraham sebagai teladan dalam kehidupan umat beriman terutama dalam menjalin relasi dengan Tuhan sendiri. Dalam kesatuan sebagai anak-anak Abraham, teladan iman yang diwarisi oleh Abraham yang percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sampai mempersembahkan anaknya tentu menjadi teladan seluruh kaum umat dalam beriman kepada Tuhan. Dalam kesatuan iman dengan Abaraham inilah, persaudaraan sebagai anak-anak Abraham dapat terwujud.

2. Abraham dalam Perspektif Islam

Dalam agama Islam, Abaraham disebut Ibrahim. Tokoh ibrahim paling sering disebutkan dalam Al Quran. Sehingga agama Islam dapat disebut juga sebagai agama Ibrahim (Surat 2:130-141; 3:64-68, 95; 4:125; 6:161).[3] Ibrahim menjadi teladan iman yang sempurna dan bersama Ismael mendirikan Kakbah (Surat 2: 124-129). Ia tampil sebagai orang yang selalu menang segala pencobaan dan dipilih Allah untuk memimpin umat manusia. Ia menjadi kesayangan Allah.

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya (Surat 4:125)

Islam menganggap Ibrahim sebagai bapaknya orang-orang mu'min, karena Allah menetapkannya demikian. Ia adalah contoh ideal dari seorang yang disebut mu'min. Ini ditunjukkannya dengan penyerahan diri yang sempurna kepada Allah, dengan kesediaannya untuk menyembelih anak kesayangannya. Sehingga Allah mengagumi iman Ibrahim: “Sesungguhnya ia (Ibrahim) termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Surat 37:111)

Islam menganggap Ibrahim sebagai pemeluk monoteis yang pertama di dunia, ketika monoteisme telah lenyap dan karenanya sering dirujuk sebagai Ibrahim al-Hanif atau Abraham sang Monoteis. “ Hanya satu Allah saja yang patut dijadikan sesembahan”. Ia menjadi penentang penyembahan berhala dan menjadi pejuang monoteisme.

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (seorang yang selalu berpegang pada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya). Dan sekali-sekali bukanlah dia termasuk termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)...” (Surat 16:120).

Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Ibrahim melakukan pencarian Tuhan yang panjang. Ia pernah menyembah matahari, bulan, dan bintang sebelum akhirnya bertaubat. Ibrahim juga penentang masyarakatnya yang pagan termasuk bapaknya Azar. Dalam Al-Qur'an disebutkan pula bahwa Ibrahim bukan seorang Yahudi atau Kristiani, tetapi ia adalah Muslim. Nabi Ibrahim (Abraham) sering disebutkan di dalam Al Qur'an dan mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah sebagai contoh bagi manusia. Dia menyampaikan kebenaran dari Allah kepada umatnya yang menyembah berhala, dan dia mengingatkan mereka agar takut kepada Allah.[4]

Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan dalam Kitab Kejadian mengenai anak yang dikurbankan Abraham. Para penafsir Al-Qur'an menyepakati bahwa yang disembelih Ibrahim bukanlah Ishaq. Sementara Kristen dan Yahudi tetap mengakui bahwa anak yang dikurbankan Abraham adalah Ishak sesuai dengan Kitab Kejadian. Dengan demikian ada versi penafsiran tentang siapa anak yang dikurbankan Abraham. Namun perbedaan keduanya menampilkan satu penekanan yang sama yakni kebesaran iman Abaraham. Ibrahim taat kepada Allah dengan rela mempersembahkan anaknya sehingga dalam Islam ia dianggap sebagai salah satu nabi terpenting yang diutus oleh Allah.

3. Abraham dalam Perspektif Kristiani

Menurut Alkitab, Abraham dipanggil Allah dari Mesopotamia ke negeri Kanaan. Di sana ia mengadakan perjanjian: Abraham diminta mengakui bahwa Yahweh adalah Tuhan dan otoritas tertinggi satu-satunya dan universal, dan untuk itu Abraham akan diberkati dengan keturunan yang tak terhitung banyaknya. Kehidupannya yang dikisahkan Kejadian 11-25 dapat mencerminkan berbagai tradisi.

Dalam keyakinan Kristen, Abraham adalah teladan bagi iman, dan niatnya untuk taat kepada Allah dengan mempersembahkan Ishak (Kej 22: 1-9). Beberapa waktu setelah kelahiran Ishak, Abraham diperintahkan Tuhan untuk mengorbankan Ishak di gunung Moria. Sebelum Abraham sempat mematuhi hal ini, ia dicegah seorang malaikat dan ia mengorbankan seekor domba jantan. Inilah puncak pencobaan Abraham dan baru di sini perjalanan Abraham sebagai seorang imigran Tuhan mencapai puncak.[5]

Bagi orang Kristen, Abraham adalah bapak orang percaya. Imannya menjadi teladan bagi semua orang.

"Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju. Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal" (Ibrani 11:8, 17).

Dalam pandangan Kristiani, Abaraham tidak hanya tokoh yang menjadi bapa leluhur Israel, tetapi juga menjadi bapa leluhur Tuhan kita Yesus Kristus pula: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat1:1). Tokoh Abraham dikaitkan dengan kepenuhan sejarah Israel. Yesus Kristus ditafsirkan sebagai pemenuhan janji Allah yang diberikan kepada Abraham dan keturunannya (bdk. Kej 12:7). Yesus Kristus inilah yang menjadi keturunan Abraham dan menjadi kepunuhan janji Allah tersebut. “Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan “keturunan-keturunannya” seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: “dan kepada keturunanmu”, yaitu Kristus” (Gal 3:16).

4. Dialog Intrareligius: Wujud Persaudaraan sebagai Anak-anak Abraham

Gereja mendorong semua umat beriman baik Katolik maupun Islam supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA 3).

Ungkapan Bapa Suci membuka hati setiap orang beriman untuk berani melupakan segala sejarah kepedihan masa lalu dan mulai menatap ke depan. Melupakan masa lalu bukan berarti begitu saja menghapus begitu saja dari sejarah kehidupan manusia. Tetapi semuanya itu menjadi pelajaran bagi seluruh umat beriman untuk berbenah diri sekaligus menata kembali kehidupan antar umat bergama. Karena hanya dengan demikian persaudaraan antar umat beragama sebagai anak-anak Abraham dapat terwujud.

1.1. Perlunya Dialog untuk Mewujudkan Persaudaraan

Meskipun secara historis biblis, baik Kristiani maupun Muslim mengakui Abraham sebagai leluhur dan bapa semua orang beriman. Dalam konteks Abrahamik kedua agama tersebut sebenarnya bersaudara. Namun kenyataannya kedua agama tersebut tidak serta memiliki rasa persaudaraan sebagai satu bapa leluhur yakni Abraham. Banyak kenyataan pahit yang jauh dari wujud persaudaraan terjadi mengiringi sejarah kedua agama tersebut. Sehingga diperlukan sebuah dialog hati untuk mewujudkan persaudaraan tersebut.

Persaudaraan yang terjalin antar umat beragama tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan dan kebahagiaan intern masing-masing agama, tetapi juga bersifat universak karena menyangkut seluruh kehidupan manusia. Seperti yang secara eksplisit dijabarkan dalam Nostra Aetate art.3 bahwa dialog persaudaraan dimaksudkan agar bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.

1.2. Perlunya Semangat Persaudaraan dalam Dialog

Persaudaraan antar umat beragama tidak serta merta terwujud sebagai hasil sebuah akhir dialog. Tidak semua dialog mewujudkan persaudaraan. Dengan kata lain, rasa persaudaraan tersebut harus sudah dibangun sejak awal sebelum dialog berlangsung. Sehingga semangat persaudaraan sungguh-sungguh mewarnai seluruh proses dialog interreligius. Semangat persuadaraan memungkinkan suatu dialog interreligius dapat berjalan dengan baik.

Dialog interregius bukan bermaksud untuk mempertobatkan pihak lain ke dalam kepercayaan kita sendiri. Penting semangat persaudaraan adalah untuk menepis pandangan-pandangan sempit yang kecurigaan demikian. Karena semangat persaudaraan di sini juga dimaksudkan adanya sikap yang tulus hati melatih diri untuk saling memahami. Semangat persaudaraan memungkinkan setiap orang mau mendengarkan, mempertimbangkan dan menghormati pandangan pihak lain.

Selain memahami kepercayaan orang lain, suatu dialog yang didasari oleh semangat persaudaraan juga mendorong orang untuk lebih memahami agamanya secara tepat dan jernih. Pemahaman ketuhanan-keagamaan setiap penganutnya akan menghantarnya sehingga ia menjadi hanif. Sebab, hanif adalah kecenderungan dasariah yang selalu mengajak dan mendorong manusia agar mencintai dan merindukan kebenaran transendental, yakni kebenaran Allah sendiri.[6]

5. Beriman Seperti Abraham

Mengutip apa yang telah ditulis Prof. Berthold A. Pareira dalam pengantar salah satu tulisannya. “Kita adalah anak-anak dari bapa yang sama”. Demikian tulisan amplop-amplop yang tertera di atas gambar Anwar Sadat, presiden Mesir dan Menakhem Begim, Perdana Menteri. Amplop ini dicetak oleh orang-orang Yahudi untuk mengabadikan peristiwa bersejarah yakni kunjungan presiden Mesir ke Yerusalem tanggal 19 November 1977. Peristiwa menjadi peristiwa mengukir sejarah kedua bangsa tersebut yang sudah lama sebelumnya saling bermusuhan. Tokoh Abraham diangkat kembali dan dianggap sebagai tokoh yang mempersatukan orang Israel dan orang Arab.[7]

Abraham dihormati oleh berbagai bangsa bahkan dikatakan sebagai “bapa termasyur dari banyak bangsa” (Sir 44:19). Baik Islam maupun Kristen menghormati tokoh Abraham (Islam: Ibrahim) karena imannya yang sempurna kepada Allah. Ia menjadi hamba kesayangan Allah (Surat 4:25) oleh karena ketaatan dan penyerahan dirinya kepada kehendak Allah. Baik Kristen maupun Islam menghormati tokoh Abraham sebagai contoh dan teladan iman yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Islam sendiri mengakui Nabi Ibrahim (Abraham) sebagai bapak orang-orang mu'min, karena Allah menetapkannya demikian. Ibrahim sungguh telah menunjukkan penyerahan diri dengan segenap hati pada ketetapan-ketetapan kepada Allah. Kristen juga menyebut Abaraham sebagai peran iman Abraham yang begitu besar kepada Allah sehingga ia taat kepada Allah. Ketaatan ini berpuncak ketika ia harus mempersembahkan anaknya, padahal ia telah menerima janji dari Allah.

Memang kisah Abraham baik dalam perspektif Islam maupun Kristen ada perbedaan. Namun kedua agama tersebut sama-sama mengakui Abaraham sebagai tokoh iman yang sangat berpengaruh. Dalam rangka ini, proses dialog interregius kira menampilkan Abraham sebagai teladan tiap umat beriman untuk menghayati imannya kepada Allah.

Dalam konteks untuk mewujudkan kehidupan bergama sangatlah penting dari tiap-tiap individu agamis menampilkan kualitas hidup beriman seperti Abraham. Tujuan tiap-tiap agama tentunya hendak membawa jemaahnya kepada keselamatan. Agama menyodorkan pengetahuan teologis dan ajaran-ajarannya agar dihayati dalam kehidupannya. Di sini peran iman sangatlah penting dalam proses setiap insan religius untuk menemukan dan mengalami Tuhan dalam kehidupannya.

Abraham telah memberi teladan kepada setiap insan religius bagaimana harus beriman kepada Allah. Iman itu tidak hanya sebatas berhenti pada tingkat intelektual saja yang berujung pada perdebatan dan sikap “apologis” semata[8], tetapi sungguh-sungguh dihayati dalam keunikan agama dan kepercayaan. Tokoh Abraham kiranya menjadi teladan setiap orang beriman baik Islam maupun Katolik dalam menghidupi iman kepercayaannya kepada Allah yang Esa. Hanya karena dengan iman inilah setiap orang beriman dapat bertahan dalam setiap pencobaan. Seperti Abraham yang tetap setia kepada Tuhannya sehingga ia dijadikan sebagai imam bagi seluruh umat manusia.

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata : “Dan saya mohon juga dari keturunanku”. Allah berfirman : “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim (Surat 2:124).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Azizy, Ahmad Qodri A. Islam dan Masalah Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya. 1990.

Departemen LAI. Alkitab. Jakarta. 1992.

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Nostra Aeatate (dalam Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: KWI, 1991.

Nu'ad, Ismatillah A. Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam, Jakarta: Panta Rei, 2005.

Pareira, Berthold A. Abraham, Imigran dan Bapa Bangsa-bangsa. Malang: Dioma, 2004.

Internet

http://www.bangsamusnah.com/hzibrahim.html diakses 10 November 2010.

http://wapedia.mobi/id/Abraham.hmtl diakses 10 November 2010.

http://opini.wordpress.com/2006/10/06/dialog-antar-agama.hmtl diakses 10 November 2010.



[2] http://wapedia.mobi/id/Abraham.hmtl diakses 10 November 2010.

[3] Berthold A. Pareira, O. Carm., Abraham, Imigran dan Bapa Bangsa-bangsa, Malang: Dioma, 2004, hlm. 3.

[5] Op. Cit., hlm. 296-297.

[6] Ismatillah A Nu'ad, Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam, Jakarta: Panta Rei, 2005, hlm. 90.

[7] Berthold A. Pareira, O. Carm, Loc Cit. hlm.v.

[8] Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Masalah Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000, hlm. 157.