God Spy

Jumat, 26 November 2010

Paper UTS Islamologi

Abaraham: Bapa Seluruh Kaum Umat Beriman

(Sebuah Refleksi Teologis dalam Membangun Dialog Interreligius)


1. Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri bahwa cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Kenyataan ini menyisakan luka yang sulit sekali disembuhkan dalam historisitas kedua agama tersebut. Ada banyak usaha yang telah dilakukan beberapa kalangan terutama para pemimpin agama untuk membangun kembali kerukunan antar kedua agama tersebut. Baik pihak Kristiani maupun Muslim sudah mulai membuka diri dalam berdialog. Namun patut disayangkan bahwa dialog tersebut masih belum berjalan secara efektif. Artinya bahwa dialog tersebut masih sebatas tataran wacana para pemimpin agama dan belum menyentuh lapisan umat beriman kedua agama tersebut.[1]

Sebenarnya agama Kristiani dan Islam juga Yahudi merupakan agama Abrahamik.[2] Ironisnya dalam sejarah justru ketiga agama tersebut banyak mengalami pertikaian. Ketiga agama tersebut mengakui dan menghormati Abraham sebagai bapa rohani banyak orang beriman. Abraham adalah tokoh penting dalam Alkitab dan Al-Quran. Agama dan Kristen mengakuinya sebagai patriarkh, sementara dalam tradisi Islam ia dikenal sebagai Nabi Ibrahim. Di dalam Torah dan Al Qur'an, Abraham digambarkan sebagai seorang leluhur yang diberkati oleh Allah (orang-orang Yahudi menyebutnya "Bapa kami Abraham"), dan dijanjikan banyak hal yang besar. Orang Yahudi, Kristen, dan Islam menganggapnya sebagai bapak bangsa Israel melalui anaknya Ishak; Orang Muslim juga menganggapnya sebagai bapak bangsa Arab melalui anaknya Ismail.

Oleh karena itu penulis mengangkat Abraham sebagai tokoh yang dapat menjadi teladan iman baik umat Katolik maupun kaum Muslimin. Dalam usaha membangun dialog antara kedua agama tersebut, nilai-nilai tokoh Abraham patut digali bersama. Pangkuan Abraham sebagai bapa rohani kaum beriman juga berarti menempatkan Abaraham sebagai teladan dalam kehidupan umat beriman terutama dalam menjalin relasi dengan Tuhan sendiri. Dalam kesatuan sebagai anak-anak Abraham, teladan iman yang diwarisi oleh Abraham yang percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sampai mempersembahkan anaknya tentu menjadi teladan seluruh kaum umat dalam beriman kepada Tuhan. Dalam kesatuan iman dengan Abaraham inilah, persaudaraan sebagai anak-anak Abraham dapat terwujud.

2. Abraham dalam Perspektif Islam

Dalam agama Islam, Abaraham disebut Ibrahim. Tokoh ibrahim paling sering disebutkan dalam Al Quran. Sehingga agama Islam dapat disebut juga sebagai agama Ibrahim (Surat 2:130-141; 3:64-68, 95; 4:125; 6:161).[3] Ibrahim menjadi teladan iman yang sempurna dan bersama Ismael mendirikan Kakbah (Surat 2: 124-129). Ia tampil sebagai orang yang selalu menang segala pencobaan dan dipilih Allah untuk memimpin umat manusia. Ia menjadi kesayangan Allah.

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya (Surat 4:125)

Islam menganggap Ibrahim sebagai bapaknya orang-orang mu'min, karena Allah menetapkannya demikian. Ia adalah contoh ideal dari seorang yang disebut mu'min. Ini ditunjukkannya dengan penyerahan diri yang sempurna kepada Allah, dengan kesediaannya untuk menyembelih anak kesayangannya. Sehingga Allah mengagumi iman Ibrahim: “Sesungguhnya ia (Ibrahim) termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Surat 37:111)

Islam menganggap Ibrahim sebagai pemeluk monoteis yang pertama di dunia, ketika monoteisme telah lenyap dan karenanya sering dirujuk sebagai Ibrahim al-Hanif atau Abraham sang Monoteis. “ Hanya satu Allah saja yang patut dijadikan sesembahan”. Ia menjadi penentang penyembahan berhala dan menjadi pejuang monoteisme.

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (seorang yang selalu berpegang pada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya). Dan sekali-sekali bukanlah dia termasuk termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)...” (Surat 16:120).

Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Ibrahim melakukan pencarian Tuhan yang panjang. Ia pernah menyembah matahari, bulan, dan bintang sebelum akhirnya bertaubat. Ibrahim juga penentang masyarakatnya yang pagan termasuk bapaknya Azar. Dalam Al-Qur'an disebutkan pula bahwa Ibrahim bukan seorang Yahudi atau Kristiani, tetapi ia adalah Muslim. Nabi Ibrahim (Abraham) sering disebutkan di dalam Al Qur'an dan mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah sebagai contoh bagi manusia. Dia menyampaikan kebenaran dari Allah kepada umatnya yang menyembah berhala, dan dia mengingatkan mereka agar takut kepada Allah.[4]

Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan dalam Kitab Kejadian mengenai anak yang dikurbankan Abraham. Para penafsir Al-Qur'an menyepakati bahwa yang disembelih Ibrahim bukanlah Ishaq. Sementara Kristen dan Yahudi tetap mengakui bahwa anak yang dikurbankan Abraham adalah Ishak sesuai dengan Kitab Kejadian. Dengan demikian ada versi penafsiran tentang siapa anak yang dikurbankan Abraham. Namun perbedaan keduanya menampilkan satu penekanan yang sama yakni kebesaran iman Abaraham. Ibrahim taat kepada Allah dengan rela mempersembahkan anaknya sehingga dalam Islam ia dianggap sebagai salah satu nabi terpenting yang diutus oleh Allah.

3. Abraham dalam Perspektif Kristiani

Menurut Alkitab, Abraham dipanggil Allah dari Mesopotamia ke negeri Kanaan. Di sana ia mengadakan perjanjian: Abraham diminta mengakui bahwa Yahweh adalah Tuhan dan otoritas tertinggi satu-satunya dan universal, dan untuk itu Abraham akan diberkati dengan keturunan yang tak terhitung banyaknya. Kehidupannya yang dikisahkan Kejadian 11-25 dapat mencerminkan berbagai tradisi.

Dalam keyakinan Kristen, Abraham adalah teladan bagi iman, dan niatnya untuk taat kepada Allah dengan mempersembahkan Ishak (Kej 22: 1-9). Beberapa waktu setelah kelahiran Ishak, Abraham diperintahkan Tuhan untuk mengorbankan Ishak di gunung Moria. Sebelum Abraham sempat mematuhi hal ini, ia dicegah seorang malaikat dan ia mengorbankan seekor domba jantan. Inilah puncak pencobaan Abraham dan baru di sini perjalanan Abraham sebagai seorang imigran Tuhan mencapai puncak.[5]

Bagi orang Kristen, Abraham adalah bapak orang percaya. Imannya menjadi teladan bagi semua orang.

"Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju. Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal" (Ibrani 11:8, 17).

Dalam pandangan Kristiani, Abaraham tidak hanya tokoh yang menjadi bapa leluhur Israel, tetapi juga menjadi bapa leluhur Tuhan kita Yesus Kristus pula: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat1:1). Tokoh Abraham dikaitkan dengan kepenuhan sejarah Israel. Yesus Kristus ditafsirkan sebagai pemenuhan janji Allah yang diberikan kepada Abraham dan keturunannya (bdk. Kej 12:7). Yesus Kristus inilah yang menjadi keturunan Abraham dan menjadi kepunuhan janji Allah tersebut. “Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan “keturunan-keturunannya” seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: “dan kepada keturunanmu”, yaitu Kristus” (Gal 3:16).

4. Dialog Intrareligius: Wujud Persaudaraan sebagai Anak-anak Abraham

Gereja mendorong semua umat beriman baik Katolik maupun Islam supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA 3).

Ungkapan Bapa Suci membuka hati setiap orang beriman untuk berani melupakan segala sejarah kepedihan masa lalu dan mulai menatap ke depan. Melupakan masa lalu bukan berarti begitu saja menghapus begitu saja dari sejarah kehidupan manusia. Tetapi semuanya itu menjadi pelajaran bagi seluruh umat beriman untuk berbenah diri sekaligus menata kembali kehidupan antar umat bergama. Karena hanya dengan demikian persaudaraan antar umat beragama sebagai anak-anak Abraham dapat terwujud.

1.1. Perlunya Dialog untuk Mewujudkan Persaudaraan

Meskipun secara historis biblis, baik Kristiani maupun Muslim mengakui Abraham sebagai leluhur dan bapa semua orang beriman. Dalam konteks Abrahamik kedua agama tersebut sebenarnya bersaudara. Namun kenyataannya kedua agama tersebut tidak serta memiliki rasa persaudaraan sebagai satu bapa leluhur yakni Abraham. Banyak kenyataan pahit yang jauh dari wujud persaudaraan terjadi mengiringi sejarah kedua agama tersebut. Sehingga diperlukan sebuah dialog hati untuk mewujudkan persaudaraan tersebut.

Persaudaraan yang terjalin antar umat beragama tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan dan kebahagiaan intern masing-masing agama, tetapi juga bersifat universak karena menyangkut seluruh kehidupan manusia. Seperti yang secara eksplisit dijabarkan dalam Nostra Aetate art.3 bahwa dialog persaudaraan dimaksudkan agar bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.

1.2. Perlunya Semangat Persaudaraan dalam Dialog

Persaudaraan antar umat beragama tidak serta merta terwujud sebagai hasil sebuah akhir dialog. Tidak semua dialog mewujudkan persaudaraan. Dengan kata lain, rasa persaudaraan tersebut harus sudah dibangun sejak awal sebelum dialog berlangsung. Sehingga semangat persaudaraan sungguh-sungguh mewarnai seluruh proses dialog interreligius. Semangat persuadaraan memungkinkan suatu dialog interreligius dapat berjalan dengan baik.

Dialog interregius bukan bermaksud untuk mempertobatkan pihak lain ke dalam kepercayaan kita sendiri. Penting semangat persaudaraan adalah untuk menepis pandangan-pandangan sempit yang kecurigaan demikian. Karena semangat persaudaraan di sini juga dimaksudkan adanya sikap yang tulus hati melatih diri untuk saling memahami. Semangat persaudaraan memungkinkan setiap orang mau mendengarkan, mempertimbangkan dan menghormati pandangan pihak lain.

Selain memahami kepercayaan orang lain, suatu dialog yang didasari oleh semangat persaudaraan juga mendorong orang untuk lebih memahami agamanya secara tepat dan jernih. Pemahaman ketuhanan-keagamaan setiap penganutnya akan menghantarnya sehingga ia menjadi hanif. Sebab, hanif adalah kecenderungan dasariah yang selalu mengajak dan mendorong manusia agar mencintai dan merindukan kebenaran transendental, yakni kebenaran Allah sendiri.[6]

5. Beriman Seperti Abraham

Mengutip apa yang telah ditulis Prof. Berthold A. Pareira dalam pengantar salah satu tulisannya. “Kita adalah anak-anak dari bapa yang sama”. Demikian tulisan amplop-amplop yang tertera di atas gambar Anwar Sadat, presiden Mesir dan Menakhem Begim, Perdana Menteri. Amplop ini dicetak oleh orang-orang Yahudi untuk mengabadikan peristiwa bersejarah yakni kunjungan presiden Mesir ke Yerusalem tanggal 19 November 1977. Peristiwa menjadi peristiwa mengukir sejarah kedua bangsa tersebut yang sudah lama sebelumnya saling bermusuhan. Tokoh Abraham diangkat kembali dan dianggap sebagai tokoh yang mempersatukan orang Israel dan orang Arab.[7]

Abraham dihormati oleh berbagai bangsa bahkan dikatakan sebagai “bapa termasyur dari banyak bangsa” (Sir 44:19). Baik Islam maupun Kristen menghormati tokoh Abraham (Islam: Ibrahim) karena imannya yang sempurna kepada Allah. Ia menjadi hamba kesayangan Allah (Surat 4:25) oleh karena ketaatan dan penyerahan dirinya kepada kehendak Allah. Baik Kristen maupun Islam menghormati tokoh Abraham sebagai contoh dan teladan iman yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Islam sendiri mengakui Nabi Ibrahim (Abraham) sebagai bapak orang-orang mu'min, karena Allah menetapkannya demikian. Ibrahim sungguh telah menunjukkan penyerahan diri dengan segenap hati pada ketetapan-ketetapan kepada Allah. Kristen juga menyebut Abaraham sebagai peran iman Abraham yang begitu besar kepada Allah sehingga ia taat kepada Allah. Ketaatan ini berpuncak ketika ia harus mempersembahkan anaknya, padahal ia telah menerima janji dari Allah.

Memang kisah Abraham baik dalam perspektif Islam maupun Kristen ada perbedaan. Namun kedua agama tersebut sama-sama mengakui Abaraham sebagai tokoh iman yang sangat berpengaruh. Dalam rangka ini, proses dialog interregius kira menampilkan Abraham sebagai teladan tiap umat beriman untuk menghayati imannya kepada Allah.

Dalam konteks untuk mewujudkan kehidupan bergama sangatlah penting dari tiap-tiap individu agamis menampilkan kualitas hidup beriman seperti Abraham. Tujuan tiap-tiap agama tentunya hendak membawa jemaahnya kepada keselamatan. Agama menyodorkan pengetahuan teologis dan ajaran-ajarannya agar dihayati dalam kehidupannya. Di sini peran iman sangatlah penting dalam proses setiap insan religius untuk menemukan dan mengalami Tuhan dalam kehidupannya.

Abraham telah memberi teladan kepada setiap insan religius bagaimana harus beriman kepada Allah. Iman itu tidak hanya sebatas berhenti pada tingkat intelektual saja yang berujung pada perdebatan dan sikap “apologis” semata[8], tetapi sungguh-sungguh dihayati dalam keunikan agama dan kepercayaan. Tokoh Abraham kiranya menjadi teladan setiap orang beriman baik Islam maupun Katolik dalam menghidupi iman kepercayaannya kepada Allah yang Esa. Hanya karena dengan iman inilah setiap orang beriman dapat bertahan dalam setiap pencobaan. Seperti Abraham yang tetap setia kepada Tuhannya sehingga ia dijadikan sebagai imam bagi seluruh umat manusia.

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata : “Dan saya mohon juga dari keturunanku”. Allah berfirman : “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim (Surat 2:124).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Azizy, Ahmad Qodri A. Islam dan Masalah Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya. 1990.

Departemen LAI. Alkitab. Jakarta. 1992.

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Nostra Aeatate (dalam Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, SJ). Jakarta: KWI, 1991.

Nu'ad, Ismatillah A. Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam, Jakarta: Panta Rei, 2005.

Pareira, Berthold A. Abraham, Imigran dan Bapa Bangsa-bangsa. Malang: Dioma, 2004.

Internet

http://www.bangsamusnah.com/hzibrahim.html diakses 10 November 2010.

http://wapedia.mobi/id/Abraham.hmtl diakses 10 November 2010.

http://opini.wordpress.com/2006/10/06/dialog-antar-agama.hmtl diakses 10 November 2010.



[2] http://wapedia.mobi/id/Abraham.hmtl diakses 10 November 2010.

[3] Berthold A. Pareira, O. Carm., Abraham, Imigran dan Bapa Bangsa-bangsa, Malang: Dioma, 2004, hlm. 3.

[5] Op. Cit., hlm. 296-297.

[6] Ismatillah A Nu'ad, Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam, Jakarta: Panta Rei, 2005, hlm. 90.

[7] Berthold A. Pareira, O. Carm, Loc Cit. hlm.v.

[8] Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Masalah Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000, hlm. 157.

Selasa, 19 Januari 2010

Kaum Wanita dalam Gereja

(Kajian terhadapTokoh Joan of Arc dalam Film “The Messenger”)

Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Dalam film “The Messenger” Jean of Arc tampil sebagai tokoh wanita yang masih muda namun ikut berjuang memimpin pasukan militer Prancis. Ia menjadi terkenal karena berhasil membawa kemenangan yang akhirnya mengantar pada penobatan Raja Charles VII di Reims. Pernyataan Joan tentang ilham Ilahi dan keberhasilannya memukul mundur pasukan penyerbu Inggris, membuat dirinya sebagai simbol yang kuat kebangkitan bangsa Perancis. Meskipun ia harus menjadi martir dan meninggal secara tragis karena rekayasa pengadilan yang berbau politis. Ia dibakar hidup-hidup dengan tuduhan yang tidak sesuai.
Sebagai seorang wanita, Joan of Arc mendapat tantangan yang berat ketika harus bersaksi untuk meyakinkan bahwa ia mendapat suatu pencerahan. Terlebih lagi ketika ia menyatakan harus memimpin pasukan untuk mengusir pasukan Inggris. Hal ini sulit untuk dimengerti apalagi diterima. Karena kaum wanita saat itu adalah kaum lemah yang berada di bawah perlindungan kaum pria. Wanita hanya menangani urusan rumah tangga saja. Sehingga sulit dimengerti bahwa seorang wanita harus maju ke medan perang, apalagi memimpin pasukan militer. Pandangan ini akhirnya berlanjut pada kecurigaan-kecurigaan terhadap Joan of Arc. Salah satu tuduhan yang dilontarkan kepada Joan adalah seorang penyihir. Sehingga Joan harus mendapat pengakuan sebagai seorang perawan. Kepercayaan kuno menyakini bahwa seorang perawan tidak dapat dirasuki oleh roh jahat. Meskipun berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, Joan telah menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin pasukan militer dengan memukul balik pasukan Inggris.
Joan of Arc tentu menjadi inspirasi bagi kaum wanita sebagai sosok yang penuh dengan keberanian dan keaktifan. Meskipun Joan of Arc adalah seorang perempuan yang berani memimpin pasukan perang, namun bukan berarti perjuangannya adalah perjuangan feminisme. Hanya sebagai satu-satunya sosok perempuan yang tampil sebagai pahlawan, Joan menjadi sumber inspirasi bagi banyak kaum wanita untuk berani mengangkat martabat mereka. Dan mereka dapat berperan aktif dalam karya bagi kehidupan manusia.
Sosok Joan of Arc juga menjiwai semangat dan sumber ilham bagi kaum wanita katolik. Terlebih lagi ia telah menjadi salah seorang santa yang populer di Gereja Katolik. Kesaksian hidup Joan of Arc mengungkap suatu keyakinan bahwa siapa saja orang terpilih berasal dari strata sosial manapun dapat memperoleh panggilan rohani. Panggilan Tuhan juga tidak dibatasi oleh perbedaan gender. Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya dipanggil Tuhan untuk mengusahakan kesucian. Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak kaum perempuan yang mengkritisi tindakan Gereja yang lebih memberi batas pada kaum perempuan dalam pelayanan untuk Gereja.
Dewasa ini pergolakan yang masih menggantung dalam Gereja adalah imamat jabatan yang tidak dapat diterima oleh kaum perempuan. Memang selama ini jawaban Gereja yang muncul untuk menjawab pergolakan tersebut adalah penekanan pada tradisi Gereja bahwa Yesus tidak memanggil wanita di antara 12 RasulNya dan seorang imam dalam tugas sakramental bertindak sebagai pengganti Kristus (In Persona Christi), sehingga harus pria seperti Yesus sendiri. Hanya saja tanggapan Gereja ini tidak begitu memuaskan bagi banyak orang katolik, terlebih kaum wanita katolik yang ingin menunjukkan cintanya yang nyata bagi Gereja dalam pelayanan. Meskipun Gereja berpegang teguh dalam menjaga tradisi, namun Gereja berusaha memberikan tempat atau peran bagi wanita dalam pelayanan Gereja.
Joan of Arc telah menjadi inspirasi bagi gerakan kaum wanita dalam Gereja dan berkembang menjadi gerakan feminis dalam masyarakat dewasa ini. Joan of Arc adalah pahlawan bagi negara Perancis dan sekaligus menjadi orang suci atau santa dalam Gereja Katolik. Di Perancis ia dijuluki La Pucelle yang berarti “sang dara” atau “sang perawan”. Joan telah menunjukkan bahwa hidupnya tidak hanya hanya dipersembahkan bagi hidup Gereja tetapi juga demi hidup bernegara. Patut diakui bahwa peranan kaum perempuan begitu besar bagi kehidupan manusia dan gerakan kaum wanita telah merubah wajah Gereja. Hendaknya semangat Joan of Arc membangkit kaum wanita untuk selalu berusaha menjadi ‘kudus’ dalam Gereja lewat pelayanannya dan sekaligus menjadi ‘pahlawan’ dalam masyarakat lewat kesaksian hidup.

Santa Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja Menurut Lumen Gentium

1. Pengantar
Maria tidak pernah cukup diperbincangkan. Ibadat dan devosi khusus diperuntukkan pada Maria, Bunda Gereja. Namun Konsili Vatikan II tetap mempersembahkan bab kedelapan dari “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” mengenai “Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Karena Kristus terus melanjutkan karya dan misi penyelamatan-Nya melalui tubuh-Nya, yaitu Gereja, maka para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda Maria di sini sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Seluruh Gereja menghormati Maria sebagai anggota Gereja yang mahaunggul dan sangat khusus, dan sebagai teladan dalam iman, harapan dan kasih.
Konsili Vatikan II hendak menjelaskan secara lebih mendalam peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma dalam Tubuh Mistik-Nya dan tugas-kewajiban terhadap Bunda Allah, Bunda Krsitus, dan Bunda orang-orang beriman. Memang Konsili tidak menyajikan secara lengkap dan mendetail ajaran tentang Bunda Maria. Berbagai permasalahan dan pertanyaan tentang Maria, sebagaimana tertuang dalam pokok ajaran Konsili Vatikan II (Lumen Gentium). Meskipun demikian, Konsili tetap menekankan ajarannya bahwa Maria menduduki tempat yang paling luhur sesudah Kristus dalam Gereja kudus. Bunda Maria juga merupakan bunda yang paling dekat dengan kita, yakni orang-orang beriman yang menjadi anak-anaknya.

2. Peranan Santa Perawan dalam Tata Keselamatan
Dengan memfokuskan perhatian Kitab Suci dan tradisi suci, kita akan menemukan bahwa tekanan justru bukan pada pribadi Santa Maria, melainkan pada fungsi, karya dan martabat Yesus sebagai Penebus manusia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu.

2.1. Maria dalam Kitab Suci
Gereja awali telah menafsirkan secara topologis terhadap pribadi dan peran penting Bunda Maria. Maria digambarkan dalam kutipan seperti Kejadian 3:15. Teks tersebut menyatakan suatu permusuhan antara keturunan wanita dari Hawa dengan ular. Penafsiran Gereja awali ini memperlihatkan peran Bunda Maria Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas. Naskah-naskah kuno dalam Gereja semakin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Hal ini tampak dalam suatu perjanjian yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh dalam dosa tentang kejayaan atas ular (LG 55). Begitu juga dalam Yes 7:14 diungkapkan seorang ‘anak dara’ atau ‘perawan’ yang akan mengandung dan melahirkan Putera yang akan diberi nama Imanuel (bdk. Mat 1:23).
Patut kita sadari bahwa Perjanjian Baru tidak banyak berbicara tentang Maria. Namun bila kita refleksikan lebih lanjut, kita akan menemukan salah satu penafsiran yang melambangkan Maria sebagai ‘pengantara’ (lih. Yoh 3:2). Dan Maria juga dilambangkan sebagai ‘murid sejati’ (lih. Luk 8:21) dan sebagai ‘ibu para murid’ (lih. Yoh 19: 26-27).[1] Bunda Maria, disapa oleh Malaikat Gabriel sebagai yang penuh rahmat di hadapan Tuhan, dan terpuji di antara wanita, mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus; melalui “perantaraannya” Yesus masuk ke dalam dunia ini - sungguh Allah yang menjelma menjadi sungguh manusia.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci di mana ia disebutkan, Bunda Maria senantiasa menghadirkan Kristus kepada orang-orang lain: para gembala, para Majus, nabi Simeon dan pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria berdiri di kaki salib, ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan pada saat itulah Ia memberikan Bunda-Nya kepada kita sebagai Bunda kita dengan mengatakan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27).
Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada saat Pentakosta; ia yang melahirkan Yesus ke dalam dunia ini, hadir atau berada di sana pada saat kelahiran Gereja. Di akhir hidupnya, Maria diangkat jiwa dan badannya ke surga, yang merupakan kepenuhan janji akan kehidupan kekal bagi jiwa dan badan yang dijanjikan kepada semua orang percaya. “Konstitusi Dogmatik tentang Gereja” menggambarkan hidupnya dengan baik, yakni dengan menyatakan, “ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa” (LG 61).

2.2. Maria dalam Tradisi
Bapa-Bapa Gereja mengembangakan refleksi ajaran mereka tentang Maria. Semua Bapa Gereja mengajarkan keperawanan Maria. Peran aktif Maria dalam karya keselamatan melalui ketaatannya menampilkan suatu gagasan yang dikembangkan dari pengertian Rasul Paulus tentang Yesus sebagai Adam Baru dan Maria sendiri sebagai Hawa Baru.[2] Sehingga Konsili Vatikan II kembali meneguhkan pandangan yang mengaitkan Maria dengan Gereja. Maria dianggap sebagai contoh Gereja.
Seiring perkembangan teologi Maria memunculkan suatu tempat yang subur bagi kesalehan dan devosi umat Kristiani awali. Sehingga diperoleh suatu fakta yang bernilai bahwa sudah sejak abad ketiga umat Kristiani berdoa kepada Maria sebagai ‘perantara’. Sehingga dalam perkembangan berikutnya, beberapa orang mempunyai harapan bahwa Konsili Vatikan II akan mengeluarkan dokumen terpisah tentang Maria, dengan menyatakannya menjadi Perantara (Mediatrix) segala rahmat.[3]
Kemudian orang-orang Kristiani menempatkan Maria sebagai yang paling utama dalam kesatuan para kudus. Sehingga akhirnya, Maria juga dirayakan dalam liturgi Gereja, baik Gereja Barat maupun Timur. Pesta untuk menghormati Maria sebagai Bunda Allah sendiri pertama kali berasal dari luar Yerusalem yang dirayakan pada tanggal 15 Agustus 430.[4]
Dalam Gereja, beberapa penampakan begitu memberikan dampak yang luar biasa bagi pengembangan ajaran iman tentang Maria. Selain karena Gereja sendiri mendorong devosi populer Maria, tetapi umat semakin diteguhkan dalam mengembangkan kesalehan dan pengakuan iman karena peristiwa penampakan tersebut. Namun Gereja mengambil sikap hati-hati terhadap praktek-praktek devosional terhadap Bunda Maria yang bukan merupakan ajaran resmi Gereja. Gereja menyadari bahwa devosi terhadap Maria timbul karena saling mempengaruhi antara kepentingan dan imajinasi doa dan perayaan liturgis, kesalehan populer dan refleksi teologis.[5]

3. Santa Perawan dan Gereja
Para bapak Konsili Vatikan II mengupas secara mendalam hal ihwal Santa Perawan dalam kaitannya dengan gelarnya sebagai Bunda Gereja. Diskusi panjang ketika mereka mengangkat tema gelar Santa Perawan sebagai Pengantara (Mediatrix). Gelar tersebut menjadi perbincangan hangat karena seakan-akan dapat merelatifkan martabat Yesus sebagai satu-satunya Mediator antara manusia dengan Allah.[6]
Kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi menyelamatkan kita dari dosa. Kedua, dengan kesaksian imannya sendiri dan dengan menghadirkan Kristus kepada yang lain, Maria membantu mendamaikan para pendosa dengan Putranya. Bunda Maria, tanpa dosa, namun demikian memahami sengsara yang diakibatkan dosa, terus-menerus memanggil para pendosa kepada Putranya. Melalui teladannya, ia mendorong kita semua kepada iman, harapan dan kasih yang Tuhan kehendaki kita miliki. Dan akhirnya, karena ia diangkat ke surga dan karena perannya sebagai bunda bagi kita semua, Bunda Maria berdoa bagi kita, bertindak sebagai perantara atas nama kita seperti yang dulu dilakukannya di Kana, mohon pada Kristus untuk melimpahkan rahmat atas kita seturut kehendak-Nya.
Meskipun gelar dan peran sebagai Mediatrix, sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60). Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri, dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Pengantara kita hanya ada satu, seperti yang disabdakan Paulus dalam suratnya: ”Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia” (1 Tim 2:5-6).

3.1. Yesus Kristus, Satu-satunya Pengantara
Yesus adalah satu-satunya pengantara Allah dan manusia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi keyakinan Gereja tersebut. Pertama, Misteri Inkarnasi. Di dalam Yesus, terjadi persatuan yang sempurna antara Allah dan manusia. Kedua, peranan Yesus sebagai Pengantara diwujudkan dalam karya hidupNya dan wafat di salib. Yesus memulihkan hubungan antara manusia dan Allah. Ketiga, manusia mengambil sikap beriman terhadap misteri kasih Allah.
Namun hanya Maria satu-satunya ciptaan yang diperkenankan masuk berhubungan langsung dan mengambil bagian lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini mencerminkan fungsi Maria sebagai Bunda rohani. Fungsi ini menjadi nyata dengan kesediaan Maria menjaga saudara-saudari Putranya yang kini masih merantau di dunia yang penuh ketidak-pastian dan kekuatiran. Kehadiran Maria sama sekali tidak mereduksi, mengurangi, atau menggantikan martabat Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat kita. Hanya Roh Kristus sendiri yang menjamin bahwa kebundaan rohani Maria menjadi aktif, hidup dan berbuah dalam hidup menggereja.[7]
Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi dan juga dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya (LG 60). Bahkan dalam pesta perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2: 5). Karena ia tahu apa pun yang Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini. Maria memberi tahu kita bahwa Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi kita.[8]
Maria menempatkan diri antara Puteranya dan umat manusia dalam situasi kekurangan, kebutuhan dan derita mereka. Dia menempatkan diri 'di tengah-tengah', yaitu dia berlaku sebagai ‘perantara’ tidak sebagai orang luar, melainkan dalam kedudukannya sebagai seorang ibu. Maria sadar, bahwa sebagai ibu, dia dapat menyampaikan kepada Sang Putera, kebutuhan manusia dan bahkan, dia 'berhak' untuk berbuat demikian. Bahwa Maria berdiri di tengah antara Kristus dan manusia dengan demikian mengandung sifat sebagai pengantara: Maria 'menjadi perantara' bagi manusia.
Namun kita tidak boleh terjebak dalam pemahaman yang menempatkan posisi Maria di atas Gereja. Sehingga timbul suatu kesalahpahaman seakan-akan Maria menempatkan posisi ‘di tengah’ yakni antara Sang Penebus dengan umat yang ditebus, ataupun antara Kepala Gereja dengan para anggotanya. Padahal tempat Maria sebagai orang pertama yang telah ditebus dan memang ada di dalam Gereja, bukan di atas atau berada di luarnya.[9]

3.2. Maria, “Typos” Gereja
Peran aktif Maria dalam karya keselamatan tampak dalam ketaatannya. Ia menerima anugerah dan tugas istimewa sebagai Bunda Allah. Maria dikaitkan dengan Gereja, karena kesatuannya yang mesra dengan Putra, Sang Penebus. Sehingga St. Ambrosius dalam ajarannya, menggambarkan Maria sebagai contoh atau citra (typos) Gereja. Sebagai Bunda dan Perawan suci, Maria menjadi pelopor dalam memberi contoh baik sebagai perawan maupun sebagai ibu secara gemilang dan istimewa (LG 63).
Jika Maria disebut typos atau citra Gereja maka sebutan itu berarti bahwa eksistensi Maria dipusatkan pada peranan dan tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, seperti halnya Maria (sebagai seorang ibu) dapat bekerja sama dengan Kristus, seperti halnya Maria sendiri telah hidup dan bersatu dengan Kristus.[10]
Perbincangan para teolog yang mencoba melihat relasi Maria dengan Gereja sambil menggunakan kaidah-kaidah analogis dan paralelistis. Dalam pemahaman klasik, Maria dipandang tidak satu dan sama saja dengan Gereja, tetapi keduanya juga satu dan sama dalam cara beradanya.[11] Maria menjadi typos Gereja pertama-tama karena iman, kasih, dan persatuannya dengan Kristus yang sedemikian sempurna, sehingga ia terlibat sepenuhnya dalam karya keselamatan Allah.
Persatuan Maria dengan Kristus sedemikian rupa menjadi persatu Maria dengan Gereja. Sehingga ia pantas disebut typos Gereja itu sendiri. Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan mereka satu dengan-Nya. Kepada mereka yang menerima-Nya, Ia memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Putra Allah menjadi Anak Manusia dan menjadikan manusia anak-anak Allah, mempersatukan mereka kepada Diri-Nya Sendiri dengan kasih dan kuasa-Nya, supaya mereka semua menjadi satu. Dalam diri mereka sendiri, mereka banyak menurut keturunan manusiawi, tetapi dalam Dia, mereka semua satu melalui kelahiran baru yang ilahi.
Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya, Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu perawan, tetapi lebih dari satu perawan. Keduanya adalah ibu, keduanya adalah perawan. Masing-masing mengandung dari kuasa Roh yang sama, tanpa noda. Masing-masing melahirkan putera Allah Bapa, tanpa dosa. Tanpa dosa, Bunda Maria melahirkan Kristus, sang Kepala, demi tubuh-Nya. Dengan pengampunan dari segala dosa, Gereja melahirkan tubuh, demi Kepalanya. Masing-masing adalah Bunda Kristus, tetapi tak satu pun melahirkan Kristus seluruhnya tanpa kerjasama dari yang lain.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Namun Gereja di dalamnya tetap pertama-tama menempatkan Maria, ibu Yesus di pihak Allah dan Yesus Kristus. Sehingga Gereja dapat melihat lebih jauh tentang rencana Allah. Hanya Maria yang sepenuhnya mewujudkan Gereja. Maria dengan sebulat hati menerima tawaran Allah melalui anakNya, Yesus Kristus, San Jusu Selamat umat manusia. Hanya Maria saja yang merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.[12]

4. Penutup
Konsili Vatikan II memang lebih condong menyajikan Mariologinya dalam rangka ajarannya tentang Gereja. Di satu sisi, Maria ditempat di pihak Gereja. Namun di sisi lain, Konsili tidak mau menyamakan kedudukan dan peranan Maria dalam tata penyelamatan dengan kedudukan dan peranan orang beriman lainnya. Jika Maria dimasukkan dalam Gereja, maka di dalam Gereja sendiri hendaknya dibuat pembedaan antara Gereja dengan Maria dan Gereja tanpa Maria.[13]
Penjelasan Mariologi sebenarnya merupakan suatu kupasan terhadap ajaran tentang Yesus Kristus dan karyaNya. Dalam gagasan ini, lebih ditekankan bagaimana hubungan yang mendalam Maria dengan Jurus Selamat sendiri. Sehingga dapat dilihat lebih jauh peran dan kedudukan Maria dalam karya penyelamatan Allah untuk manusia. Maria adalah manusia yang sepenuhnya telah diselamatkan dan sepenuhnya menerima penyelamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Sehingga Maria dianggap sebagai model seluruh umat beriman.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para ahli dalam menjelaskan ajarannya tentang Maria. Namun yang pasti bahwa keistimewaan pribadi Maria hanyalah dijamin oleh rahmat Allah semata-mata. Rahmat yang telah diberikan kepadanya secara cuma-cuma memungkinkan Maria bersatu mesra dengan Yesus Kristus dalam melaksanakan karya penyelamatan Ilahi. Dan rahmat yang sama pula telah mengangkat Maria dalam kemuliaan dan kenikmatan hidup Tritunggal Kudus sampai kekal.[14]
















Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.

Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Groenen, C., OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Kristiyanto, A. Eddy, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Musakabe, Herman, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi
Yuana, 2005.

Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada Sabtu, 21 November 2009.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 296.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm.300.
[4] Ibid., hlm. 298.
[5] Ibid.
[6] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 49.
[7] http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada 21 November 2009.
[8] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005, hlm. 111.
[9] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 421.
[10] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc. Cit., hlm. 58.
[11] Ibid., hlm. 61.
[12] C. Groenen, OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 134.
[13] Ibid., hlm. 15.
[14] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc.Cit., hlm. 128.