God Spy

Selasa, 19 Januari 2010

Santa Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja Menurut Lumen Gentium

1. Pengantar
Maria tidak pernah cukup diperbincangkan. Ibadat dan devosi khusus diperuntukkan pada Maria, Bunda Gereja. Namun Konsili Vatikan II tetap mempersembahkan bab kedelapan dari “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” mengenai “Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Karena Kristus terus melanjutkan karya dan misi penyelamatan-Nya melalui tubuh-Nya, yaitu Gereja, maka para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda Maria di sini sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Seluruh Gereja menghormati Maria sebagai anggota Gereja yang mahaunggul dan sangat khusus, dan sebagai teladan dalam iman, harapan dan kasih.
Konsili Vatikan II hendak menjelaskan secara lebih mendalam peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma dalam Tubuh Mistik-Nya dan tugas-kewajiban terhadap Bunda Allah, Bunda Krsitus, dan Bunda orang-orang beriman. Memang Konsili tidak menyajikan secara lengkap dan mendetail ajaran tentang Bunda Maria. Berbagai permasalahan dan pertanyaan tentang Maria, sebagaimana tertuang dalam pokok ajaran Konsili Vatikan II (Lumen Gentium). Meskipun demikian, Konsili tetap menekankan ajarannya bahwa Maria menduduki tempat yang paling luhur sesudah Kristus dalam Gereja kudus. Bunda Maria juga merupakan bunda yang paling dekat dengan kita, yakni orang-orang beriman yang menjadi anak-anaknya.

2. Peranan Santa Perawan dalam Tata Keselamatan
Dengan memfokuskan perhatian Kitab Suci dan tradisi suci, kita akan menemukan bahwa tekanan justru bukan pada pribadi Santa Maria, melainkan pada fungsi, karya dan martabat Yesus sebagai Penebus manusia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu.

2.1. Maria dalam Kitab Suci
Gereja awali telah menafsirkan secara topologis terhadap pribadi dan peran penting Bunda Maria. Maria digambarkan dalam kutipan seperti Kejadian 3:15. Teks tersebut menyatakan suatu permusuhan antara keturunan wanita dari Hawa dengan ular. Penafsiran Gereja awali ini memperlihatkan peran Bunda Maria Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas. Naskah-naskah kuno dalam Gereja semakin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Hal ini tampak dalam suatu perjanjian yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh dalam dosa tentang kejayaan atas ular (LG 55). Begitu juga dalam Yes 7:14 diungkapkan seorang ‘anak dara’ atau ‘perawan’ yang akan mengandung dan melahirkan Putera yang akan diberi nama Imanuel (bdk. Mat 1:23).
Patut kita sadari bahwa Perjanjian Baru tidak banyak berbicara tentang Maria. Namun bila kita refleksikan lebih lanjut, kita akan menemukan salah satu penafsiran yang melambangkan Maria sebagai ‘pengantara’ (lih. Yoh 3:2). Dan Maria juga dilambangkan sebagai ‘murid sejati’ (lih. Luk 8:21) dan sebagai ‘ibu para murid’ (lih. Yoh 19: 26-27).[1] Bunda Maria, disapa oleh Malaikat Gabriel sebagai yang penuh rahmat di hadapan Tuhan, dan terpuji di antara wanita, mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus; melalui “perantaraannya” Yesus masuk ke dalam dunia ini - sungguh Allah yang menjelma menjadi sungguh manusia.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci di mana ia disebutkan, Bunda Maria senantiasa menghadirkan Kristus kepada orang-orang lain: para gembala, para Majus, nabi Simeon dan pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria berdiri di kaki salib, ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan pada saat itulah Ia memberikan Bunda-Nya kepada kita sebagai Bunda kita dengan mengatakan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27).
Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada saat Pentakosta; ia yang melahirkan Yesus ke dalam dunia ini, hadir atau berada di sana pada saat kelahiran Gereja. Di akhir hidupnya, Maria diangkat jiwa dan badannya ke surga, yang merupakan kepenuhan janji akan kehidupan kekal bagi jiwa dan badan yang dijanjikan kepada semua orang percaya. “Konstitusi Dogmatik tentang Gereja” menggambarkan hidupnya dengan baik, yakni dengan menyatakan, “ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa” (LG 61).

2.2. Maria dalam Tradisi
Bapa-Bapa Gereja mengembangakan refleksi ajaran mereka tentang Maria. Semua Bapa Gereja mengajarkan keperawanan Maria. Peran aktif Maria dalam karya keselamatan melalui ketaatannya menampilkan suatu gagasan yang dikembangkan dari pengertian Rasul Paulus tentang Yesus sebagai Adam Baru dan Maria sendiri sebagai Hawa Baru.[2] Sehingga Konsili Vatikan II kembali meneguhkan pandangan yang mengaitkan Maria dengan Gereja. Maria dianggap sebagai contoh Gereja.
Seiring perkembangan teologi Maria memunculkan suatu tempat yang subur bagi kesalehan dan devosi umat Kristiani awali. Sehingga diperoleh suatu fakta yang bernilai bahwa sudah sejak abad ketiga umat Kristiani berdoa kepada Maria sebagai ‘perantara’. Sehingga dalam perkembangan berikutnya, beberapa orang mempunyai harapan bahwa Konsili Vatikan II akan mengeluarkan dokumen terpisah tentang Maria, dengan menyatakannya menjadi Perantara (Mediatrix) segala rahmat.[3]
Kemudian orang-orang Kristiani menempatkan Maria sebagai yang paling utama dalam kesatuan para kudus. Sehingga akhirnya, Maria juga dirayakan dalam liturgi Gereja, baik Gereja Barat maupun Timur. Pesta untuk menghormati Maria sebagai Bunda Allah sendiri pertama kali berasal dari luar Yerusalem yang dirayakan pada tanggal 15 Agustus 430.[4]
Dalam Gereja, beberapa penampakan begitu memberikan dampak yang luar biasa bagi pengembangan ajaran iman tentang Maria. Selain karena Gereja sendiri mendorong devosi populer Maria, tetapi umat semakin diteguhkan dalam mengembangkan kesalehan dan pengakuan iman karena peristiwa penampakan tersebut. Namun Gereja mengambil sikap hati-hati terhadap praktek-praktek devosional terhadap Bunda Maria yang bukan merupakan ajaran resmi Gereja. Gereja menyadari bahwa devosi terhadap Maria timbul karena saling mempengaruhi antara kepentingan dan imajinasi doa dan perayaan liturgis, kesalehan populer dan refleksi teologis.[5]

3. Santa Perawan dan Gereja
Para bapak Konsili Vatikan II mengupas secara mendalam hal ihwal Santa Perawan dalam kaitannya dengan gelarnya sebagai Bunda Gereja. Diskusi panjang ketika mereka mengangkat tema gelar Santa Perawan sebagai Pengantara (Mediatrix). Gelar tersebut menjadi perbincangan hangat karena seakan-akan dapat merelatifkan martabat Yesus sebagai satu-satunya Mediator antara manusia dengan Allah.[6]
Kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi menyelamatkan kita dari dosa. Kedua, dengan kesaksian imannya sendiri dan dengan menghadirkan Kristus kepada yang lain, Maria membantu mendamaikan para pendosa dengan Putranya. Bunda Maria, tanpa dosa, namun demikian memahami sengsara yang diakibatkan dosa, terus-menerus memanggil para pendosa kepada Putranya. Melalui teladannya, ia mendorong kita semua kepada iman, harapan dan kasih yang Tuhan kehendaki kita miliki. Dan akhirnya, karena ia diangkat ke surga dan karena perannya sebagai bunda bagi kita semua, Bunda Maria berdoa bagi kita, bertindak sebagai perantara atas nama kita seperti yang dulu dilakukannya di Kana, mohon pada Kristus untuk melimpahkan rahmat atas kita seturut kehendak-Nya.
Meskipun gelar dan peran sebagai Mediatrix, sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60). Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri, dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Pengantara kita hanya ada satu, seperti yang disabdakan Paulus dalam suratnya: ”Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia” (1 Tim 2:5-6).

3.1. Yesus Kristus, Satu-satunya Pengantara
Yesus adalah satu-satunya pengantara Allah dan manusia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi keyakinan Gereja tersebut. Pertama, Misteri Inkarnasi. Di dalam Yesus, terjadi persatuan yang sempurna antara Allah dan manusia. Kedua, peranan Yesus sebagai Pengantara diwujudkan dalam karya hidupNya dan wafat di salib. Yesus memulihkan hubungan antara manusia dan Allah. Ketiga, manusia mengambil sikap beriman terhadap misteri kasih Allah.
Namun hanya Maria satu-satunya ciptaan yang diperkenankan masuk berhubungan langsung dan mengambil bagian lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini mencerminkan fungsi Maria sebagai Bunda rohani. Fungsi ini menjadi nyata dengan kesediaan Maria menjaga saudara-saudari Putranya yang kini masih merantau di dunia yang penuh ketidak-pastian dan kekuatiran. Kehadiran Maria sama sekali tidak mereduksi, mengurangi, atau menggantikan martabat Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat kita. Hanya Roh Kristus sendiri yang menjamin bahwa kebundaan rohani Maria menjadi aktif, hidup dan berbuah dalam hidup menggereja.[7]
Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi dan juga dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya (LG 60). Bahkan dalam pesta perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2: 5). Karena ia tahu apa pun yang Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini. Maria memberi tahu kita bahwa Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi kita.[8]
Maria menempatkan diri antara Puteranya dan umat manusia dalam situasi kekurangan, kebutuhan dan derita mereka. Dia menempatkan diri 'di tengah-tengah', yaitu dia berlaku sebagai ‘perantara’ tidak sebagai orang luar, melainkan dalam kedudukannya sebagai seorang ibu. Maria sadar, bahwa sebagai ibu, dia dapat menyampaikan kepada Sang Putera, kebutuhan manusia dan bahkan, dia 'berhak' untuk berbuat demikian. Bahwa Maria berdiri di tengah antara Kristus dan manusia dengan demikian mengandung sifat sebagai pengantara: Maria 'menjadi perantara' bagi manusia.
Namun kita tidak boleh terjebak dalam pemahaman yang menempatkan posisi Maria di atas Gereja. Sehingga timbul suatu kesalahpahaman seakan-akan Maria menempatkan posisi ‘di tengah’ yakni antara Sang Penebus dengan umat yang ditebus, ataupun antara Kepala Gereja dengan para anggotanya. Padahal tempat Maria sebagai orang pertama yang telah ditebus dan memang ada di dalam Gereja, bukan di atas atau berada di luarnya.[9]

3.2. Maria, “Typos” Gereja
Peran aktif Maria dalam karya keselamatan tampak dalam ketaatannya. Ia menerima anugerah dan tugas istimewa sebagai Bunda Allah. Maria dikaitkan dengan Gereja, karena kesatuannya yang mesra dengan Putra, Sang Penebus. Sehingga St. Ambrosius dalam ajarannya, menggambarkan Maria sebagai contoh atau citra (typos) Gereja. Sebagai Bunda dan Perawan suci, Maria menjadi pelopor dalam memberi contoh baik sebagai perawan maupun sebagai ibu secara gemilang dan istimewa (LG 63).
Jika Maria disebut typos atau citra Gereja maka sebutan itu berarti bahwa eksistensi Maria dipusatkan pada peranan dan tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, seperti halnya Maria (sebagai seorang ibu) dapat bekerja sama dengan Kristus, seperti halnya Maria sendiri telah hidup dan bersatu dengan Kristus.[10]
Perbincangan para teolog yang mencoba melihat relasi Maria dengan Gereja sambil menggunakan kaidah-kaidah analogis dan paralelistis. Dalam pemahaman klasik, Maria dipandang tidak satu dan sama saja dengan Gereja, tetapi keduanya juga satu dan sama dalam cara beradanya.[11] Maria menjadi typos Gereja pertama-tama karena iman, kasih, dan persatuannya dengan Kristus yang sedemikian sempurna, sehingga ia terlibat sepenuhnya dalam karya keselamatan Allah.
Persatuan Maria dengan Kristus sedemikian rupa menjadi persatu Maria dengan Gereja. Sehingga ia pantas disebut typos Gereja itu sendiri. Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan mereka satu dengan-Nya. Kepada mereka yang menerima-Nya, Ia memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Putra Allah menjadi Anak Manusia dan menjadikan manusia anak-anak Allah, mempersatukan mereka kepada Diri-Nya Sendiri dengan kasih dan kuasa-Nya, supaya mereka semua menjadi satu. Dalam diri mereka sendiri, mereka banyak menurut keturunan manusiawi, tetapi dalam Dia, mereka semua satu melalui kelahiran baru yang ilahi.
Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya, Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu perawan, tetapi lebih dari satu perawan. Keduanya adalah ibu, keduanya adalah perawan. Masing-masing mengandung dari kuasa Roh yang sama, tanpa noda. Masing-masing melahirkan putera Allah Bapa, tanpa dosa. Tanpa dosa, Bunda Maria melahirkan Kristus, sang Kepala, demi tubuh-Nya. Dengan pengampunan dari segala dosa, Gereja melahirkan tubuh, demi Kepalanya. Masing-masing adalah Bunda Kristus, tetapi tak satu pun melahirkan Kristus seluruhnya tanpa kerjasama dari yang lain.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Namun Gereja di dalamnya tetap pertama-tama menempatkan Maria, ibu Yesus di pihak Allah dan Yesus Kristus. Sehingga Gereja dapat melihat lebih jauh tentang rencana Allah. Hanya Maria yang sepenuhnya mewujudkan Gereja. Maria dengan sebulat hati menerima tawaran Allah melalui anakNya, Yesus Kristus, San Jusu Selamat umat manusia. Hanya Maria saja yang merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.[12]

4. Penutup
Konsili Vatikan II memang lebih condong menyajikan Mariologinya dalam rangka ajarannya tentang Gereja. Di satu sisi, Maria ditempat di pihak Gereja. Namun di sisi lain, Konsili tidak mau menyamakan kedudukan dan peranan Maria dalam tata penyelamatan dengan kedudukan dan peranan orang beriman lainnya. Jika Maria dimasukkan dalam Gereja, maka di dalam Gereja sendiri hendaknya dibuat pembedaan antara Gereja dengan Maria dan Gereja tanpa Maria.[13]
Penjelasan Mariologi sebenarnya merupakan suatu kupasan terhadap ajaran tentang Yesus Kristus dan karyaNya. Dalam gagasan ini, lebih ditekankan bagaimana hubungan yang mendalam Maria dengan Jurus Selamat sendiri. Sehingga dapat dilihat lebih jauh peran dan kedudukan Maria dalam karya penyelamatan Allah untuk manusia. Maria adalah manusia yang sepenuhnya telah diselamatkan dan sepenuhnya menerima penyelamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Sehingga Maria dianggap sebagai model seluruh umat beriman.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para ahli dalam menjelaskan ajarannya tentang Maria. Namun yang pasti bahwa keistimewaan pribadi Maria hanyalah dijamin oleh rahmat Allah semata-mata. Rahmat yang telah diberikan kepadanya secara cuma-cuma memungkinkan Maria bersatu mesra dengan Yesus Kristus dalam melaksanakan karya penyelamatan Ilahi. Dan rahmat yang sama pula telah mengangkat Maria dalam kemuliaan dan kenikmatan hidup Tritunggal Kudus sampai kekal.[14]
















Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.

Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Groenen, C., OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Kristiyanto, A. Eddy, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Musakabe, Herman, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi
Yuana, 2005.

Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada Sabtu, 21 November 2009.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 296.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm.300.
[4] Ibid., hlm. 298.
[5] Ibid.
[6] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 49.
[7] http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada 21 November 2009.
[8] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005, hlm. 111.
[9] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 421.
[10] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc. Cit., hlm. 58.
[11] Ibid., hlm. 61.
[12] C. Groenen, OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 134.
[13] Ibid., hlm. 15.
[14] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc.Cit., hlm. 128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar