1. Pengantar
Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja. Inilah yang menjadi polemik utama yang masih sampai sekarang merongrong Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Namun tujuan ini penulisan ini tidak hanya sebatas terfokus pada kesadaran Gereja terhadap kaum feminis, tetapi juga diharapkan kesadaran itu justru tumbuh dalam diri wanita katolik sendiri. Sehingga mereka tidak hanya larut dalam ketidakpuasan terhadap Gereja yang seolah-olah menomorduakan mereka, tetapi lebih mengupayakan sesuatu yang lebih penting dalam hidup menggereja. Tantangan yang mereka hadapi bukanlah suatu hambatan bagi mereka untuk mencapai kekudusan sebagai murid Kristus dan ikutserta dalam membangun Gereja. Sehingga diharapkan kaum wanita lebih kreatif dalam menemukan bentuk-bentuk baru dalam karya pelayanan mereka. Karena dengan demikian peran mereka dalam Gereja akan semakin tampak lewat kesaksian dan kekudusan hidup mereka.
2. Latar Belakang Gerakan Feminis
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat kita temukan dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.[1] Kemudian menjelang abad 19 feminisme terbentuk menjadi sebuah gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada awalnya gerakan ini karena memang diperlukan pada masa itu, dimana ada terjadi pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan kaum wanita. Secara umum kita dapat melihat bahwa dalam fakta sejarah kaum perempuan kerap merasa dirugikan bahkan direndahkan dalam berbagai bidang kehidupan sosio-politik. Secara jelas khususnya dalam masyarakat yang sifat patriarkinya masih kental, kaum perempuan hanya menjadi kelas nomor dua. Dalam bidang-bidang sosial dan lebih-lebih politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi masih belum menjadi sebuah gerakan populer yang memiliki pengaruh yang besar. Baru setelah di Amerika Serikat ketika terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Kemudian gerakan feminis ini begitu berkembang dan memberi pengaruh ke berbagai negara lain.
3. Tantangan Kaum Feminis dalam Gereja
3.1. Tahbisan Imam Wanita
Gerakan wanita dalam Gereja tidak lepas dari pengaruh berkembangnya gerakan feminis yang semakin luas dewasa ini. Gerakan ini tidak hanya sebatas tidakpuasan terhadap sikap Gereja namun berujung pada penolakan terhadap pandangan alkitabiah tentang wanita dalam Gereja dan masyarakat. Memang dasar permasalahan tidak terletak pada teks Kitab Suci tetapi dalam cara menafsirkannya. Hanya saja perbedaan penafsiran ini dapat berimbas pada perombakan tradisi Kristiani. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa perbedaan penafsiran ini jatuh pada pandangan ekstrim yang menafsirkan tradisi Kristiani secara inklusif. Penafsiran seperti ini memiliki argumen bahwa wanita tidak dapat diselamatkan oleh Allah yang laki-laki, sehingga menolak Yesus dan karya penyelamatanNya.[2]
Gerakan feminis dalam Gereja semakin mencuat seiring dominasi sikap Gereja yang lebih cenderung menomorduakan kaum perempuan, terutama menyangkut peran mereka di dalam Gereja. Peran mereka dibatasi oleh padangan-pandangan Gereja yang lebih dipengaruhi teologi kaum hawa. Sehingga timbul gerakan kaum feminis yang menginginkan wanita juga dapat menerima tahbisan seperti para imam biasanya. Sikap Gereja tetap mempertahankan tahbisan imam hanya untuk laki-laki saja. Bagi kaum feminis tahbisan imamat yang hanya diperuntukkan bagi kaum adam sebenarnya tidak memiliki alasan alkitabiah yang mendasar.
3.2. Penegakan HAM
Keengganan Tahta Suci Vatikan mentahbiskan imam perempuan dan meletakkan perempuan pada posisi kedua dalam tugas-tugas kegembalaan dengan sendirinya telah menunjukkan sikap diskriminatif Vatikan. Dalam hal ini, Vatikan telah melakukan pelanggaran HAM. Otoritas telah menjelma menjadi paham otoriter. Panggilan menjadi imam datang dari Allah sendiri. Panggilan menjadi imam bisa jadi tumbuh di antara kaum perempuan. Mereka layak ditahbiskan dan menjalankan tugas-tugas kegembalaan. Menjadi imam bagi perempuan adalah hak asasi. Menghalangi dan meruntuhkan hak-hak asasi manusia masuk dalam kategori pelanggaran HAM.[3]
4. Posisi Vatikan: Tradisi Gereja
Tahta Suci Vatikan melalui Konggregasi Suci untuk Doktrin dan Iman menyatakan posisi Vatikan bahwa Gereja Katolik Roma tidak akan pernah mentahbiskan imam perempuan. Imam hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa tradisi Gereja Katolik tidak mengijinkan dan mengesahkan perempuan ambil bagian dalam tugas-tugas kegembalaan sebagai imam. Keteguhan gereja Katolik Roma berpegang pada tradisi yang telah berabad-abad lamanya dihidupi sepertinya tak akan tergoyahkan, sampai-sampai pendapat demikian tidak membutuhkan pertimbangan atau intervensi keputusan magisterium.
4.1. Yesus Sendiri memilih Keduabelas Rasul
Dalam terang tradisi maka tampak alasan yang esensial pada tubuh Gereja Katolik bahwa hanya laki-laki yang layak menjabat tugas imamat. Yesus memilih keduabelas orang laki-laki untuk menjadi Rasul. Yesus tidak memilih seorang pun perempuan untuk tugas tersebut. Seorang Rasul mendapat legitimasi dengan pelantikan khusus oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.[4] Tidak mengherankan, tradisi pelimpahan tugas-tugas sakramental hingga kini didominasi oleh kaum adam.
Keduabelas Rasul itu seperti Yesus. Mereka melanjutkan misi Yesus mewartakan kabar gembira (lih. Mat 3: 14; 6: 12). Misi mereka menjadi model misi secara universal. Dalam pengertian misi semacam ini, mereka representasi Yesus. Itulah sebabnya mengapa para rasul harus laki-laki. Paus Innocent III menyatakan bahwa Yesus tidak pernah menyampaikan dan mempercayakan misinya secara langsung kepada ibunya, tetapi kepada para Rasul.
4.2. Perbedaan Kodrat Pria dan Wanita
Banyak kaum feminis mengatakan bahwa harus ada persamaan hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik, termasuk adalah untuk menjadi seorang imam. Mungkin kita harus menerima bahwa persamaan hak dan kewajiban tidak berarti menghilangkan perbedaan kodrat seorang pria dan wanita. Perbedaan kodrat ini tidak berbicara soal tingkatan, apalagi memaksudkan untuk merendahkan kaum wanita. Perbedaan kodrat ini tidak bisa langsung diidentikkan sebagai sesuatu yang buruk. Perbedaan ini lebih menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita itu berbeda dan perbedaan itu harus dihormati dan diterima secara bebas. Sebagai contoh, menjadi kodrat wanita untuk melahirkan. Kalaupun seorang pria ingin dan mau mempunyai persamaan hak untuk melahirkan seperti wanita, dia tetap tidak bisa, karena melahirkan bukan menjadi bagian dari kodratnya. Demikian juga dengan imam jabatan, seorang wanita tidak dapat menjadi imam, bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria.
5. Wanita dan Pelayanan dalam Gereja Sekarang
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa tradisi Gereja masa lampau yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarkal tidak banyak memberi peran pada kaum wanita dalam karya pelayanan intern Gereja. Dan pembatasan terhadap peran kaum perempuan dalam Gereja ini masih dirasakan imbasnya sampai sekarang. Seperti yang terjadi pada gereja di Indonesia, beberapa paroki tetap bersikukuh melarang kaum wanita dalam tugas sebagai pelayan altar dengan alasan berpegang pada tradiri Gereja. Meskipun dalam Cogregatio de Divinis Officiis tahun 1994 sudah memutuskan bahwa kaum wanita (termasuk anak-anak perempuan) dapat membantu Misa sebagai putri altar.[5]
Namun lepas dari itu semua, perkembangan Gereja saat ini mulai banyak menempatkan peran kaum wanita dalam pelayanan Gereja bila dibandingkan situasi Gereja masa lampu yang masih tertutup bagi mereka. Sekarang cukup banyak wanita yang sudah terlibat dalam tugas dan pelayanan di paroki-paroki, terlebih peran mereka dalam tugas-tugas pastoral.
Gereja Katolik Roma memang tidak memiliki dasar teologis untuk menempatkan perempuan dalam tugas kegembalaan sebagai seorang imam. Namun hal itu bukan berarti bahwa Gereja merendahkan martabat kaum perempauan. Justru Gerej mau menekankan bahwa perempuan memiliki peranan dalam tugas-tugas gerejawi, tetapi tidak sebagai imam. Peluang tugas-tugas gerejawi di luar tugas seorang imam terbuka lebar bagi kaum perempuan. Gereja tetap memberi ruang pada peran perempuan dalam karya kerasulan. Seperti yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik “Ordinatio Sacerdotalis” yang diterbitkan pada tahun 1994. Beliau menyatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan tahbisan imam kepada wanita dan keputusan ini harus ditaati oleh seluruh umat beriman. Namun demikian, Gereja memperbolehkan wanita untuk aktif dalam peran kerasulan awam (seperti mengajar agama sebagai katekis, membentuk komunitas ibu-ibu untuk maksud evangelisasi, dan seterusnya), namun terutama di dalam keluarga karena tugasnya sebagai ibu untuk mendidik anak-anak mereka.[6]
6. Bunda Maria: Teladan Suci Wanita Katolik
Dalam hidup Kristiani, Bunda Maria diakui sebagai Bunda Allah karena Ia boleh mengandung dan mengijinkan Putra Allah mengambil daging dalam rahimnya yang perawan. Karya kesematan Allah bekerja dalam dirinya karena kesucian dan kekudusan hidupnya. Hal itu tampak dalam kesetiaannya pada Allah dimana Bunda Maria juga ada di bawah kaki salib sementara Putranya, Juruselamat kita, menebus dunia sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Di sana ia ditunjuk untuk menjadi ibu dari mereka semua yang dihantar kepada hidup melalui wafat Putra tunggalnya ( lih.Yoh 19:26-27).
Namun dalam ajaran Katolik yang sejati pembahasan tentang Bunda Maria tidak hanya berhenti pada kekudusan hidupnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu. Sehingga Maria dalam Gereja Kudus mendapat tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita manusia (lih. LG art.54).
Kaum feminis seperti Halkes, seorang teolog feminis banyak menolak pandangan Kristen tentang Maria. Karena dalam gagasan teologi katolik Maria digambarkan sebagai citra asli umat manusia yang telah ditebus. Oleh kaum feminisme, gagasan Kristiani tersebut dianggap sebagai monopoli prinsip maskulin. Kehadiran Maria hanya menunjukkan prinsip feminis yang boleh menggambarkan manusia sebagai penerima rahmat Ilahi, tetapi tidak pernah bisa menggambarkan salah satu segi dari yang ilahi itu sendiri. Gambaran Maria yang dibuat oleh Gereja hanya didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan para imam dan teolog laki-laki.[7]
Namun bila kita lihat dalam Tradisi, Gereja dengan teguh menegaskan bahwa bukan karena tidak menjadi seorang imam, sehingga seorang perempuan menjadi kurang kudus atau kurang berperan dalam kehidupan Gereja. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia, setelah Kristus, yang tidak bernoda. Dan Bunda Maria, walaupun menjadi bunda Kristus, dia tidak menjadi salah satu dari rasul. Namun ia telah menunjukkan kekudusan hidup yang sungguh berkenan di hadapan Allah. Bunda Allah kiranya dapat menjadi teladan bagi semua orang terlebih kaum wanita Kristiani untuk kesempurnaan hidup di dunia.
7. Penutup
Semua orang yang dibaptis sebetulnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan raja. Imam yang dimaksud disini adalah imam bersama atau imamat umum bukan imamat jabatan. Imamat umum yang ada dalam setiap orang Kristiani menunjukkan bahwa semua orang Kristiani yang baik pria maupun wanita memiliki tugas mulia untuk menguduskan dunia lewat persekutuan doa dan kekudusan hidup mereka yang dapat menjadi kesaksian hidup untuk membawa setiap orang kepada Allah.
Konsili Vatikan II memang tidak mengangkat tema feminisme dalam pengkajian isi dokumen. Namun dalam Konsili Vatikan dalam GS sangat menekankan Gereja sebagai persekutuan jemaat. Dokumen ini mau menegaskan bahwa Gereja itu adalah umat Allah sendiri. Artinya bahwa Gereja bukanlah milik kaum klerus atau herarki yang tidak dapat disangkal adalah dominasi kaum maskulin. Kaum klerus sendiri merupakan bagian dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah persekutuan seluruh umat Allah yang merangkul perbedaan jenis kelamin, etnis, suku, bahasa dan bangsa. Di sini seluruh kaum awam yang terhimpun dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu Kepala, yakni Kristus dipanggil untuk menyumbangkan segenap tenaga yang diterima berkat kebaikan Allah dan rahmat Sang Penebusan demi perkembangan Gereja serta penebusannya terus-menerus (bdk. LG art. 33).
Seluruh kaum awam baik pria maupun wanita yang adalah anggota umat Allah memiliki panggilan dengan aneka cara berusaha supaya rencana keselamatan Allah semakin dirasakan oleh semua orang di segala zaman dan di mana-mana. Di sini kita dapat melihat bahwa larangan tahbisan imam wanita sebenarnya bukan halangan bagi kaum perempuan untuk ambil peran dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Sebagai anggota umat Allah, kaum perempuan dengan aneka cara juga dapat membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan demi penyebarluasan san perkembangan Kerajaan Allah di dunia (bdk. LG art. 35).
Daftar Pustaka
Buku
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Internet
http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/perempuan_vatikan-redirected diakses pada Kamis, 12 November 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November, 2009.
http://katolisitas.org/2009/04/28/2008/08/02/kaum-feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[2] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.343-344.
[3] http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108 diakses pada Kamis, 12 Novemerber 2009.
[4] G. Kirchberger, SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 271.
[5] Thomas P. Rausch, Loc. Cit., hlm. 350-351.
[6] Ibid.
[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.496.
Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja. Inilah yang menjadi polemik utama yang masih sampai sekarang merongrong Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Namun tujuan ini penulisan ini tidak hanya sebatas terfokus pada kesadaran Gereja terhadap kaum feminis, tetapi juga diharapkan kesadaran itu justru tumbuh dalam diri wanita katolik sendiri. Sehingga mereka tidak hanya larut dalam ketidakpuasan terhadap Gereja yang seolah-olah menomorduakan mereka, tetapi lebih mengupayakan sesuatu yang lebih penting dalam hidup menggereja. Tantangan yang mereka hadapi bukanlah suatu hambatan bagi mereka untuk mencapai kekudusan sebagai murid Kristus dan ikutserta dalam membangun Gereja. Sehingga diharapkan kaum wanita lebih kreatif dalam menemukan bentuk-bentuk baru dalam karya pelayanan mereka. Karena dengan demikian peran mereka dalam Gereja akan semakin tampak lewat kesaksian dan kekudusan hidup mereka.
2. Latar Belakang Gerakan Feminis
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat kita temukan dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.[1] Kemudian menjelang abad 19 feminisme terbentuk menjadi sebuah gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada awalnya gerakan ini karena memang diperlukan pada masa itu, dimana ada terjadi pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan kaum wanita. Secara umum kita dapat melihat bahwa dalam fakta sejarah kaum perempuan kerap merasa dirugikan bahkan direndahkan dalam berbagai bidang kehidupan sosio-politik. Secara jelas khususnya dalam masyarakat yang sifat patriarkinya masih kental, kaum perempuan hanya menjadi kelas nomor dua. Dalam bidang-bidang sosial dan lebih-lebih politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi masih belum menjadi sebuah gerakan populer yang memiliki pengaruh yang besar. Baru setelah di Amerika Serikat ketika terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Kemudian gerakan feminis ini begitu berkembang dan memberi pengaruh ke berbagai negara lain.
3. Tantangan Kaum Feminis dalam Gereja
3.1. Tahbisan Imam Wanita
Gerakan wanita dalam Gereja tidak lepas dari pengaruh berkembangnya gerakan feminis yang semakin luas dewasa ini. Gerakan ini tidak hanya sebatas tidakpuasan terhadap sikap Gereja namun berujung pada penolakan terhadap pandangan alkitabiah tentang wanita dalam Gereja dan masyarakat. Memang dasar permasalahan tidak terletak pada teks Kitab Suci tetapi dalam cara menafsirkannya. Hanya saja perbedaan penafsiran ini dapat berimbas pada perombakan tradisi Kristiani. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa perbedaan penafsiran ini jatuh pada pandangan ekstrim yang menafsirkan tradisi Kristiani secara inklusif. Penafsiran seperti ini memiliki argumen bahwa wanita tidak dapat diselamatkan oleh Allah yang laki-laki, sehingga menolak Yesus dan karya penyelamatanNya.[2]
Gerakan feminis dalam Gereja semakin mencuat seiring dominasi sikap Gereja yang lebih cenderung menomorduakan kaum perempuan, terutama menyangkut peran mereka di dalam Gereja. Peran mereka dibatasi oleh padangan-pandangan Gereja yang lebih dipengaruhi teologi kaum hawa. Sehingga timbul gerakan kaum feminis yang menginginkan wanita juga dapat menerima tahbisan seperti para imam biasanya. Sikap Gereja tetap mempertahankan tahbisan imam hanya untuk laki-laki saja. Bagi kaum feminis tahbisan imamat yang hanya diperuntukkan bagi kaum adam sebenarnya tidak memiliki alasan alkitabiah yang mendasar.
3.2. Penegakan HAM
Keengganan Tahta Suci Vatikan mentahbiskan imam perempuan dan meletakkan perempuan pada posisi kedua dalam tugas-tugas kegembalaan dengan sendirinya telah menunjukkan sikap diskriminatif Vatikan. Dalam hal ini, Vatikan telah melakukan pelanggaran HAM. Otoritas telah menjelma menjadi paham otoriter. Panggilan menjadi imam datang dari Allah sendiri. Panggilan menjadi imam bisa jadi tumbuh di antara kaum perempuan. Mereka layak ditahbiskan dan menjalankan tugas-tugas kegembalaan. Menjadi imam bagi perempuan adalah hak asasi. Menghalangi dan meruntuhkan hak-hak asasi manusia masuk dalam kategori pelanggaran HAM.[3]
4. Posisi Vatikan: Tradisi Gereja
Tahta Suci Vatikan melalui Konggregasi Suci untuk Doktrin dan Iman menyatakan posisi Vatikan bahwa Gereja Katolik Roma tidak akan pernah mentahbiskan imam perempuan. Imam hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa tradisi Gereja Katolik tidak mengijinkan dan mengesahkan perempuan ambil bagian dalam tugas-tugas kegembalaan sebagai imam. Keteguhan gereja Katolik Roma berpegang pada tradisi yang telah berabad-abad lamanya dihidupi sepertinya tak akan tergoyahkan, sampai-sampai pendapat demikian tidak membutuhkan pertimbangan atau intervensi keputusan magisterium.
4.1. Yesus Sendiri memilih Keduabelas Rasul
Dalam terang tradisi maka tampak alasan yang esensial pada tubuh Gereja Katolik bahwa hanya laki-laki yang layak menjabat tugas imamat. Yesus memilih keduabelas orang laki-laki untuk menjadi Rasul. Yesus tidak memilih seorang pun perempuan untuk tugas tersebut. Seorang Rasul mendapat legitimasi dengan pelantikan khusus oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.[4] Tidak mengherankan, tradisi pelimpahan tugas-tugas sakramental hingga kini didominasi oleh kaum adam.
Keduabelas Rasul itu seperti Yesus. Mereka melanjutkan misi Yesus mewartakan kabar gembira (lih. Mat 3: 14; 6: 12). Misi mereka menjadi model misi secara universal. Dalam pengertian misi semacam ini, mereka representasi Yesus. Itulah sebabnya mengapa para rasul harus laki-laki. Paus Innocent III menyatakan bahwa Yesus tidak pernah menyampaikan dan mempercayakan misinya secara langsung kepada ibunya, tetapi kepada para Rasul.
4.2. Perbedaan Kodrat Pria dan Wanita
Banyak kaum feminis mengatakan bahwa harus ada persamaan hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik, termasuk adalah untuk menjadi seorang imam. Mungkin kita harus menerima bahwa persamaan hak dan kewajiban tidak berarti menghilangkan perbedaan kodrat seorang pria dan wanita. Perbedaan kodrat ini tidak berbicara soal tingkatan, apalagi memaksudkan untuk merendahkan kaum wanita. Perbedaan kodrat ini tidak bisa langsung diidentikkan sebagai sesuatu yang buruk. Perbedaan ini lebih menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita itu berbeda dan perbedaan itu harus dihormati dan diterima secara bebas. Sebagai contoh, menjadi kodrat wanita untuk melahirkan. Kalaupun seorang pria ingin dan mau mempunyai persamaan hak untuk melahirkan seperti wanita, dia tetap tidak bisa, karena melahirkan bukan menjadi bagian dari kodratnya. Demikian juga dengan imam jabatan, seorang wanita tidak dapat menjadi imam, bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria.
5. Wanita dan Pelayanan dalam Gereja Sekarang
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa tradisi Gereja masa lampau yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarkal tidak banyak memberi peran pada kaum wanita dalam karya pelayanan intern Gereja. Dan pembatasan terhadap peran kaum perempuan dalam Gereja ini masih dirasakan imbasnya sampai sekarang. Seperti yang terjadi pada gereja di Indonesia, beberapa paroki tetap bersikukuh melarang kaum wanita dalam tugas sebagai pelayan altar dengan alasan berpegang pada tradiri Gereja. Meskipun dalam Cogregatio de Divinis Officiis tahun 1994 sudah memutuskan bahwa kaum wanita (termasuk anak-anak perempuan) dapat membantu Misa sebagai putri altar.[5]
Namun lepas dari itu semua, perkembangan Gereja saat ini mulai banyak menempatkan peran kaum wanita dalam pelayanan Gereja bila dibandingkan situasi Gereja masa lampu yang masih tertutup bagi mereka. Sekarang cukup banyak wanita yang sudah terlibat dalam tugas dan pelayanan di paroki-paroki, terlebih peran mereka dalam tugas-tugas pastoral.
Gereja Katolik Roma memang tidak memiliki dasar teologis untuk menempatkan perempuan dalam tugas kegembalaan sebagai seorang imam. Namun hal itu bukan berarti bahwa Gereja merendahkan martabat kaum perempauan. Justru Gerej mau menekankan bahwa perempuan memiliki peranan dalam tugas-tugas gerejawi, tetapi tidak sebagai imam. Peluang tugas-tugas gerejawi di luar tugas seorang imam terbuka lebar bagi kaum perempuan. Gereja tetap memberi ruang pada peran perempuan dalam karya kerasulan. Seperti yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik “Ordinatio Sacerdotalis” yang diterbitkan pada tahun 1994. Beliau menyatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan tahbisan imam kepada wanita dan keputusan ini harus ditaati oleh seluruh umat beriman. Namun demikian, Gereja memperbolehkan wanita untuk aktif dalam peran kerasulan awam (seperti mengajar agama sebagai katekis, membentuk komunitas ibu-ibu untuk maksud evangelisasi, dan seterusnya), namun terutama di dalam keluarga karena tugasnya sebagai ibu untuk mendidik anak-anak mereka.[6]
6. Bunda Maria: Teladan Suci Wanita Katolik
Dalam hidup Kristiani, Bunda Maria diakui sebagai Bunda Allah karena Ia boleh mengandung dan mengijinkan Putra Allah mengambil daging dalam rahimnya yang perawan. Karya kesematan Allah bekerja dalam dirinya karena kesucian dan kekudusan hidupnya. Hal itu tampak dalam kesetiaannya pada Allah dimana Bunda Maria juga ada di bawah kaki salib sementara Putranya, Juruselamat kita, menebus dunia sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Di sana ia ditunjuk untuk menjadi ibu dari mereka semua yang dihantar kepada hidup melalui wafat Putra tunggalnya ( lih.Yoh 19:26-27).
Namun dalam ajaran Katolik yang sejati pembahasan tentang Bunda Maria tidak hanya berhenti pada kekudusan hidupnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu. Sehingga Maria dalam Gereja Kudus mendapat tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita manusia (lih. LG art.54).
Kaum feminis seperti Halkes, seorang teolog feminis banyak menolak pandangan Kristen tentang Maria. Karena dalam gagasan teologi katolik Maria digambarkan sebagai citra asli umat manusia yang telah ditebus. Oleh kaum feminisme, gagasan Kristiani tersebut dianggap sebagai monopoli prinsip maskulin. Kehadiran Maria hanya menunjukkan prinsip feminis yang boleh menggambarkan manusia sebagai penerima rahmat Ilahi, tetapi tidak pernah bisa menggambarkan salah satu segi dari yang ilahi itu sendiri. Gambaran Maria yang dibuat oleh Gereja hanya didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan para imam dan teolog laki-laki.[7]
Namun bila kita lihat dalam Tradisi, Gereja dengan teguh menegaskan bahwa bukan karena tidak menjadi seorang imam, sehingga seorang perempuan menjadi kurang kudus atau kurang berperan dalam kehidupan Gereja. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia, setelah Kristus, yang tidak bernoda. Dan Bunda Maria, walaupun menjadi bunda Kristus, dia tidak menjadi salah satu dari rasul. Namun ia telah menunjukkan kekudusan hidup yang sungguh berkenan di hadapan Allah. Bunda Allah kiranya dapat menjadi teladan bagi semua orang terlebih kaum wanita Kristiani untuk kesempurnaan hidup di dunia.
7. Penutup
Semua orang yang dibaptis sebetulnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan raja. Imam yang dimaksud disini adalah imam bersama atau imamat umum bukan imamat jabatan. Imamat umum yang ada dalam setiap orang Kristiani menunjukkan bahwa semua orang Kristiani yang baik pria maupun wanita memiliki tugas mulia untuk menguduskan dunia lewat persekutuan doa dan kekudusan hidup mereka yang dapat menjadi kesaksian hidup untuk membawa setiap orang kepada Allah.
Konsili Vatikan II memang tidak mengangkat tema feminisme dalam pengkajian isi dokumen. Namun dalam Konsili Vatikan dalam GS sangat menekankan Gereja sebagai persekutuan jemaat. Dokumen ini mau menegaskan bahwa Gereja itu adalah umat Allah sendiri. Artinya bahwa Gereja bukanlah milik kaum klerus atau herarki yang tidak dapat disangkal adalah dominasi kaum maskulin. Kaum klerus sendiri merupakan bagian dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah persekutuan seluruh umat Allah yang merangkul perbedaan jenis kelamin, etnis, suku, bahasa dan bangsa. Di sini seluruh kaum awam yang terhimpun dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu Kepala, yakni Kristus dipanggil untuk menyumbangkan segenap tenaga yang diterima berkat kebaikan Allah dan rahmat Sang Penebusan demi perkembangan Gereja serta penebusannya terus-menerus (bdk. LG art. 33).
Seluruh kaum awam baik pria maupun wanita yang adalah anggota umat Allah memiliki panggilan dengan aneka cara berusaha supaya rencana keselamatan Allah semakin dirasakan oleh semua orang di segala zaman dan di mana-mana. Di sini kita dapat melihat bahwa larangan tahbisan imam wanita sebenarnya bukan halangan bagi kaum perempuan untuk ambil peran dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Sebagai anggota umat Allah, kaum perempuan dengan aneka cara juga dapat membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan demi penyebarluasan san perkembangan Kerajaan Allah di dunia (bdk. LG art. 35).
Daftar Pustaka
Buku
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Internet
http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/perempuan_vatikan-redirected diakses pada Kamis, 12 November 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November, 2009.
http://katolisitas.org/2009/04/28/2008/08/02/kaum-feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[2] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.343-344.
[3] http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108 diakses pada Kamis, 12 Novemerber 2009.
[4] G. Kirchberger, SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 271.
[5] Thomas P. Rausch, Loc. Cit., hlm. 350-351.
[6] Ibid.
[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.496.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar