1. Pengantar
Sejak abad-abad awal Gereja, sejumlah pria dan wanita telah berusaha menanggapi panggilan Injil untuk menjadi murid Yesus dengan hidup bersama orang-orang Kristiani lain dalam komunitas yang dibentuk untuk doa, pelayanan injil, dan pelayanan Kristiani. Lambat laun, beberapa komunitas itu menjadi ordo atau kongregasi religius, komunitas rahib atau rubiah, imam, bruder, atau suster yang hidup bersama dan mengikat diri mereka dengan nasihat Injil “kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.” Ada juga komunitas orang awam yang para anggotanya hidup dan melaksanakan pelayanan bersama. Ada juga lembaga-lembaga sekular yang diakui secara kanonik, perkumpulan pria atau wanita yang mengucapkan kaul religius tradisional secara pribadi dan “terus” melanjutkan hidup di dunia dan tidak di dalam komunitas religius.[1]
Konsili Vatikan II membawa perbaharuan dalam hidup religius. Ada dua hal yang digagaskan, yakni pengacuan terus-menerus pada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat awali dan penyesuaian atau tanggapan terhadap situasi zaman yang selalu berubah (bdk. PC 2). Pembaharuan yang digagaskan konsili ini mulai membawa perubahan baik dalam penampilan maupun pemahaman dalam hidup religius pada tahun-tahun selanjutnya.[2] Melihat kenyataan ini sangatlah penting bagi kita untuk mengupas lebih jauh tentang hidup religius terutama dalam Lumen Gentium. Kiranya ulasan dalam dokumen ini membantu umat kristiani bukan hanya sebatas wawasan tentang hidup religius, tetapi lebih dari itu umat semakin disadarkan akan panggilan kesucian mereka dalam hidup di tengah masyarakat.
2. Hidup Menurut Nasihat Injili
Dalam Gereja kita mengenal banyak serikat religius dengan berbagai macam spritualitas dan penghayatannya. Semuanya itu bukan hanya menjadi kekayaan Gereja, tetapi corak hidup religius ini lebih merupakan tanda yang nyata jalan kesempurnaan hidup kristiani. Hidup para religius menandai aspek eskatologis hidup Kristiani, terutama dalam “pengikraran nasihat-nasihat Injil”, yakni “harta surgawi”, “kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan kerajaan surgawi”.[3]
Hidup para religius pertama-tama bukan merupakan fungsi dalam Gereja dan tidak masuk dalam hierarki, namun menjadi “kesucian dan hidup” Gereja itu sendiri.[4] Hidup religius bukan hanya mencakup hidup kristiani, tetapi juga hidup manusiawi dan hidup religius itu sendiri. Namun pada dasarnya hidup religius itu sendiri ditandai dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil yang menjadi unsur hakiki di dalamnya. Istilah “nasihat Injil” yang dimaksud biasanya adalah kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Memang dalam Injil banyak terdapat nasihat-nasihat suci lainnya. Sehingga berkaitan dengan ketiga kaul, kita diharapkan untuk menggali lebih dalam dasarnya dalam hidup dan sabda Yesus.
Hakikat hidup religius pada intinya memang tidak berubah. Siapakah para religius itu menurut ajaran Gereja, dapat kita ketahui terutama dari konstitusi Lumen Gentium 43-44 dan sekuruh dekrit Perfectae Caritatis. Kaum religius adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus Kristus yang miskin,wadat dan taat. Ketiga siafat Yesus ini wajib untuk semua pengikutNya, maka disebut “nasihat Injili”. Kaum religius dengan sukarela menghayati ketiga nasihat injil itu supaya mereka dapat meneladani Yesus Kristus dan dengan demikian mencapai kesempurnaan cinta.Kaum religius memberikan kesaksian akan adanya nilai-nilai yang melempaui tata nilai keduniaan dan adanya dimensi ilahi dalam hidup kita dengan cara hidup menurut nasihat-nasihat atau amanat injil dan dengan menghayati kaul keperawana atau kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Mereka secara khas mewartakan bahwa Allah harus kita cari di dalam dan di atas segalanya. Cara hidup mereka menjadi kesaksian bagi dunia bahwa tujuan hidup manusia hidup kekal yang jauh mengatasi hidup fana di dunia ini. Nah, inilah hakikat dasar hidup religius yang tetap berlaku.
Nasihat-nasihat Injil merupakan kurnia Ilahi. Kurnia itu diterima oleh Gereja dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat Allah sendiri.[5] Nasihat-nasihat itu telah dihayati oleh para Rasul berdasarkan sabda dan teladan Tuhan dan kemudian diwariskan kepada para pengikutnya turun-temurun. Sehingga para pemimpin Gereja memiliki tugas dibawah bimbingan Roh Kudus untuk menjaga keutuhan kurnia Ilahi ini, terutama dalam penafsiran dan penetapan bentuk-bentuk penghayatannya yang tetap.
Secara umum dengan ketiga kaul para religius diajak untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehigga dapat digunakan oleh Tuhan. Intinya adalah menyatukan diri dengan Tuhan sendiri secara penuh. Artinya bahwa dengan kaul kemurnian/keperawanan para religius tidak terikat dengan keluarga, seluruhnya hanya untuk Tuhan. Dengan kaul kemiskinan para religius tidak mau diikat oleh harta benda duniawi tetapi mau lebih bebas melekatkan diri pada Tuhan. Dan dengan kaul ketaatan para religius tidak mau terikat degan kedudukan dan kekuasaan tetapi justru ingin taat pada perintah Tuhan sendiri.
Bagi Yesus hidup kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan buah kesatuanNya dengan Bapa sekaligus buah yang dipilihNya untuk mewujudkan misiNya sesuai dengan visi yang menyingkapkan kehendak Allah dalam situasi yang dihadapi. Kaul dalam tarekat religius merupakan kelanjutan komitmen Yesus untuk memperjuangkan kehidupan dalam perspektif kehendak Allah Bapa.
Pengikraran ketiga nasihat Injil ini merupakan suatu karunia ilahi yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmatNya. Para religius menghayati ketiga nasihat Injil (Kemurnian, kemiskinan dan keteaatan) dalam hidupnya sebagai suatu anugerah. Semua anggota religius diharapkan untuk menjalani cara hidup yang lebih tetap dan teguh untuk mengejar kesempurnaan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia. Dan mereka dapat melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira. Kaul merupakan jawaban dan komitmen kaum relligius dalam kemerdekaan seperti Yesus yang hidup dan menjalankan misi dalam kemerdekaan dan keluasan tanpa batas. Pengikraran kaul merupakan pernyataan “amin” kepada pengkhususan atau pengudusan Allah untuk menghayati cinta kasih dalam misteri salib yang merupakan kelimpahan rahmat Allah kepada dunia. Ketiga nasihat Injil itu dapat kita lihat secara singkat di bawah ini :
2.1. Kemurnian
Kemurnian merupakan salah satu dari ketiga nasihat Injil yang paling penting. Orang tidak dapat menolak hidup membiara tanpa keperawanan. Menghayati kemurnian/keperawanan tidak mudah oleh karena itu keperawanan ini harus benar-benar berangkat dari pengenalan diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai sesama.[6] Kemurnian harus terus menerus diusahakan. Hidup murni tidak hanya dalam bentuk hidup tidak kawin (hidup selibat), tetapi lebih dari itu juga hidup murni berkaitan dangan seluruh aspek kehidupan, seperti pikiran, perbuatan dan lain-lain.
2.2. Ketaatan
Ketaatan memiliki dua pengertian. Pertama ketaatan manusiawi dan kedua ketaatan kristiani. Ketaatan pertama-tama bersifat manusiawi . Secara menusiawi kita adalah makluk rasional yang dilengkapi dengan akal budi serta kehendak bebas. Karena itu kita dapat mengerti (berkat kehendak) untuk mengatur hidup dengan cara taat. Ketaatan tersebut akan berciri kristiani bila disertai pengakuan ketaatan yang seluruhnya tansenden yaitu Allah yang benar-benar patut kita patuhi secara absolut.[7] Ketaatan kristiani (ketaatan religius) berbeda dengan ketaatan manusiawi.
Sesuai dengan arahan Gereja yang dituangkan di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (Perfectae Caritatis), hidup religiua memang harus mengikuti zaman dengan terus menerus membaharui diri sesuai dengan tuntutan zamannya (bdk. PC 1 dan 2).
2.3. Kemiskinan
Kemiskinan religius memiliki pengertian yang cukup luas dan namun juga kabur. Terkadang terlihat kontras antara hidup miskin yang dihayati dengan keadaan yang serba berkecukupan dalam biara. Tantangan yang cukup besar bagi para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan. Meskipun demikian Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk yang baru (bdk. PC. n. 13).
Kemiskinan di sini lebih dimaksudkan pada berbagai bentuk hubungan manusia dengan harta benda.[8] Sehingga miskin dapat berarti tidak memiliki harta benda yang berlimpah. Miskin juga bisa diartikan sebagai sikap manusia dalam menggunakan harta benda tersebut. Dalam hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap tidak terlekat atau lepas bebas terhadap harta benda. Artinya bahwa dengan hidup miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka andalkan.
Yesus sendiri meminta para pengikutNya untuk meninggalkan segala harta bendanya sebagai salah langkah dasar untuk menjadi muridNya. Para murid harus meninggalkan harta milik demi Kerajaan Allah. Di sini kemiskinan berarti suatu dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan hati dalam mengikuti Yesus. Sehingga apabila harta benda membuat hati mendua dari Yesu, maka harus ditinggalkan.
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa “pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah dinamik hidup rahmat sendiri.
3. Makna Hidup Religius
Kehadiran Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada masyakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri.
Penyerahan diri yang total kepada Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap mengenangkan sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada Tuhan sendiri.[9]
4. Para Religius dan Hierarki Gereja
Kehadiran para religius membantu Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah sekaligus menggembalakan umat Allah ke ladang yang berumput lebat (bdk.Yes 34:14). Berangkat dari tugas misi ini maka hirarki secara bijaksana mengatur tata aturan hidup religius ini dalam undang-undang (hidup menurut nasihat-nasihat Injil) dan dalam hal ini hirarki secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan sesama. Bentuk dukungan ini adalah hirarki menerima pedoman-pedoman hidup yang diajukan oleh serikat-serikat atau tarekat-tareka hidup religius dan mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah diresmikan diharapkan membangun Tubuh Kristus dan berkembang menurut semangat hidup para pendirinya.
Dalam Kanon 673-683 menyatakan bahwa lembaga hidup religius dan karyanya harus sesuai dengan identitas masing-masing khususnya sehubungan dengan bentuk dan cara kerasulan.[10] Dalam menunaikan tugas terhadap gerja masing-masing anggota menghidupi kharisma dan spiritualitasnya serta lebih dari itu juga mereka wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum gereja kepada para uskup demi tugas kerasulan mereka di gereja-gereja khusus. Karya kerasulan ini dilaksanakan atas nama mandat Gereja dalam persatuan dengan gereja juga.
Para religius harus sungguh-sungguh berusaha agar kehadiran mereka di tengah dunia menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun yang tidak beriman. Mereka harus menampilkan Kristus dalam berbagai situasi baik itu ketika Yesus sedang berdoa di atas bukit, mengajar, sedang menyembuhkan, menderita atau sedang memberkati anak-anak (LG 46).
5. Relevansi
Hidup para religius merupakan tanda badaniah berkaitan dengan inti agama kristen di antara orang-orang beriman Kristen. Kehadiran para religius di tengah jemaat kristiani merupakan tanda, sehingga orang kristen sungguh-sungguh melihat dan mengakui Kristus sebagai dasar terdalam dan pegangan terakhir hidup mereka. Di sini tampak aspek pengharapan eskatologis lebih ditonjolkan. Semua umat mengharapkan terwujudnya kesempurnaan eskatologis, yakni dimana semua aspek jahat musnah. Hidup para religius di tengah-tengah menjadi kesaksian bagi umat Allah untuk berani mati dengan meninggalkan manusia lama dan bangkit kembali sebagai ciptaan baru. Sehingga semua orang Kristiani sebenarnya dipanggil untuk menerima tugas perutusan yang mulia, yakni mengubah dunia yang lama dengan hidup yang baru dari dan dalam Kristus. Dengan demikian harapan eskatologis seluruh umat Kristiani akan terwujudnya Kerajaan Allah pada akhir jaman juga terlaksana di dunia sekarang dan di sini.
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Semua orang kristiani dipanggil kepada kesempurnaan. Dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Panggilan kepada kekudusan ini tentunya bukan sesuatu mengawang-awang dan terpisah dari kehidupan konkrit duniawi. Panggilan pada kekudusan justru merupakan panggilan untuk memiliki cara hidup yang lebih manusiawi sehingga turut ambil bagian dalam pembentukan dunia yang lebih manusiawi.[11]
Panggilan kepada kekudusan digerakkan oleh Roh Kudus, yakni Roh Kristus Tuhan yang diutus untuk melanjutkan karya keselamatan di dunia. Roh Kudus ada dalam setiap insan. Roh inilah selalu menggerakkan manusia untuk bersatu dengan Allah yang menjadi sumber kehidupannya. Dengan bantuan Roh Kudus sambil taat kepada sabda Bapa, semua orang kristiani dalam kehidupannya dipanggil untuk mengikuti Kristus secara total dan berani memanggul salib setiap hari (bdk. Mat 16:24), supaya layak mengambil bagian dalam kejayaanNya. Dengan demikian semua orang Kristiani dalam berbagai tugas dan keadaannya di dunia makin hari hari makin dikuduskan. Semuanya itu terjadi tentunya apabila kepercayaan atau iman yang teguh kepada Bapa dan kehendak Ilahi ditampakkan dalam karya pelayanan duniawi. Karya cinta kasih orang kristiani yang nyata di tengah-tengah dunia justru menunjukkan bahwa Allah mencintai dunia (LG 40 dan 41).
6. Penutup
Cara hidup sebagai religius berarti meneruskan, mengaktualkan dan memperbaharui cara hidup Yesus Kristus, Sang Juru Selamat dan Guru Besar. Cara hidup ini dijiwai oleh semangat hidup Yesus Kristus yang sungguh datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Ia datang untuk menyembuhkan, menghibur, memberikan pengharapan dan keselamatan kepada setiap manusia yang sungguh membutuhkannya. Maka dari itu, hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat Injil harus sungguh-sungguh berusaha supaya bisa bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah (LG 47). Setiap pelayanan atau karya kerasulan harus dilandasi oleh prinsip cinta kasih yang berani menyerahkan nyawa (bdk. Yoh 15:13). Para religius dipanggil sebagaimana telah diserukan “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada di situ pun pelayanKu berada” (Yoh 12:26).
Nasihat-nasihat Injili disadari sebagai karunia Tritunggal untuk memiliki daya kekuatan untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah, kendati kerapuhan manusia memeluknya (VC 20). Kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan pancaran hidup kasih Ilahi yang tak terhambat oleh apapun atau kekuatan dosa manapun. Pada intinya kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan dinamika pemberian diri seutuhnya, seperti yang dilakukan oleh pribadi Ilahi demi terwujudnya Kerajaan Allah (VC 21). Kerajaan Allah hanya dapat dibangun dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1).
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Go, Piet, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, 1984.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Ladjar, Leo L., OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Ridick, Joyce, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.182-183.
[2] Ibid., hlm. 191.
[3] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 304.
[4] Ibid., hlm. 301.
[5] LG, art. 137.
[6] Sr. Joyce Ridick, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987, hlm. 67.
[7] Ibid, hlm. 156
[8] Leo L. Ladjar, OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 43.
[9] LG, art. 146.
[10] Piet Go, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidu Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, hlm. 91.
[11] Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 334.
Sejak abad-abad awal Gereja, sejumlah pria dan wanita telah berusaha menanggapi panggilan Injil untuk menjadi murid Yesus dengan hidup bersama orang-orang Kristiani lain dalam komunitas yang dibentuk untuk doa, pelayanan injil, dan pelayanan Kristiani. Lambat laun, beberapa komunitas itu menjadi ordo atau kongregasi religius, komunitas rahib atau rubiah, imam, bruder, atau suster yang hidup bersama dan mengikat diri mereka dengan nasihat Injil “kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.” Ada juga komunitas orang awam yang para anggotanya hidup dan melaksanakan pelayanan bersama. Ada juga lembaga-lembaga sekular yang diakui secara kanonik, perkumpulan pria atau wanita yang mengucapkan kaul religius tradisional secara pribadi dan “terus” melanjutkan hidup di dunia dan tidak di dalam komunitas religius.[1]
Konsili Vatikan II membawa perbaharuan dalam hidup religius. Ada dua hal yang digagaskan, yakni pengacuan terus-menerus pada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat awali dan penyesuaian atau tanggapan terhadap situasi zaman yang selalu berubah (bdk. PC 2). Pembaharuan yang digagaskan konsili ini mulai membawa perubahan baik dalam penampilan maupun pemahaman dalam hidup religius pada tahun-tahun selanjutnya.[2] Melihat kenyataan ini sangatlah penting bagi kita untuk mengupas lebih jauh tentang hidup religius terutama dalam Lumen Gentium. Kiranya ulasan dalam dokumen ini membantu umat kristiani bukan hanya sebatas wawasan tentang hidup religius, tetapi lebih dari itu umat semakin disadarkan akan panggilan kesucian mereka dalam hidup di tengah masyarakat.
2. Hidup Menurut Nasihat Injili
Dalam Gereja kita mengenal banyak serikat religius dengan berbagai macam spritualitas dan penghayatannya. Semuanya itu bukan hanya menjadi kekayaan Gereja, tetapi corak hidup religius ini lebih merupakan tanda yang nyata jalan kesempurnaan hidup kristiani. Hidup para religius menandai aspek eskatologis hidup Kristiani, terutama dalam “pengikraran nasihat-nasihat Injil”, yakni “harta surgawi”, “kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan kerajaan surgawi”.[3]
Hidup para religius pertama-tama bukan merupakan fungsi dalam Gereja dan tidak masuk dalam hierarki, namun menjadi “kesucian dan hidup” Gereja itu sendiri.[4] Hidup religius bukan hanya mencakup hidup kristiani, tetapi juga hidup manusiawi dan hidup religius itu sendiri. Namun pada dasarnya hidup religius itu sendiri ditandai dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil yang menjadi unsur hakiki di dalamnya. Istilah “nasihat Injil” yang dimaksud biasanya adalah kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Memang dalam Injil banyak terdapat nasihat-nasihat suci lainnya. Sehingga berkaitan dengan ketiga kaul, kita diharapkan untuk menggali lebih dalam dasarnya dalam hidup dan sabda Yesus.
Hakikat hidup religius pada intinya memang tidak berubah. Siapakah para religius itu menurut ajaran Gereja, dapat kita ketahui terutama dari konstitusi Lumen Gentium 43-44 dan sekuruh dekrit Perfectae Caritatis. Kaum religius adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus Kristus yang miskin,wadat dan taat. Ketiga siafat Yesus ini wajib untuk semua pengikutNya, maka disebut “nasihat Injili”. Kaum religius dengan sukarela menghayati ketiga nasihat injil itu supaya mereka dapat meneladani Yesus Kristus dan dengan demikian mencapai kesempurnaan cinta.Kaum religius memberikan kesaksian akan adanya nilai-nilai yang melempaui tata nilai keduniaan dan adanya dimensi ilahi dalam hidup kita dengan cara hidup menurut nasihat-nasihat atau amanat injil dan dengan menghayati kaul keperawana atau kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Mereka secara khas mewartakan bahwa Allah harus kita cari di dalam dan di atas segalanya. Cara hidup mereka menjadi kesaksian bagi dunia bahwa tujuan hidup manusia hidup kekal yang jauh mengatasi hidup fana di dunia ini. Nah, inilah hakikat dasar hidup religius yang tetap berlaku.
Nasihat-nasihat Injil merupakan kurnia Ilahi. Kurnia itu diterima oleh Gereja dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat Allah sendiri.[5] Nasihat-nasihat itu telah dihayati oleh para Rasul berdasarkan sabda dan teladan Tuhan dan kemudian diwariskan kepada para pengikutnya turun-temurun. Sehingga para pemimpin Gereja memiliki tugas dibawah bimbingan Roh Kudus untuk menjaga keutuhan kurnia Ilahi ini, terutama dalam penafsiran dan penetapan bentuk-bentuk penghayatannya yang tetap.
Secara umum dengan ketiga kaul para religius diajak untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehigga dapat digunakan oleh Tuhan. Intinya adalah menyatukan diri dengan Tuhan sendiri secara penuh. Artinya bahwa dengan kaul kemurnian/keperawanan para religius tidak terikat dengan keluarga, seluruhnya hanya untuk Tuhan. Dengan kaul kemiskinan para religius tidak mau diikat oleh harta benda duniawi tetapi mau lebih bebas melekatkan diri pada Tuhan. Dan dengan kaul ketaatan para religius tidak mau terikat degan kedudukan dan kekuasaan tetapi justru ingin taat pada perintah Tuhan sendiri.
Bagi Yesus hidup kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan buah kesatuanNya dengan Bapa sekaligus buah yang dipilihNya untuk mewujudkan misiNya sesuai dengan visi yang menyingkapkan kehendak Allah dalam situasi yang dihadapi. Kaul dalam tarekat religius merupakan kelanjutan komitmen Yesus untuk memperjuangkan kehidupan dalam perspektif kehendak Allah Bapa.
Pengikraran ketiga nasihat Injil ini merupakan suatu karunia ilahi yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmatNya. Para religius menghayati ketiga nasihat Injil (Kemurnian, kemiskinan dan keteaatan) dalam hidupnya sebagai suatu anugerah. Semua anggota religius diharapkan untuk menjalani cara hidup yang lebih tetap dan teguh untuk mengejar kesempurnaan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia. Dan mereka dapat melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira. Kaul merupakan jawaban dan komitmen kaum relligius dalam kemerdekaan seperti Yesus yang hidup dan menjalankan misi dalam kemerdekaan dan keluasan tanpa batas. Pengikraran kaul merupakan pernyataan “amin” kepada pengkhususan atau pengudusan Allah untuk menghayati cinta kasih dalam misteri salib yang merupakan kelimpahan rahmat Allah kepada dunia. Ketiga nasihat Injil itu dapat kita lihat secara singkat di bawah ini :
2.1. Kemurnian
Kemurnian merupakan salah satu dari ketiga nasihat Injil yang paling penting. Orang tidak dapat menolak hidup membiara tanpa keperawanan. Menghayati kemurnian/keperawanan tidak mudah oleh karena itu keperawanan ini harus benar-benar berangkat dari pengenalan diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai sesama.[6] Kemurnian harus terus menerus diusahakan. Hidup murni tidak hanya dalam bentuk hidup tidak kawin (hidup selibat), tetapi lebih dari itu juga hidup murni berkaitan dangan seluruh aspek kehidupan, seperti pikiran, perbuatan dan lain-lain.
2.2. Ketaatan
Ketaatan memiliki dua pengertian. Pertama ketaatan manusiawi dan kedua ketaatan kristiani. Ketaatan pertama-tama bersifat manusiawi . Secara menusiawi kita adalah makluk rasional yang dilengkapi dengan akal budi serta kehendak bebas. Karena itu kita dapat mengerti (berkat kehendak) untuk mengatur hidup dengan cara taat. Ketaatan tersebut akan berciri kristiani bila disertai pengakuan ketaatan yang seluruhnya tansenden yaitu Allah yang benar-benar patut kita patuhi secara absolut.[7] Ketaatan kristiani (ketaatan religius) berbeda dengan ketaatan manusiawi.
Sesuai dengan arahan Gereja yang dituangkan di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (Perfectae Caritatis), hidup religiua memang harus mengikuti zaman dengan terus menerus membaharui diri sesuai dengan tuntutan zamannya (bdk. PC 1 dan 2).
2.3. Kemiskinan
Kemiskinan religius memiliki pengertian yang cukup luas dan namun juga kabur. Terkadang terlihat kontras antara hidup miskin yang dihayati dengan keadaan yang serba berkecukupan dalam biara. Tantangan yang cukup besar bagi para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan. Meskipun demikian Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk yang baru (bdk. PC. n. 13).
Kemiskinan di sini lebih dimaksudkan pada berbagai bentuk hubungan manusia dengan harta benda.[8] Sehingga miskin dapat berarti tidak memiliki harta benda yang berlimpah. Miskin juga bisa diartikan sebagai sikap manusia dalam menggunakan harta benda tersebut. Dalam hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap tidak terlekat atau lepas bebas terhadap harta benda. Artinya bahwa dengan hidup miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka andalkan.
Yesus sendiri meminta para pengikutNya untuk meninggalkan segala harta bendanya sebagai salah langkah dasar untuk menjadi muridNya. Para murid harus meninggalkan harta milik demi Kerajaan Allah. Di sini kemiskinan berarti suatu dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan hati dalam mengikuti Yesus. Sehingga apabila harta benda membuat hati mendua dari Yesu, maka harus ditinggalkan.
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa “pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah dinamik hidup rahmat sendiri.
3. Makna Hidup Religius
Kehadiran Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada masyakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri.
Penyerahan diri yang total kepada Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap mengenangkan sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada Tuhan sendiri.[9]
4. Para Religius dan Hierarki Gereja
Kehadiran para religius membantu Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah sekaligus menggembalakan umat Allah ke ladang yang berumput lebat (bdk.Yes 34:14). Berangkat dari tugas misi ini maka hirarki secara bijaksana mengatur tata aturan hidup religius ini dalam undang-undang (hidup menurut nasihat-nasihat Injil) dan dalam hal ini hirarki secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan sesama. Bentuk dukungan ini adalah hirarki menerima pedoman-pedoman hidup yang diajukan oleh serikat-serikat atau tarekat-tareka hidup religius dan mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah diresmikan diharapkan membangun Tubuh Kristus dan berkembang menurut semangat hidup para pendirinya.
Dalam Kanon 673-683 menyatakan bahwa lembaga hidup religius dan karyanya harus sesuai dengan identitas masing-masing khususnya sehubungan dengan bentuk dan cara kerasulan.[10] Dalam menunaikan tugas terhadap gerja masing-masing anggota menghidupi kharisma dan spiritualitasnya serta lebih dari itu juga mereka wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum gereja kepada para uskup demi tugas kerasulan mereka di gereja-gereja khusus. Karya kerasulan ini dilaksanakan atas nama mandat Gereja dalam persatuan dengan gereja juga.
Para religius harus sungguh-sungguh berusaha agar kehadiran mereka di tengah dunia menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun yang tidak beriman. Mereka harus menampilkan Kristus dalam berbagai situasi baik itu ketika Yesus sedang berdoa di atas bukit, mengajar, sedang menyembuhkan, menderita atau sedang memberkati anak-anak (LG 46).
5. Relevansi
Hidup para religius merupakan tanda badaniah berkaitan dengan inti agama kristen di antara orang-orang beriman Kristen. Kehadiran para religius di tengah jemaat kristiani merupakan tanda, sehingga orang kristen sungguh-sungguh melihat dan mengakui Kristus sebagai dasar terdalam dan pegangan terakhir hidup mereka. Di sini tampak aspek pengharapan eskatologis lebih ditonjolkan. Semua umat mengharapkan terwujudnya kesempurnaan eskatologis, yakni dimana semua aspek jahat musnah. Hidup para religius di tengah-tengah menjadi kesaksian bagi umat Allah untuk berani mati dengan meninggalkan manusia lama dan bangkit kembali sebagai ciptaan baru. Sehingga semua orang Kristiani sebenarnya dipanggil untuk menerima tugas perutusan yang mulia, yakni mengubah dunia yang lama dengan hidup yang baru dari dan dalam Kristus. Dengan demikian harapan eskatologis seluruh umat Kristiani akan terwujudnya Kerajaan Allah pada akhir jaman juga terlaksana di dunia sekarang dan di sini.
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Semua orang kristiani dipanggil kepada kesempurnaan. Dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Panggilan kepada kekudusan ini tentunya bukan sesuatu mengawang-awang dan terpisah dari kehidupan konkrit duniawi. Panggilan pada kekudusan justru merupakan panggilan untuk memiliki cara hidup yang lebih manusiawi sehingga turut ambil bagian dalam pembentukan dunia yang lebih manusiawi.[11]
Panggilan kepada kekudusan digerakkan oleh Roh Kudus, yakni Roh Kristus Tuhan yang diutus untuk melanjutkan karya keselamatan di dunia. Roh Kudus ada dalam setiap insan. Roh inilah selalu menggerakkan manusia untuk bersatu dengan Allah yang menjadi sumber kehidupannya. Dengan bantuan Roh Kudus sambil taat kepada sabda Bapa, semua orang kristiani dalam kehidupannya dipanggil untuk mengikuti Kristus secara total dan berani memanggul salib setiap hari (bdk. Mat 16:24), supaya layak mengambil bagian dalam kejayaanNya. Dengan demikian semua orang Kristiani dalam berbagai tugas dan keadaannya di dunia makin hari hari makin dikuduskan. Semuanya itu terjadi tentunya apabila kepercayaan atau iman yang teguh kepada Bapa dan kehendak Ilahi ditampakkan dalam karya pelayanan duniawi. Karya cinta kasih orang kristiani yang nyata di tengah-tengah dunia justru menunjukkan bahwa Allah mencintai dunia (LG 40 dan 41).
6. Penutup
Cara hidup sebagai religius berarti meneruskan, mengaktualkan dan memperbaharui cara hidup Yesus Kristus, Sang Juru Selamat dan Guru Besar. Cara hidup ini dijiwai oleh semangat hidup Yesus Kristus yang sungguh datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Ia datang untuk menyembuhkan, menghibur, memberikan pengharapan dan keselamatan kepada setiap manusia yang sungguh membutuhkannya. Maka dari itu, hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat Injil harus sungguh-sungguh berusaha supaya bisa bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah (LG 47). Setiap pelayanan atau karya kerasulan harus dilandasi oleh prinsip cinta kasih yang berani menyerahkan nyawa (bdk. Yoh 15:13). Para religius dipanggil sebagaimana telah diserukan “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada di situ pun pelayanKu berada” (Yoh 12:26).
Nasihat-nasihat Injili disadari sebagai karunia Tritunggal untuk memiliki daya kekuatan untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah, kendati kerapuhan manusia memeluknya (VC 20). Kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan pancaran hidup kasih Ilahi yang tak terhambat oleh apapun atau kekuatan dosa manapun. Pada intinya kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan dinamika pemberian diri seutuhnya, seperti yang dilakukan oleh pribadi Ilahi demi terwujudnya Kerajaan Allah (VC 21). Kerajaan Allah hanya dapat dibangun dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1).
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Go, Piet, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, 1984.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Ladjar, Leo L., OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Ridick, Joyce, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.182-183.
[2] Ibid., hlm. 191.
[3] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 304.
[4] Ibid., hlm. 301.
[5] LG, art. 137.
[6] Sr. Joyce Ridick, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987, hlm. 67.
[7] Ibid, hlm. 156
[8] Leo L. Ladjar, OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 43.
[9] LG, art. 146.
[10] Piet Go, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidu Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, hlm. 91.
[11] Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 334.
Tulisan yang bagus pak Theodorus, bisa menjadi bahan referensi untuk pengajaran iman/katekese disekolah. Bahasa dalam dokumen Gereja memang tidak mudah untuk dipahami anak sekolah setingkat SMA maka perlu dibahasakan kembali secara sederhana.Salam sehat selalu untuk Theodorus, GBU.
BalasHapus