(Kajian terhadapTokoh Joan of Arc dalam Film “The Messenger”)
Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Dalam film “The Messenger” Jean of Arc tampil sebagai tokoh wanita yang masih muda namun ikut berjuang memimpin pasukan militer Prancis. Ia menjadi terkenal karena berhasil membawa kemenangan yang akhirnya mengantar pada penobatan Raja Charles VII di Reims. Pernyataan Joan tentang ilham Ilahi dan keberhasilannya memukul mundur pasukan penyerbu Inggris, membuat dirinya sebagai simbol yang kuat kebangkitan bangsa Perancis. Meskipun ia harus menjadi martir dan meninggal secara tragis karena rekayasa pengadilan yang berbau politis. Ia dibakar hidup-hidup dengan tuduhan yang tidak sesuai.
Sebagai seorang wanita, Joan of Arc mendapat tantangan yang berat ketika harus bersaksi untuk meyakinkan bahwa ia mendapat suatu pencerahan. Terlebih lagi ketika ia menyatakan harus memimpin pasukan untuk mengusir pasukan Inggris. Hal ini sulit untuk dimengerti apalagi diterima. Karena kaum wanita saat itu adalah kaum lemah yang berada di bawah perlindungan kaum pria. Wanita hanya menangani urusan rumah tangga saja. Sehingga sulit dimengerti bahwa seorang wanita harus maju ke medan perang, apalagi memimpin pasukan militer. Pandangan ini akhirnya berlanjut pada kecurigaan-kecurigaan terhadap Joan of Arc. Salah satu tuduhan yang dilontarkan kepada Joan adalah seorang penyihir. Sehingga Joan harus mendapat pengakuan sebagai seorang perawan. Kepercayaan kuno menyakini bahwa seorang perawan tidak dapat dirasuki oleh roh jahat. Meskipun berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, Joan telah menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin pasukan militer dengan memukul balik pasukan Inggris.
Joan of Arc tentu menjadi inspirasi bagi kaum wanita sebagai sosok yang penuh dengan keberanian dan keaktifan. Meskipun Joan of Arc adalah seorang perempuan yang berani memimpin pasukan perang, namun bukan berarti perjuangannya adalah perjuangan feminisme. Hanya sebagai satu-satunya sosok perempuan yang tampil sebagai pahlawan, Joan menjadi sumber inspirasi bagi banyak kaum wanita untuk berani mengangkat martabat mereka. Dan mereka dapat berperan aktif dalam karya bagi kehidupan manusia.
Sosok Joan of Arc juga menjiwai semangat dan sumber ilham bagi kaum wanita katolik. Terlebih lagi ia telah menjadi salah seorang santa yang populer di Gereja Katolik. Kesaksian hidup Joan of Arc mengungkap suatu keyakinan bahwa siapa saja orang terpilih berasal dari strata sosial manapun dapat memperoleh panggilan rohani. Panggilan Tuhan juga tidak dibatasi oleh perbedaan gender. Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya dipanggil Tuhan untuk mengusahakan kesucian. Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak kaum perempuan yang mengkritisi tindakan Gereja yang lebih memberi batas pada kaum perempuan dalam pelayanan untuk Gereja.
Dewasa ini pergolakan yang masih menggantung dalam Gereja adalah imamat jabatan yang tidak dapat diterima oleh kaum perempuan. Memang selama ini jawaban Gereja yang muncul untuk menjawab pergolakan tersebut adalah penekanan pada tradisi Gereja bahwa Yesus tidak memanggil wanita di antara 12 RasulNya dan seorang imam dalam tugas sakramental bertindak sebagai pengganti Kristus (In Persona Christi), sehingga harus pria seperti Yesus sendiri. Hanya saja tanggapan Gereja ini tidak begitu memuaskan bagi banyak orang katolik, terlebih kaum wanita katolik yang ingin menunjukkan cintanya yang nyata bagi Gereja dalam pelayanan. Meskipun Gereja berpegang teguh dalam menjaga tradisi, namun Gereja berusaha memberikan tempat atau peran bagi wanita dalam pelayanan Gereja.
Joan of Arc telah menjadi inspirasi bagi gerakan kaum wanita dalam Gereja dan berkembang menjadi gerakan feminis dalam masyarakat dewasa ini. Joan of Arc adalah pahlawan bagi negara Perancis dan sekaligus menjadi orang suci atau santa dalam Gereja Katolik. Di Perancis ia dijuluki La Pucelle yang berarti “sang dara” atau “sang perawan”. Joan telah menunjukkan bahwa hidupnya tidak hanya hanya dipersembahkan bagi hidup Gereja tetapi juga demi hidup bernegara. Patut diakui bahwa peranan kaum perempuan begitu besar bagi kehidupan manusia dan gerakan kaum wanita telah merubah wajah Gereja. Hendaknya semangat Joan of Arc membangkit kaum wanita untuk selalu berusaha menjadi ‘kudus’ dalam Gereja lewat pelayanannya dan sekaligus menjadi ‘pahlawan’ dalam masyarakat lewat kesaksian hidup.
God Spy
Selasa, 19 Januari 2010
Santa Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja Menurut Lumen Gentium
1. Pengantar
Maria tidak pernah cukup diperbincangkan. Ibadat dan devosi khusus diperuntukkan pada Maria, Bunda Gereja. Namun Konsili Vatikan II tetap mempersembahkan bab kedelapan dari “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” mengenai “Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Karena Kristus terus melanjutkan karya dan misi penyelamatan-Nya melalui tubuh-Nya, yaitu Gereja, maka para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda Maria di sini sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Seluruh Gereja menghormati Maria sebagai anggota Gereja yang mahaunggul dan sangat khusus, dan sebagai teladan dalam iman, harapan dan kasih.
Konsili Vatikan II hendak menjelaskan secara lebih mendalam peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma dalam Tubuh Mistik-Nya dan tugas-kewajiban terhadap Bunda Allah, Bunda Krsitus, dan Bunda orang-orang beriman. Memang Konsili tidak menyajikan secara lengkap dan mendetail ajaran tentang Bunda Maria. Berbagai permasalahan dan pertanyaan tentang Maria, sebagaimana tertuang dalam pokok ajaran Konsili Vatikan II (Lumen Gentium). Meskipun demikian, Konsili tetap menekankan ajarannya bahwa Maria menduduki tempat yang paling luhur sesudah Kristus dalam Gereja kudus. Bunda Maria juga merupakan bunda yang paling dekat dengan kita, yakni orang-orang beriman yang menjadi anak-anaknya.
2. Peranan Santa Perawan dalam Tata Keselamatan
Dengan memfokuskan perhatian Kitab Suci dan tradisi suci, kita akan menemukan bahwa tekanan justru bukan pada pribadi Santa Maria, melainkan pada fungsi, karya dan martabat Yesus sebagai Penebus manusia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu.
2.1. Maria dalam Kitab Suci
Gereja awali telah menafsirkan secara topologis terhadap pribadi dan peran penting Bunda Maria. Maria digambarkan dalam kutipan seperti Kejadian 3:15. Teks tersebut menyatakan suatu permusuhan antara keturunan wanita dari Hawa dengan ular. Penafsiran Gereja awali ini memperlihatkan peran Bunda Maria Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas. Naskah-naskah kuno dalam Gereja semakin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Hal ini tampak dalam suatu perjanjian yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh dalam dosa tentang kejayaan atas ular (LG 55). Begitu juga dalam Yes 7:14 diungkapkan seorang ‘anak dara’ atau ‘perawan’ yang akan mengandung dan melahirkan Putera yang akan diberi nama Imanuel (bdk. Mat 1:23).
Patut kita sadari bahwa Perjanjian Baru tidak banyak berbicara tentang Maria. Namun bila kita refleksikan lebih lanjut, kita akan menemukan salah satu penafsiran yang melambangkan Maria sebagai ‘pengantara’ (lih. Yoh 3:2). Dan Maria juga dilambangkan sebagai ‘murid sejati’ (lih. Luk 8:21) dan sebagai ‘ibu para murid’ (lih. Yoh 19: 26-27).[1] Bunda Maria, disapa oleh Malaikat Gabriel sebagai yang penuh rahmat di hadapan Tuhan, dan terpuji di antara wanita, mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus; melalui “perantaraannya” Yesus masuk ke dalam dunia ini - sungguh Allah yang menjelma menjadi sungguh manusia.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci di mana ia disebutkan, Bunda Maria senantiasa menghadirkan Kristus kepada orang-orang lain: para gembala, para Majus, nabi Simeon dan pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria berdiri di kaki salib, ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan pada saat itulah Ia memberikan Bunda-Nya kepada kita sebagai Bunda kita dengan mengatakan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27).
Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada saat Pentakosta; ia yang melahirkan Yesus ke dalam dunia ini, hadir atau berada di sana pada saat kelahiran Gereja. Di akhir hidupnya, Maria diangkat jiwa dan badannya ke surga, yang merupakan kepenuhan janji akan kehidupan kekal bagi jiwa dan badan yang dijanjikan kepada semua orang percaya. “Konstitusi Dogmatik tentang Gereja” menggambarkan hidupnya dengan baik, yakni dengan menyatakan, “ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa” (LG 61).
2.2. Maria dalam Tradisi
Bapa-Bapa Gereja mengembangakan refleksi ajaran mereka tentang Maria. Semua Bapa Gereja mengajarkan keperawanan Maria. Peran aktif Maria dalam karya keselamatan melalui ketaatannya menampilkan suatu gagasan yang dikembangkan dari pengertian Rasul Paulus tentang Yesus sebagai Adam Baru dan Maria sendiri sebagai Hawa Baru.[2] Sehingga Konsili Vatikan II kembali meneguhkan pandangan yang mengaitkan Maria dengan Gereja. Maria dianggap sebagai contoh Gereja.
Seiring perkembangan teologi Maria memunculkan suatu tempat yang subur bagi kesalehan dan devosi umat Kristiani awali. Sehingga diperoleh suatu fakta yang bernilai bahwa sudah sejak abad ketiga umat Kristiani berdoa kepada Maria sebagai ‘perantara’. Sehingga dalam perkembangan berikutnya, beberapa orang mempunyai harapan bahwa Konsili Vatikan II akan mengeluarkan dokumen terpisah tentang Maria, dengan menyatakannya menjadi Perantara (Mediatrix) segala rahmat.[3]
Kemudian orang-orang Kristiani menempatkan Maria sebagai yang paling utama dalam kesatuan para kudus. Sehingga akhirnya, Maria juga dirayakan dalam liturgi Gereja, baik Gereja Barat maupun Timur. Pesta untuk menghormati Maria sebagai Bunda Allah sendiri pertama kali berasal dari luar Yerusalem yang dirayakan pada tanggal 15 Agustus 430.[4]
Dalam Gereja, beberapa penampakan begitu memberikan dampak yang luar biasa bagi pengembangan ajaran iman tentang Maria. Selain karena Gereja sendiri mendorong devosi populer Maria, tetapi umat semakin diteguhkan dalam mengembangkan kesalehan dan pengakuan iman karena peristiwa penampakan tersebut. Namun Gereja mengambil sikap hati-hati terhadap praktek-praktek devosional terhadap Bunda Maria yang bukan merupakan ajaran resmi Gereja. Gereja menyadari bahwa devosi terhadap Maria timbul karena saling mempengaruhi antara kepentingan dan imajinasi doa dan perayaan liturgis, kesalehan populer dan refleksi teologis.[5]
3. Santa Perawan dan Gereja
Para bapak Konsili Vatikan II mengupas secara mendalam hal ihwal Santa Perawan dalam kaitannya dengan gelarnya sebagai Bunda Gereja. Diskusi panjang ketika mereka mengangkat tema gelar Santa Perawan sebagai Pengantara (Mediatrix). Gelar tersebut menjadi perbincangan hangat karena seakan-akan dapat merelatifkan martabat Yesus sebagai satu-satunya Mediator antara manusia dengan Allah.[6]
Kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi menyelamatkan kita dari dosa. Kedua, dengan kesaksian imannya sendiri dan dengan menghadirkan Kristus kepada yang lain, Maria membantu mendamaikan para pendosa dengan Putranya. Bunda Maria, tanpa dosa, namun demikian memahami sengsara yang diakibatkan dosa, terus-menerus memanggil para pendosa kepada Putranya. Melalui teladannya, ia mendorong kita semua kepada iman, harapan dan kasih yang Tuhan kehendaki kita miliki. Dan akhirnya, karena ia diangkat ke surga dan karena perannya sebagai bunda bagi kita semua, Bunda Maria berdoa bagi kita, bertindak sebagai perantara atas nama kita seperti yang dulu dilakukannya di Kana, mohon pada Kristus untuk melimpahkan rahmat atas kita seturut kehendak-Nya.
Meskipun gelar dan peran sebagai Mediatrix, sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60). Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri, dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Pengantara kita hanya ada satu, seperti yang disabdakan Paulus dalam suratnya: ”Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia” (1 Tim 2:5-6).
3.1. Yesus Kristus, Satu-satunya Pengantara
Yesus adalah satu-satunya pengantara Allah dan manusia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi keyakinan Gereja tersebut. Pertama, Misteri Inkarnasi. Di dalam Yesus, terjadi persatuan yang sempurna antara Allah dan manusia. Kedua, peranan Yesus sebagai Pengantara diwujudkan dalam karya hidupNya dan wafat di salib. Yesus memulihkan hubungan antara manusia dan Allah. Ketiga, manusia mengambil sikap beriman terhadap misteri kasih Allah.
Namun hanya Maria satu-satunya ciptaan yang diperkenankan masuk berhubungan langsung dan mengambil bagian lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini mencerminkan fungsi Maria sebagai Bunda rohani. Fungsi ini menjadi nyata dengan kesediaan Maria menjaga saudara-saudari Putranya yang kini masih merantau di dunia yang penuh ketidak-pastian dan kekuatiran. Kehadiran Maria sama sekali tidak mereduksi, mengurangi, atau menggantikan martabat Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat kita. Hanya Roh Kristus sendiri yang menjamin bahwa kebundaan rohani Maria menjadi aktif, hidup dan berbuah dalam hidup menggereja.[7]
Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi dan juga dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya (LG 60). Bahkan dalam pesta perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2: 5). Karena ia tahu apa pun yang Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini. Maria memberi tahu kita bahwa Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi kita.[8]
Maria menempatkan diri antara Puteranya dan umat manusia dalam situasi kekurangan, kebutuhan dan derita mereka. Dia menempatkan diri 'di tengah-tengah', yaitu dia berlaku sebagai ‘perantara’ tidak sebagai orang luar, melainkan dalam kedudukannya sebagai seorang ibu. Maria sadar, bahwa sebagai ibu, dia dapat menyampaikan kepada Sang Putera, kebutuhan manusia dan bahkan, dia 'berhak' untuk berbuat demikian. Bahwa Maria berdiri di tengah antara Kristus dan manusia dengan demikian mengandung sifat sebagai pengantara: Maria 'menjadi perantara' bagi manusia.
Namun kita tidak boleh terjebak dalam pemahaman yang menempatkan posisi Maria di atas Gereja. Sehingga timbul suatu kesalahpahaman seakan-akan Maria menempatkan posisi ‘di tengah’ yakni antara Sang Penebus dengan umat yang ditebus, ataupun antara Kepala Gereja dengan para anggotanya. Padahal tempat Maria sebagai orang pertama yang telah ditebus dan memang ada di dalam Gereja, bukan di atas atau berada di luarnya.[9]
3.2. Maria, “Typos” Gereja
Peran aktif Maria dalam karya keselamatan tampak dalam ketaatannya. Ia menerima anugerah dan tugas istimewa sebagai Bunda Allah. Maria dikaitkan dengan Gereja, karena kesatuannya yang mesra dengan Putra, Sang Penebus. Sehingga St. Ambrosius dalam ajarannya, menggambarkan Maria sebagai contoh atau citra (typos) Gereja. Sebagai Bunda dan Perawan suci, Maria menjadi pelopor dalam memberi contoh baik sebagai perawan maupun sebagai ibu secara gemilang dan istimewa (LG 63).
Jika Maria disebut typos atau citra Gereja maka sebutan itu berarti bahwa eksistensi Maria dipusatkan pada peranan dan tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, seperti halnya Maria (sebagai seorang ibu) dapat bekerja sama dengan Kristus, seperti halnya Maria sendiri telah hidup dan bersatu dengan Kristus.[10]
Perbincangan para teolog yang mencoba melihat relasi Maria dengan Gereja sambil menggunakan kaidah-kaidah analogis dan paralelistis. Dalam pemahaman klasik, Maria dipandang tidak satu dan sama saja dengan Gereja, tetapi keduanya juga satu dan sama dalam cara beradanya.[11] Maria menjadi typos Gereja pertama-tama karena iman, kasih, dan persatuannya dengan Kristus yang sedemikian sempurna, sehingga ia terlibat sepenuhnya dalam karya keselamatan Allah.
Persatuan Maria dengan Kristus sedemikian rupa menjadi persatu Maria dengan Gereja. Sehingga ia pantas disebut typos Gereja itu sendiri. Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan mereka satu dengan-Nya. Kepada mereka yang menerima-Nya, Ia memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Putra Allah menjadi Anak Manusia dan menjadikan manusia anak-anak Allah, mempersatukan mereka kepada Diri-Nya Sendiri dengan kasih dan kuasa-Nya, supaya mereka semua menjadi satu. Dalam diri mereka sendiri, mereka banyak menurut keturunan manusiawi, tetapi dalam Dia, mereka semua satu melalui kelahiran baru yang ilahi.
Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya, Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu perawan, tetapi lebih dari satu perawan. Keduanya adalah ibu, keduanya adalah perawan. Masing-masing mengandung dari kuasa Roh yang sama, tanpa noda. Masing-masing melahirkan putera Allah Bapa, tanpa dosa. Tanpa dosa, Bunda Maria melahirkan Kristus, sang Kepala, demi tubuh-Nya. Dengan pengampunan dari segala dosa, Gereja melahirkan tubuh, demi Kepalanya. Masing-masing adalah Bunda Kristus, tetapi tak satu pun melahirkan Kristus seluruhnya tanpa kerjasama dari yang lain.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Namun Gereja di dalamnya tetap pertama-tama menempatkan Maria, ibu Yesus di pihak Allah dan Yesus Kristus. Sehingga Gereja dapat melihat lebih jauh tentang rencana Allah. Hanya Maria yang sepenuhnya mewujudkan Gereja. Maria dengan sebulat hati menerima tawaran Allah melalui anakNya, Yesus Kristus, San Jusu Selamat umat manusia. Hanya Maria saja yang merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.[12]
4. Penutup
Konsili Vatikan II memang lebih condong menyajikan Mariologinya dalam rangka ajarannya tentang Gereja. Di satu sisi, Maria ditempat di pihak Gereja. Namun di sisi lain, Konsili tidak mau menyamakan kedudukan dan peranan Maria dalam tata penyelamatan dengan kedudukan dan peranan orang beriman lainnya. Jika Maria dimasukkan dalam Gereja, maka di dalam Gereja sendiri hendaknya dibuat pembedaan antara Gereja dengan Maria dan Gereja tanpa Maria.[13]
Penjelasan Mariologi sebenarnya merupakan suatu kupasan terhadap ajaran tentang Yesus Kristus dan karyaNya. Dalam gagasan ini, lebih ditekankan bagaimana hubungan yang mendalam Maria dengan Jurus Selamat sendiri. Sehingga dapat dilihat lebih jauh peran dan kedudukan Maria dalam karya penyelamatan Allah untuk manusia. Maria adalah manusia yang sepenuhnya telah diselamatkan dan sepenuhnya menerima penyelamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Sehingga Maria dianggap sebagai model seluruh umat beriman.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para ahli dalam menjelaskan ajarannya tentang Maria. Namun yang pasti bahwa keistimewaan pribadi Maria hanyalah dijamin oleh rahmat Allah semata-mata. Rahmat yang telah diberikan kepadanya secara cuma-cuma memungkinkan Maria bersatu mesra dengan Yesus Kristus dalam melaksanakan karya penyelamatan Ilahi. Dan rahmat yang sama pula telah mengangkat Maria dalam kemuliaan dan kenikmatan hidup Tritunggal Kudus sampai kekal.[14]
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, C., OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Kristiyanto, A. Eddy, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Musakabe, Herman, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi
Yuana, 2005.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada Sabtu, 21 November 2009.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 296.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm.300.
[4] Ibid., hlm. 298.
[5] Ibid.
[6] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 49.
[7] http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada 21 November 2009.
[8] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005, hlm. 111.
[9] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 421.
[10] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc. Cit., hlm. 58.
[11] Ibid., hlm. 61.
[12] C. Groenen, OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 134.
[13] Ibid., hlm. 15.
[14] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc.Cit., hlm. 128.
Maria tidak pernah cukup diperbincangkan. Ibadat dan devosi khusus diperuntukkan pada Maria, Bunda Gereja. Namun Konsili Vatikan II tetap mempersembahkan bab kedelapan dari “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” mengenai “Santa Perawan Maria Bunda Allah Dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Karena Kristus terus melanjutkan karya dan misi penyelamatan-Nya melalui tubuh-Nya, yaitu Gereja, maka para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda Maria di sini sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Seluruh Gereja menghormati Maria sebagai anggota Gereja yang mahaunggul dan sangat khusus, dan sebagai teladan dalam iman, harapan dan kasih.
Konsili Vatikan II hendak menjelaskan secara lebih mendalam peran Santa Perawan dalam misteri Sabda yang menjelma dalam Tubuh Mistik-Nya dan tugas-kewajiban terhadap Bunda Allah, Bunda Krsitus, dan Bunda orang-orang beriman. Memang Konsili tidak menyajikan secara lengkap dan mendetail ajaran tentang Bunda Maria. Berbagai permasalahan dan pertanyaan tentang Maria, sebagaimana tertuang dalam pokok ajaran Konsili Vatikan II (Lumen Gentium). Meskipun demikian, Konsili tetap menekankan ajarannya bahwa Maria menduduki tempat yang paling luhur sesudah Kristus dalam Gereja kudus. Bunda Maria juga merupakan bunda yang paling dekat dengan kita, yakni orang-orang beriman yang menjadi anak-anaknya.
2. Peranan Santa Perawan dalam Tata Keselamatan
Dengan memfokuskan perhatian Kitab Suci dan tradisi suci, kita akan menemukan bahwa tekanan justru bukan pada pribadi Santa Maria, melainkan pada fungsi, karya dan martabat Yesus sebagai Penebus manusia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu.
2.1. Maria dalam Kitab Suci
Gereja awali telah menafsirkan secara topologis terhadap pribadi dan peran penting Bunda Maria. Maria digambarkan dalam kutipan seperti Kejadian 3:15. Teks tersebut menyatakan suatu permusuhan antara keturunan wanita dari Hawa dengan ular. Penafsiran Gereja awali ini memperlihatkan peran Bunda Maria Penyelamat dalam tata keselamatan dengan cara yang semakin jelas. Naskah-naskah kuno dalam Gereja semakin jelas mengutarakan citra seorang wanita, Bunda Penebus. Hal ini tampak dalam suatu perjanjian yang diberikan kepada leluhur pertama yang jatuh dalam dosa tentang kejayaan atas ular (LG 55). Begitu juga dalam Yes 7:14 diungkapkan seorang ‘anak dara’ atau ‘perawan’ yang akan mengandung dan melahirkan Putera yang akan diberi nama Imanuel (bdk. Mat 1:23).
Patut kita sadari bahwa Perjanjian Baru tidak banyak berbicara tentang Maria. Namun bila kita refleksikan lebih lanjut, kita akan menemukan salah satu penafsiran yang melambangkan Maria sebagai ‘pengantara’ (lih. Yoh 3:2). Dan Maria juga dilambangkan sebagai ‘murid sejati’ (lih. Luk 8:21) dan sebagai ‘ibu para murid’ (lih. Yoh 19: 26-27).[1] Bunda Maria, disapa oleh Malaikat Gabriel sebagai yang penuh rahmat di hadapan Tuhan, dan terpuji di antara wanita, mengandung dari kuasa Roh Kudus dan melahirkan Yesus Kristus; melalui “perantaraannya” Yesus masuk ke dalam dunia ini - sungguh Allah yang menjelma menjadi sungguh manusia.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci di mana ia disebutkan, Bunda Maria senantiasa menghadirkan Kristus kepada orang-orang lain: para gembala, para Majus, nabi Simeon dan pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria berdiri di kaki salib, ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan pada saat itulah Ia memberikan Bunda-Nya kepada kita sebagai Bunda kita dengan mengatakan kepada St. Yohanes, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27).
Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada saat Pentakosta; ia yang melahirkan Yesus ke dalam dunia ini, hadir atau berada di sana pada saat kelahiran Gereja. Di akhir hidupnya, Maria diangkat jiwa dan badannya ke surga, yang merupakan kepenuhan janji akan kehidupan kekal bagi jiwa dan badan yang dijanjikan kepada semua orang percaya. “Konstitusi Dogmatik tentang Gereja” menggambarkan hidupnya dengan baik, yakni dengan menyatakan, “ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa” (LG 61).
2.2. Maria dalam Tradisi
Bapa-Bapa Gereja mengembangakan refleksi ajaran mereka tentang Maria. Semua Bapa Gereja mengajarkan keperawanan Maria. Peran aktif Maria dalam karya keselamatan melalui ketaatannya menampilkan suatu gagasan yang dikembangkan dari pengertian Rasul Paulus tentang Yesus sebagai Adam Baru dan Maria sendiri sebagai Hawa Baru.[2] Sehingga Konsili Vatikan II kembali meneguhkan pandangan yang mengaitkan Maria dengan Gereja. Maria dianggap sebagai contoh Gereja.
Seiring perkembangan teologi Maria memunculkan suatu tempat yang subur bagi kesalehan dan devosi umat Kristiani awali. Sehingga diperoleh suatu fakta yang bernilai bahwa sudah sejak abad ketiga umat Kristiani berdoa kepada Maria sebagai ‘perantara’. Sehingga dalam perkembangan berikutnya, beberapa orang mempunyai harapan bahwa Konsili Vatikan II akan mengeluarkan dokumen terpisah tentang Maria, dengan menyatakannya menjadi Perantara (Mediatrix) segala rahmat.[3]
Kemudian orang-orang Kristiani menempatkan Maria sebagai yang paling utama dalam kesatuan para kudus. Sehingga akhirnya, Maria juga dirayakan dalam liturgi Gereja, baik Gereja Barat maupun Timur. Pesta untuk menghormati Maria sebagai Bunda Allah sendiri pertama kali berasal dari luar Yerusalem yang dirayakan pada tanggal 15 Agustus 430.[4]
Dalam Gereja, beberapa penampakan begitu memberikan dampak yang luar biasa bagi pengembangan ajaran iman tentang Maria. Selain karena Gereja sendiri mendorong devosi populer Maria, tetapi umat semakin diteguhkan dalam mengembangkan kesalehan dan pengakuan iman karena peristiwa penampakan tersebut. Namun Gereja mengambil sikap hati-hati terhadap praktek-praktek devosional terhadap Bunda Maria yang bukan merupakan ajaran resmi Gereja. Gereja menyadari bahwa devosi terhadap Maria timbul karena saling mempengaruhi antara kepentingan dan imajinasi doa dan perayaan liturgis, kesalehan populer dan refleksi teologis.[5]
3. Santa Perawan dan Gereja
Para bapak Konsili Vatikan II mengupas secara mendalam hal ihwal Santa Perawan dalam kaitannya dengan gelarnya sebagai Bunda Gereja. Diskusi panjang ketika mereka mengangkat tema gelar Santa Perawan sebagai Pengantara (Mediatrix). Gelar tersebut menjadi perbincangan hangat karena seakan-akan dapat merelatifkan martabat Yesus sebagai satu-satunya Mediator antara manusia dengan Allah.[6]
Kita dapat memandang Maria sebagai Mediatrix dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai bunda penebus, Maria adalah perantara melalui mana Putra Allah masuk ke dalam dunia ini demi menyelamatkan kita dari dosa. Kedua, dengan kesaksian imannya sendiri dan dengan menghadirkan Kristus kepada yang lain, Maria membantu mendamaikan para pendosa dengan Putranya. Bunda Maria, tanpa dosa, namun demikian memahami sengsara yang diakibatkan dosa, terus-menerus memanggil para pendosa kepada Putranya. Melalui teladannya, ia mendorong kita semua kepada iman, harapan dan kasih yang Tuhan kehendaki kita miliki. Dan akhirnya, karena ia diangkat ke surga dan karena perannya sebagai bunda bagi kita semua, Bunda Maria berdoa bagi kita, bertindak sebagai perantara atas nama kita seperti yang dulu dilakukannya di Kana, mohon pada Kristus untuk melimpahkan rahmat atas kita seturut kehendak-Nya.
Meskipun gelar dan peran sebagai Mediatrix, sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu (LG 60). Pengantaraan Kristus itu yang terutama, mencukupi Diri-Nya Sendiri, dan mutlak diperlukan bagi keselamatan kita, sementara perantaraan Bunda Maria sifatnya sekunder dan sepenuhnya tergantung pada Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Pengantara kita hanya ada satu, seperti yang disabdakan Paulus dalam suratnya: ”Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia” (1 Tim 2:5-6).
3.1. Yesus Kristus, Satu-satunya Pengantara
Yesus adalah satu-satunya pengantara Allah dan manusia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi keyakinan Gereja tersebut. Pertama, Misteri Inkarnasi. Di dalam Yesus, terjadi persatuan yang sempurna antara Allah dan manusia. Kedua, peranan Yesus sebagai Pengantara diwujudkan dalam karya hidupNya dan wafat di salib. Yesus memulihkan hubungan antara manusia dan Allah. Ketiga, manusia mengambil sikap beriman terhadap misteri kasih Allah.
Namun hanya Maria satu-satunya ciptaan yang diperkenankan masuk berhubungan langsung dan mengambil bagian lengkap dalam ketiga hal tersebut. Hal ini mencerminkan fungsi Maria sebagai Bunda rohani. Fungsi ini menjadi nyata dengan kesediaan Maria menjaga saudara-saudari Putranya yang kini masih merantau di dunia yang penuh ketidak-pastian dan kekuatiran. Kehadiran Maria sama sekali tidak mereduksi, mengurangi, atau menggantikan martabat Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat kita. Hanya Roh Kristus sendiri yang menjamin bahwa kebundaan rohani Maria menjadi aktif, hidup dan berbuah dalam hidup menggereja.[7]
Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi dan juga dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada pengantaraan-Nya, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatannya dari padanya (LG 60). Bahkan dalam pesta perkawinan di Kana, Maria mengatakan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2: 5). Karena ia tahu apa pun yang Kristus hendak lakukan pastilah baik dan benar adanya; Bunda Maria mengucapkan kata-kata yang sama kepada kita sekarang ini. Maria memberi tahu kita bahwa Tuhan mengetahui apa yang terbaik bagi kita.[8]
Maria menempatkan diri antara Puteranya dan umat manusia dalam situasi kekurangan, kebutuhan dan derita mereka. Dia menempatkan diri 'di tengah-tengah', yaitu dia berlaku sebagai ‘perantara’ tidak sebagai orang luar, melainkan dalam kedudukannya sebagai seorang ibu. Maria sadar, bahwa sebagai ibu, dia dapat menyampaikan kepada Sang Putera, kebutuhan manusia dan bahkan, dia 'berhak' untuk berbuat demikian. Bahwa Maria berdiri di tengah antara Kristus dan manusia dengan demikian mengandung sifat sebagai pengantara: Maria 'menjadi perantara' bagi manusia.
Namun kita tidak boleh terjebak dalam pemahaman yang menempatkan posisi Maria di atas Gereja. Sehingga timbul suatu kesalahpahaman seakan-akan Maria menempatkan posisi ‘di tengah’ yakni antara Sang Penebus dengan umat yang ditebus, ataupun antara Kepala Gereja dengan para anggotanya. Padahal tempat Maria sebagai orang pertama yang telah ditebus dan memang ada di dalam Gereja, bukan di atas atau berada di luarnya.[9]
3.2. Maria, “Typos” Gereja
Peran aktif Maria dalam karya keselamatan tampak dalam ketaatannya. Ia menerima anugerah dan tugas istimewa sebagai Bunda Allah. Maria dikaitkan dengan Gereja, karena kesatuannya yang mesra dengan Putra, Sang Penebus. Sehingga St. Ambrosius dalam ajarannya, menggambarkan Maria sebagai contoh atau citra (typos) Gereja. Sebagai Bunda dan Perawan suci, Maria menjadi pelopor dalam memberi contoh baik sebagai perawan maupun sebagai ibu secara gemilang dan istimewa (LG 63).
Jika Maria disebut typos atau citra Gereja maka sebutan itu berarti bahwa eksistensi Maria dipusatkan pada peranan dan tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, seperti halnya Maria (sebagai seorang ibu) dapat bekerja sama dengan Kristus, seperti halnya Maria sendiri telah hidup dan bersatu dengan Kristus.[10]
Perbincangan para teolog yang mencoba melihat relasi Maria dengan Gereja sambil menggunakan kaidah-kaidah analogis dan paralelistis. Dalam pemahaman klasik, Maria dipandang tidak satu dan sama saja dengan Gereja, tetapi keduanya juga satu dan sama dalam cara beradanya.[11] Maria menjadi typos Gereja pertama-tama karena iman, kasih, dan persatuannya dengan Kristus yang sedemikian sempurna, sehingga ia terlibat sepenuhnya dalam karya keselamatan Allah.
Persatuan Maria dengan Kristus sedemikian rupa menjadi persatu Maria dengan Gereja. Sehingga ia pantas disebut typos Gereja itu sendiri. Putra Allah adalah putera sulung dari banyak saudara. Meskipun secara manusiawi Ia adalah putra tunggal, tetapi dengan rahmat Ia telah mempersatukan banyak orang kepada Diri-Nya Sendiri dan menjadikan mereka satu dengan-Nya. Kepada mereka yang menerima-Nya, Ia memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Putra Allah menjadi Anak Manusia dan menjadikan manusia anak-anak Allah, mempersatukan mereka kepada Diri-Nya Sendiri dengan kasih dan kuasa-Nya, supaya mereka semua menjadi satu. Dalam diri mereka sendiri, mereka banyak menurut keturunan manusiawi, tetapi dalam Dia, mereka semua satu melalui kelahiran baru yang ilahi.
Kristus yang seluruhnya dan Kristus yang unik adalah satu: satu karena dilahirkan dari Allah yang sama di surga, dan dari bunda yang sama di dunia. Ada banyak anak, tetapi satu. Kepala dan anggota adalah satu anak, tetapi banyak; demikian pula halnya, Bunda Maria dan Gereja adalah satu ibu, tetapi lebih dari satu ibu; satu perawan, tetapi lebih dari satu perawan. Keduanya adalah ibu, keduanya adalah perawan. Masing-masing mengandung dari kuasa Roh yang sama, tanpa noda. Masing-masing melahirkan putera Allah Bapa, tanpa dosa. Tanpa dosa, Bunda Maria melahirkan Kristus, sang Kepala, demi tubuh-Nya. Dengan pengampunan dari segala dosa, Gereja melahirkan tubuh, demi Kepalanya. Masing-masing adalah Bunda Kristus, tetapi tak satu pun melahirkan Kristus seluruhnya tanpa kerjasama dari yang lain.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya dalam Maria sajalah Gereja Yesus Kristus menjadi nyata seutuhnya. Namun Gereja di dalamnya tetap pertama-tama menempatkan Maria, ibu Yesus di pihak Allah dan Yesus Kristus. Sehingga Gereja dapat melihat lebih jauh tentang rencana Allah. Hanya Maria yang sepenuhnya mewujudkan Gereja. Maria dengan sebulat hati menerima tawaran Allah melalui anakNya, Yesus Kristus, San Jusu Selamat umat manusia. Hanya Maria saja yang merelakan diri dengan cara demikian, bukan Gereja sejauh lain dari Maria.[12]
4. Penutup
Konsili Vatikan II memang lebih condong menyajikan Mariologinya dalam rangka ajarannya tentang Gereja. Di satu sisi, Maria ditempat di pihak Gereja. Namun di sisi lain, Konsili tidak mau menyamakan kedudukan dan peranan Maria dalam tata penyelamatan dengan kedudukan dan peranan orang beriman lainnya. Jika Maria dimasukkan dalam Gereja, maka di dalam Gereja sendiri hendaknya dibuat pembedaan antara Gereja dengan Maria dan Gereja tanpa Maria.[13]
Penjelasan Mariologi sebenarnya merupakan suatu kupasan terhadap ajaran tentang Yesus Kristus dan karyaNya. Dalam gagasan ini, lebih ditekankan bagaimana hubungan yang mendalam Maria dengan Jurus Selamat sendiri. Sehingga dapat dilihat lebih jauh peran dan kedudukan Maria dalam karya penyelamatan Allah untuk manusia. Maria adalah manusia yang sepenuhnya telah diselamatkan dan sepenuhnya menerima penyelamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Sehingga Maria dianggap sebagai model seluruh umat beriman.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para ahli dalam menjelaskan ajarannya tentang Maria. Namun yang pasti bahwa keistimewaan pribadi Maria hanyalah dijamin oleh rahmat Allah semata-mata. Rahmat yang telah diberikan kepadanya secara cuma-cuma memungkinkan Maria bersatu mesra dengan Yesus Kristus dalam melaksanakan karya penyelamatan Ilahi. Dan rahmat yang sama pula telah mengangkat Maria dalam kemuliaan dan kenikmatan hidup Tritunggal Kudus sampai kekal.[14]
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, C., OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Kristiyanto, A. Eddy, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Musakabe, Herman, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi
Yuana, 2005.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada Sabtu, 21 November 2009.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 296.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm.300.
[4] Ibid., hlm. 298.
[5] Ibid.
[6] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Maria dalam Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 49.
[7] http://yesaya.indocell.net/id239-santa-maria-mediatrix.html diakses pada 21 November 2009.
[8] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara Rahmat Allah, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005, hlm. 111.
[9] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 421.
[10] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc. Cit., hlm. 58.
[11] Ibid., hlm. 61.
[12] C. Groenen, OFM, Mariologi Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 134.
[13] Ibid., hlm. 15.
[14] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Loc.Cit., hlm. 128.
HIDUP RELIGIUS MENURUT LUMEN GENTIUM
1. Pengantar
Sejak abad-abad awal Gereja, sejumlah pria dan wanita telah berusaha menanggapi panggilan Injil untuk menjadi murid Yesus dengan hidup bersama orang-orang Kristiani lain dalam komunitas yang dibentuk untuk doa, pelayanan injil, dan pelayanan Kristiani. Lambat laun, beberapa komunitas itu menjadi ordo atau kongregasi religius, komunitas rahib atau rubiah, imam, bruder, atau suster yang hidup bersama dan mengikat diri mereka dengan nasihat Injil “kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.” Ada juga komunitas orang awam yang para anggotanya hidup dan melaksanakan pelayanan bersama. Ada juga lembaga-lembaga sekular yang diakui secara kanonik, perkumpulan pria atau wanita yang mengucapkan kaul religius tradisional secara pribadi dan “terus” melanjutkan hidup di dunia dan tidak di dalam komunitas religius.[1]
Konsili Vatikan II membawa perbaharuan dalam hidup religius. Ada dua hal yang digagaskan, yakni pengacuan terus-menerus pada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat awali dan penyesuaian atau tanggapan terhadap situasi zaman yang selalu berubah (bdk. PC 2). Pembaharuan yang digagaskan konsili ini mulai membawa perubahan baik dalam penampilan maupun pemahaman dalam hidup religius pada tahun-tahun selanjutnya.[2] Melihat kenyataan ini sangatlah penting bagi kita untuk mengupas lebih jauh tentang hidup religius terutama dalam Lumen Gentium. Kiranya ulasan dalam dokumen ini membantu umat kristiani bukan hanya sebatas wawasan tentang hidup religius, tetapi lebih dari itu umat semakin disadarkan akan panggilan kesucian mereka dalam hidup di tengah masyarakat.
2. Hidup Menurut Nasihat Injili
Dalam Gereja kita mengenal banyak serikat religius dengan berbagai macam spritualitas dan penghayatannya. Semuanya itu bukan hanya menjadi kekayaan Gereja, tetapi corak hidup religius ini lebih merupakan tanda yang nyata jalan kesempurnaan hidup kristiani. Hidup para religius menandai aspek eskatologis hidup Kristiani, terutama dalam “pengikraran nasihat-nasihat Injil”, yakni “harta surgawi”, “kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan kerajaan surgawi”.[3]
Hidup para religius pertama-tama bukan merupakan fungsi dalam Gereja dan tidak masuk dalam hierarki, namun menjadi “kesucian dan hidup” Gereja itu sendiri.[4] Hidup religius bukan hanya mencakup hidup kristiani, tetapi juga hidup manusiawi dan hidup religius itu sendiri. Namun pada dasarnya hidup religius itu sendiri ditandai dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil yang menjadi unsur hakiki di dalamnya. Istilah “nasihat Injil” yang dimaksud biasanya adalah kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Memang dalam Injil banyak terdapat nasihat-nasihat suci lainnya. Sehingga berkaitan dengan ketiga kaul, kita diharapkan untuk menggali lebih dalam dasarnya dalam hidup dan sabda Yesus.
Hakikat hidup religius pada intinya memang tidak berubah. Siapakah para religius itu menurut ajaran Gereja, dapat kita ketahui terutama dari konstitusi Lumen Gentium 43-44 dan sekuruh dekrit Perfectae Caritatis. Kaum religius adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus Kristus yang miskin,wadat dan taat. Ketiga siafat Yesus ini wajib untuk semua pengikutNya, maka disebut “nasihat Injili”. Kaum religius dengan sukarela menghayati ketiga nasihat injil itu supaya mereka dapat meneladani Yesus Kristus dan dengan demikian mencapai kesempurnaan cinta.Kaum religius memberikan kesaksian akan adanya nilai-nilai yang melempaui tata nilai keduniaan dan adanya dimensi ilahi dalam hidup kita dengan cara hidup menurut nasihat-nasihat atau amanat injil dan dengan menghayati kaul keperawana atau kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Mereka secara khas mewartakan bahwa Allah harus kita cari di dalam dan di atas segalanya. Cara hidup mereka menjadi kesaksian bagi dunia bahwa tujuan hidup manusia hidup kekal yang jauh mengatasi hidup fana di dunia ini. Nah, inilah hakikat dasar hidup religius yang tetap berlaku.
Nasihat-nasihat Injil merupakan kurnia Ilahi. Kurnia itu diterima oleh Gereja dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat Allah sendiri.[5] Nasihat-nasihat itu telah dihayati oleh para Rasul berdasarkan sabda dan teladan Tuhan dan kemudian diwariskan kepada para pengikutnya turun-temurun. Sehingga para pemimpin Gereja memiliki tugas dibawah bimbingan Roh Kudus untuk menjaga keutuhan kurnia Ilahi ini, terutama dalam penafsiran dan penetapan bentuk-bentuk penghayatannya yang tetap.
Secara umum dengan ketiga kaul para religius diajak untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehigga dapat digunakan oleh Tuhan. Intinya adalah menyatukan diri dengan Tuhan sendiri secara penuh. Artinya bahwa dengan kaul kemurnian/keperawanan para religius tidak terikat dengan keluarga, seluruhnya hanya untuk Tuhan. Dengan kaul kemiskinan para religius tidak mau diikat oleh harta benda duniawi tetapi mau lebih bebas melekatkan diri pada Tuhan. Dan dengan kaul ketaatan para religius tidak mau terikat degan kedudukan dan kekuasaan tetapi justru ingin taat pada perintah Tuhan sendiri.
Bagi Yesus hidup kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan buah kesatuanNya dengan Bapa sekaligus buah yang dipilihNya untuk mewujudkan misiNya sesuai dengan visi yang menyingkapkan kehendak Allah dalam situasi yang dihadapi. Kaul dalam tarekat religius merupakan kelanjutan komitmen Yesus untuk memperjuangkan kehidupan dalam perspektif kehendak Allah Bapa.
Pengikraran ketiga nasihat Injil ini merupakan suatu karunia ilahi yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmatNya. Para religius menghayati ketiga nasihat Injil (Kemurnian, kemiskinan dan keteaatan) dalam hidupnya sebagai suatu anugerah. Semua anggota religius diharapkan untuk menjalani cara hidup yang lebih tetap dan teguh untuk mengejar kesempurnaan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia. Dan mereka dapat melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira. Kaul merupakan jawaban dan komitmen kaum relligius dalam kemerdekaan seperti Yesus yang hidup dan menjalankan misi dalam kemerdekaan dan keluasan tanpa batas. Pengikraran kaul merupakan pernyataan “amin” kepada pengkhususan atau pengudusan Allah untuk menghayati cinta kasih dalam misteri salib yang merupakan kelimpahan rahmat Allah kepada dunia. Ketiga nasihat Injil itu dapat kita lihat secara singkat di bawah ini :
2.1. Kemurnian
Kemurnian merupakan salah satu dari ketiga nasihat Injil yang paling penting. Orang tidak dapat menolak hidup membiara tanpa keperawanan. Menghayati kemurnian/keperawanan tidak mudah oleh karena itu keperawanan ini harus benar-benar berangkat dari pengenalan diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai sesama.[6] Kemurnian harus terus menerus diusahakan. Hidup murni tidak hanya dalam bentuk hidup tidak kawin (hidup selibat), tetapi lebih dari itu juga hidup murni berkaitan dangan seluruh aspek kehidupan, seperti pikiran, perbuatan dan lain-lain.
2.2. Ketaatan
Ketaatan memiliki dua pengertian. Pertama ketaatan manusiawi dan kedua ketaatan kristiani. Ketaatan pertama-tama bersifat manusiawi . Secara menusiawi kita adalah makluk rasional yang dilengkapi dengan akal budi serta kehendak bebas. Karena itu kita dapat mengerti (berkat kehendak) untuk mengatur hidup dengan cara taat. Ketaatan tersebut akan berciri kristiani bila disertai pengakuan ketaatan yang seluruhnya tansenden yaitu Allah yang benar-benar patut kita patuhi secara absolut.[7] Ketaatan kristiani (ketaatan religius) berbeda dengan ketaatan manusiawi.
Sesuai dengan arahan Gereja yang dituangkan di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (Perfectae Caritatis), hidup religiua memang harus mengikuti zaman dengan terus menerus membaharui diri sesuai dengan tuntutan zamannya (bdk. PC 1 dan 2).
2.3. Kemiskinan
Kemiskinan religius memiliki pengertian yang cukup luas dan namun juga kabur. Terkadang terlihat kontras antara hidup miskin yang dihayati dengan keadaan yang serba berkecukupan dalam biara. Tantangan yang cukup besar bagi para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan. Meskipun demikian Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk yang baru (bdk. PC. n. 13).
Kemiskinan di sini lebih dimaksudkan pada berbagai bentuk hubungan manusia dengan harta benda.[8] Sehingga miskin dapat berarti tidak memiliki harta benda yang berlimpah. Miskin juga bisa diartikan sebagai sikap manusia dalam menggunakan harta benda tersebut. Dalam hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap tidak terlekat atau lepas bebas terhadap harta benda. Artinya bahwa dengan hidup miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka andalkan.
Yesus sendiri meminta para pengikutNya untuk meninggalkan segala harta bendanya sebagai salah langkah dasar untuk menjadi muridNya. Para murid harus meninggalkan harta milik demi Kerajaan Allah. Di sini kemiskinan berarti suatu dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan hati dalam mengikuti Yesus. Sehingga apabila harta benda membuat hati mendua dari Yesu, maka harus ditinggalkan.
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa “pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah dinamik hidup rahmat sendiri.
3. Makna Hidup Religius
Kehadiran Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada masyakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri.
Penyerahan diri yang total kepada Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap mengenangkan sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada Tuhan sendiri.[9]
4. Para Religius dan Hierarki Gereja
Kehadiran para religius membantu Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah sekaligus menggembalakan umat Allah ke ladang yang berumput lebat (bdk.Yes 34:14). Berangkat dari tugas misi ini maka hirarki secara bijaksana mengatur tata aturan hidup religius ini dalam undang-undang (hidup menurut nasihat-nasihat Injil) dan dalam hal ini hirarki secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan sesama. Bentuk dukungan ini adalah hirarki menerima pedoman-pedoman hidup yang diajukan oleh serikat-serikat atau tarekat-tareka hidup religius dan mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah diresmikan diharapkan membangun Tubuh Kristus dan berkembang menurut semangat hidup para pendirinya.
Dalam Kanon 673-683 menyatakan bahwa lembaga hidup religius dan karyanya harus sesuai dengan identitas masing-masing khususnya sehubungan dengan bentuk dan cara kerasulan.[10] Dalam menunaikan tugas terhadap gerja masing-masing anggota menghidupi kharisma dan spiritualitasnya serta lebih dari itu juga mereka wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum gereja kepada para uskup demi tugas kerasulan mereka di gereja-gereja khusus. Karya kerasulan ini dilaksanakan atas nama mandat Gereja dalam persatuan dengan gereja juga.
Para religius harus sungguh-sungguh berusaha agar kehadiran mereka di tengah dunia menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun yang tidak beriman. Mereka harus menampilkan Kristus dalam berbagai situasi baik itu ketika Yesus sedang berdoa di atas bukit, mengajar, sedang menyembuhkan, menderita atau sedang memberkati anak-anak (LG 46).
5. Relevansi
Hidup para religius merupakan tanda badaniah berkaitan dengan inti agama kristen di antara orang-orang beriman Kristen. Kehadiran para religius di tengah jemaat kristiani merupakan tanda, sehingga orang kristen sungguh-sungguh melihat dan mengakui Kristus sebagai dasar terdalam dan pegangan terakhir hidup mereka. Di sini tampak aspek pengharapan eskatologis lebih ditonjolkan. Semua umat mengharapkan terwujudnya kesempurnaan eskatologis, yakni dimana semua aspek jahat musnah. Hidup para religius di tengah-tengah menjadi kesaksian bagi umat Allah untuk berani mati dengan meninggalkan manusia lama dan bangkit kembali sebagai ciptaan baru. Sehingga semua orang Kristiani sebenarnya dipanggil untuk menerima tugas perutusan yang mulia, yakni mengubah dunia yang lama dengan hidup yang baru dari dan dalam Kristus. Dengan demikian harapan eskatologis seluruh umat Kristiani akan terwujudnya Kerajaan Allah pada akhir jaman juga terlaksana di dunia sekarang dan di sini.
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Semua orang kristiani dipanggil kepada kesempurnaan. Dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Panggilan kepada kekudusan ini tentunya bukan sesuatu mengawang-awang dan terpisah dari kehidupan konkrit duniawi. Panggilan pada kekudusan justru merupakan panggilan untuk memiliki cara hidup yang lebih manusiawi sehingga turut ambil bagian dalam pembentukan dunia yang lebih manusiawi.[11]
Panggilan kepada kekudusan digerakkan oleh Roh Kudus, yakni Roh Kristus Tuhan yang diutus untuk melanjutkan karya keselamatan di dunia. Roh Kudus ada dalam setiap insan. Roh inilah selalu menggerakkan manusia untuk bersatu dengan Allah yang menjadi sumber kehidupannya. Dengan bantuan Roh Kudus sambil taat kepada sabda Bapa, semua orang kristiani dalam kehidupannya dipanggil untuk mengikuti Kristus secara total dan berani memanggul salib setiap hari (bdk. Mat 16:24), supaya layak mengambil bagian dalam kejayaanNya. Dengan demikian semua orang Kristiani dalam berbagai tugas dan keadaannya di dunia makin hari hari makin dikuduskan. Semuanya itu terjadi tentunya apabila kepercayaan atau iman yang teguh kepada Bapa dan kehendak Ilahi ditampakkan dalam karya pelayanan duniawi. Karya cinta kasih orang kristiani yang nyata di tengah-tengah dunia justru menunjukkan bahwa Allah mencintai dunia (LG 40 dan 41).
6. Penutup
Cara hidup sebagai religius berarti meneruskan, mengaktualkan dan memperbaharui cara hidup Yesus Kristus, Sang Juru Selamat dan Guru Besar. Cara hidup ini dijiwai oleh semangat hidup Yesus Kristus yang sungguh datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Ia datang untuk menyembuhkan, menghibur, memberikan pengharapan dan keselamatan kepada setiap manusia yang sungguh membutuhkannya. Maka dari itu, hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat Injil harus sungguh-sungguh berusaha supaya bisa bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah (LG 47). Setiap pelayanan atau karya kerasulan harus dilandasi oleh prinsip cinta kasih yang berani menyerahkan nyawa (bdk. Yoh 15:13). Para religius dipanggil sebagaimana telah diserukan “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada di situ pun pelayanKu berada” (Yoh 12:26).
Nasihat-nasihat Injili disadari sebagai karunia Tritunggal untuk memiliki daya kekuatan untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah, kendati kerapuhan manusia memeluknya (VC 20). Kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan pancaran hidup kasih Ilahi yang tak terhambat oleh apapun atau kekuatan dosa manapun. Pada intinya kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan dinamika pemberian diri seutuhnya, seperti yang dilakukan oleh pribadi Ilahi demi terwujudnya Kerajaan Allah (VC 21). Kerajaan Allah hanya dapat dibangun dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1).
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Go, Piet, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, 1984.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Ladjar, Leo L., OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Ridick, Joyce, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.182-183.
[2] Ibid., hlm. 191.
[3] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 304.
[4] Ibid., hlm. 301.
[5] LG, art. 137.
[6] Sr. Joyce Ridick, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987, hlm. 67.
[7] Ibid, hlm. 156
[8] Leo L. Ladjar, OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 43.
[9] LG, art. 146.
[10] Piet Go, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidu Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, hlm. 91.
[11] Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 334.
Sejak abad-abad awal Gereja, sejumlah pria dan wanita telah berusaha menanggapi panggilan Injil untuk menjadi murid Yesus dengan hidup bersama orang-orang Kristiani lain dalam komunitas yang dibentuk untuk doa, pelayanan injil, dan pelayanan Kristiani. Lambat laun, beberapa komunitas itu menjadi ordo atau kongregasi religius, komunitas rahib atau rubiah, imam, bruder, atau suster yang hidup bersama dan mengikat diri mereka dengan nasihat Injil “kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.” Ada juga komunitas orang awam yang para anggotanya hidup dan melaksanakan pelayanan bersama. Ada juga lembaga-lembaga sekular yang diakui secara kanonik, perkumpulan pria atau wanita yang mengucapkan kaul religius tradisional secara pribadi dan “terus” melanjutkan hidup di dunia dan tidak di dalam komunitas religius.[1]
Konsili Vatikan II membawa perbaharuan dalam hidup religius. Ada dua hal yang digagaskan, yakni pengacuan terus-menerus pada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat awali dan penyesuaian atau tanggapan terhadap situasi zaman yang selalu berubah (bdk. PC 2). Pembaharuan yang digagaskan konsili ini mulai membawa perubahan baik dalam penampilan maupun pemahaman dalam hidup religius pada tahun-tahun selanjutnya.[2] Melihat kenyataan ini sangatlah penting bagi kita untuk mengupas lebih jauh tentang hidup religius terutama dalam Lumen Gentium. Kiranya ulasan dalam dokumen ini membantu umat kristiani bukan hanya sebatas wawasan tentang hidup religius, tetapi lebih dari itu umat semakin disadarkan akan panggilan kesucian mereka dalam hidup di tengah masyarakat.
2. Hidup Menurut Nasihat Injili
Dalam Gereja kita mengenal banyak serikat religius dengan berbagai macam spritualitas dan penghayatannya. Semuanya itu bukan hanya menjadi kekayaan Gereja, tetapi corak hidup religius ini lebih merupakan tanda yang nyata jalan kesempurnaan hidup kristiani. Hidup para religius menandai aspek eskatologis hidup Kristiani, terutama dalam “pengikraran nasihat-nasihat Injil”, yakni “harta surgawi”, “kebangkitan yang akan datang serta kemuliaan kerajaan surgawi”.[3]
Hidup para religius pertama-tama bukan merupakan fungsi dalam Gereja dan tidak masuk dalam hierarki, namun menjadi “kesucian dan hidup” Gereja itu sendiri.[4] Hidup religius bukan hanya mencakup hidup kristiani, tetapi juga hidup manusiawi dan hidup religius itu sendiri. Namun pada dasarnya hidup religius itu sendiri ditandai dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil yang menjadi unsur hakiki di dalamnya. Istilah “nasihat Injil” yang dimaksud biasanya adalah kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Memang dalam Injil banyak terdapat nasihat-nasihat suci lainnya. Sehingga berkaitan dengan ketiga kaul, kita diharapkan untuk menggali lebih dalam dasarnya dalam hidup dan sabda Yesus.
Hakikat hidup religius pada intinya memang tidak berubah. Siapakah para religius itu menurut ajaran Gereja, dapat kita ketahui terutama dari konstitusi Lumen Gentium 43-44 dan sekuruh dekrit Perfectae Caritatis. Kaum religius adalah mereka yang ingin mengikuti Yesus Kristus yang miskin,wadat dan taat. Ketiga siafat Yesus ini wajib untuk semua pengikutNya, maka disebut “nasihat Injili”. Kaum religius dengan sukarela menghayati ketiga nasihat injil itu supaya mereka dapat meneladani Yesus Kristus dan dengan demikian mencapai kesempurnaan cinta.Kaum religius memberikan kesaksian akan adanya nilai-nilai yang melempaui tata nilai keduniaan dan adanya dimensi ilahi dalam hidup kita dengan cara hidup menurut nasihat-nasihat atau amanat injil dan dengan menghayati kaul keperawana atau kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Mereka secara khas mewartakan bahwa Allah harus kita cari di dalam dan di atas segalanya. Cara hidup mereka menjadi kesaksian bagi dunia bahwa tujuan hidup manusia hidup kekal yang jauh mengatasi hidup fana di dunia ini. Nah, inilah hakikat dasar hidup religius yang tetap berlaku.
Nasihat-nasihat Injil merupakan kurnia Ilahi. Kurnia itu diterima oleh Gereja dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat Allah sendiri.[5] Nasihat-nasihat itu telah dihayati oleh para Rasul berdasarkan sabda dan teladan Tuhan dan kemudian diwariskan kepada para pengikutnya turun-temurun. Sehingga para pemimpin Gereja memiliki tugas dibawah bimbingan Roh Kudus untuk menjaga keutuhan kurnia Ilahi ini, terutama dalam penafsiran dan penetapan bentuk-bentuk penghayatannya yang tetap.
Secara umum dengan ketiga kaul para religius diajak untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sehigga dapat digunakan oleh Tuhan. Intinya adalah menyatukan diri dengan Tuhan sendiri secara penuh. Artinya bahwa dengan kaul kemurnian/keperawanan para religius tidak terikat dengan keluarga, seluruhnya hanya untuk Tuhan. Dengan kaul kemiskinan para religius tidak mau diikat oleh harta benda duniawi tetapi mau lebih bebas melekatkan diri pada Tuhan. Dan dengan kaul ketaatan para religius tidak mau terikat degan kedudukan dan kekuasaan tetapi justru ingin taat pada perintah Tuhan sendiri.
Bagi Yesus hidup kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan buah kesatuanNya dengan Bapa sekaligus buah yang dipilihNya untuk mewujudkan misiNya sesuai dengan visi yang menyingkapkan kehendak Allah dalam situasi yang dihadapi. Kaul dalam tarekat religius merupakan kelanjutan komitmen Yesus untuk memperjuangkan kehidupan dalam perspektif kehendak Allah Bapa.
Pengikraran ketiga nasihat Injil ini merupakan suatu karunia ilahi yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmatNya. Para religius menghayati ketiga nasihat Injil (Kemurnian, kemiskinan dan keteaatan) dalam hidupnya sebagai suatu anugerah. Semua anggota religius diharapkan untuk menjalani cara hidup yang lebih tetap dan teguh untuk mengejar kesempurnaan. Dengan demikian para anggota mampu menepati ikrar religius mereka dengan aman dan mengamalkannya dengan setia. Dan mereka dapat melangkah maju di jalan cinta kasih dengan hati gembira. Kaul merupakan jawaban dan komitmen kaum relligius dalam kemerdekaan seperti Yesus yang hidup dan menjalankan misi dalam kemerdekaan dan keluasan tanpa batas. Pengikraran kaul merupakan pernyataan “amin” kepada pengkhususan atau pengudusan Allah untuk menghayati cinta kasih dalam misteri salib yang merupakan kelimpahan rahmat Allah kepada dunia. Ketiga nasihat Injil itu dapat kita lihat secara singkat di bawah ini :
2.1. Kemurnian
Kemurnian merupakan salah satu dari ketiga nasihat Injil yang paling penting. Orang tidak dapat menolak hidup membiara tanpa keperawanan. Menghayati kemurnian/keperawanan tidak mudah oleh karena itu keperawanan ini harus benar-benar berangkat dari pengenalan diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai sesama.[6] Kemurnian harus terus menerus diusahakan. Hidup murni tidak hanya dalam bentuk hidup tidak kawin (hidup selibat), tetapi lebih dari itu juga hidup murni berkaitan dangan seluruh aspek kehidupan, seperti pikiran, perbuatan dan lain-lain.
2.2. Ketaatan
Ketaatan memiliki dua pengertian. Pertama ketaatan manusiawi dan kedua ketaatan kristiani. Ketaatan pertama-tama bersifat manusiawi . Secara menusiawi kita adalah makluk rasional yang dilengkapi dengan akal budi serta kehendak bebas. Karena itu kita dapat mengerti (berkat kehendak) untuk mengatur hidup dengan cara taat. Ketaatan tersebut akan berciri kristiani bila disertai pengakuan ketaatan yang seluruhnya tansenden yaitu Allah yang benar-benar patut kita patuhi secara absolut.[7] Ketaatan kristiani (ketaatan religius) berbeda dengan ketaatan manusiawi.
Sesuai dengan arahan Gereja yang dituangkan di dalam dekrit Konsili Vatikan II tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (Perfectae Caritatis), hidup religiua memang harus mengikuti zaman dengan terus menerus membaharui diri sesuai dengan tuntutan zamannya (bdk. PC 1 dan 2).
2.3. Kemiskinan
Kemiskinan religius memiliki pengertian yang cukup luas dan namun juga kabur. Terkadang terlihat kontras antara hidup miskin yang dihayati dengan keadaan yang serba berkecukupan dalam biara. Tantangan yang cukup besar bagi para religius untuk bersaksi di tengah zaman kemewahan. Meskipun demikian Konsili Vatikan II tetap meminta agar para religius terus-menerus mempraktikan kemiskinan, kalau perlu dengan mencari bentuk-bentuk yang baru (bdk. PC. n. 13).
Kemiskinan di sini lebih dimaksudkan pada berbagai bentuk hubungan manusia dengan harta benda.[8] Sehingga miskin dapat berarti tidak memiliki harta benda yang berlimpah. Miskin juga bisa diartikan sebagai sikap manusia dalam menggunakan harta benda tersebut. Dalam hal ini kemiskinan para religius lebih merupakan sikap tidak terlekat atau lepas bebas terhadap harta benda. Artinya bahwa dengan hidup miskin para religius terarah untuk lebih membuka hati dan merindukan serta mengharapkan Allah sebagai satu-satunya “harta milik” yang dapat mereka andalkan.
Yesus sendiri meminta para pengikutNya untuk meninggalkan segala harta bendanya sebagai salah langkah dasar untuk menjadi muridNya. Para murid harus meninggalkan harta milik demi Kerajaan Allah. Di sini kemiskinan berarti suatu dasar tuntutan Kerajaan Allah yang lebih mendalam (bdk. Mat 6:24-34), bukan suatu sikap radikal yang mempraktekkan kemiskinan secara ekstrem. Kerajaan Allah menuntut keutuhan hati dalam mengikuti Yesus. Sehingga apabila harta benda membuat hati mendua dari Yesu, maka harus ditinggalkan.
Dalam Lumen Gentium (art. 44C) dikatakan bahwa “pengikraran nasihat-nasihat Injil tampak sebagai “tanda”. Dan yang dipertandakan adalah terutama segi eskatologis hidup kristiani: “menunjukkan kepada semua orang beriman harta surgawi”. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa eskaton bukan suatu yang lepas dari hidup sekarang, melainkan adalah dinamik hidup rahmat sendiri.
3. Makna Hidup Religius
Kehadiran Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada masyakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri.
Penyerahan diri yang total kepada Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap mengenangkan sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada Tuhan sendiri.[9]
4. Para Religius dan Hierarki Gereja
Kehadiran para religius membantu Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah sekaligus menggembalakan umat Allah ke ladang yang berumput lebat (bdk.Yes 34:14). Berangkat dari tugas misi ini maka hirarki secara bijaksana mengatur tata aturan hidup religius ini dalam undang-undang (hidup menurut nasihat-nasihat Injil) dan dalam hal ini hirarki secara istimewa mendukung penyempurnaan cinta kasih akan Allah dan sesama. Bentuk dukungan ini adalah hirarki menerima pedoman-pedoman hidup yang diajukan oleh serikat-serikat atau tarekat-tareka hidup religius dan mengesahkannya dengan resmi. Tarekat-tarekat yang telah diresmikan diharapkan membangun Tubuh Kristus dan berkembang menurut semangat hidup para pendirinya.
Dalam Kanon 673-683 menyatakan bahwa lembaga hidup religius dan karyanya harus sesuai dengan identitas masing-masing khususnya sehubungan dengan bentuk dan cara kerasulan.[10] Dalam menunaikan tugas terhadap gerja masing-masing anggota menghidupi kharisma dan spiritualitasnya serta lebih dari itu juga mereka wajib menunjukkan sikap hormat dan taat menurut hukum gereja kepada para uskup demi tugas kerasulan mereka di gereja-gereja khusus. Karya kerasulan ini dilaksanakan atas nama mandat Gereja dalam persatuan dengan gereja juga.
Para religius harus sungguh-sungguh berusaha agar kehadiran mereka di tengah dunia menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun yang tidak beriman. Mereka harus menampilkan Kristus dalam berbagai situasi baik itu ketika Yesus sedang berdoa di atas bukit, mengajar, sedang menyembuhkan, menderita atau sedang memberkati anak-anak (LG 46).
5. Relevansi
Hidup para religius merupakan tanda badaniah berkaitan dengan inti agama kristen di antara orang-orang beriman Kristen. Kehadiran para religius di tengah jemaat kristiani merupakan tanda, sehingga orang kristen sungguh-sungguh melihat dan mengakui Kristus sebagai dasar terdalam dan pegangan terakhir hidup mereka. Di sini tampak aspek pengharapan eskatologis lebih ditonjolkan. Semua umat mengharapkan terwujudnya kesempurnaan eskatologis, yakni dimana semua aspek jahat musnah. Hidup para religius di tengah-tengah menjadi kesaksian bagi umat Allah untuk berani mati dengan meninggalkan manusia lama dan bangkit kembali sebagai ciptaan baru. Sehingga semua orang Kristiani sebenarnya dipanggil untuk menerima tugas perutusan yang mulia, yakni mengubah dunia yang lama dengan hidup yang baru dari dan dalam Kristus. Dengan demikian harapan eskatologis seluruh umat Kristiani akan terwujudnya Kerajaan Allah pada akhir jaman juga terlaksana di dunia sekarang dan di sini.
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Semua orang kristiani dipanggil kepada kesempurnaan. Dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Panggilan kepada kekudusan ini tentunya bukan sesuatu mengawang-awang dan terpisah dari kehidupan konkrit duniawi. Panggilan pada kekudusan justru merupakan panggilan untuk memiliki cara hidup yang lebih manusiawi sehingga turut ambil bagian dalam pembentukan dunia yang lebih manusiawi.[11]
Panggilan kepada kekudusan digerakkan oleh Roh Kudus, yakni Roh Kristus Tuhan yang diutus untuk melanjutkan karya keselamatan di dunia. Roh Kudus ada dalam setiap insan. Roh inilah selalu menggerakkan manusia untuk bersatu dengan Allah yang menjadi sumber kehidupannya. Dengan bantuan Roh Kudus sambil taat kepada sabda Bapa, semua orang kristiani dalam kehidupannya dipanggil untuk mengikuti Kristus secara total dan berani memanggul salib setiap hari (bdk. Mat 16:24), supaya layak mengambil bagian dalam kejayaanNya. Dengan demikian semua orang Kristiani dalam berbagai tugas dan keadaannya di dunia makin hari hari makin dikuduskan. Semuanya itu terjadi tentunya apabila kepercayaan atau iman yang teguh kepada Bapa dan kehendak Ilahi ditampakkan dalam karya pelayanan duniawi. Karya cinta kasih orang kristiani yang nyata di tengah-tengah dunia justru menunjukkan bahwa Allah mencintai dunia (LG 40 dan 41).
6. Penutup
Cara hidup sebagai religius berarti meneruskan, mengaktualkan dan memperbaharui cara hidup Yesus Kristus, Sang Juru Selamat dan Guru Besar. Cara hidup ini dijiwai oleh semangat hidup Yesus Kristus yang sungguh datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Ia datang untuk menyembuhkan, menghibur, memberikan pengharapan dan keselamatan kepada setiap manusia yang sungguh membutuhkannya. Maka dari itu, hendaklah setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat Injil harus sungguh-sungguh berusaha supaya bisa bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah (LG 47). Setiap pelayanan atau karya kerasulan harus dilandasi oleh prinsip cinta kasih yang berani menyerahkan nyawa (bdk. Yoh 15:13). Para religius dipanggil sebagaimana telah diserukan “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada di situ pun pelayanKu berada” (Yoh 12:26).
Nasihat-nasihat Injili disadari sebagai karunia Tritunggal untuk memiliki daya kekuatan untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah, kendati kerapuhan manusia memeluknya (VC 20). Kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan pancaran hidup kasih Ilahi yang tak terhambat oleh apapun atau kekuatan dosa manapun. Pada intinya kemurnian, kemiskinan dan ketaatan merupakan dinamika pemberian diri seutuhnya, seperti yang dilakukan oleh pribadi Ilahi demi terwujudnya Kerajaan Allah (VC 21). Kerajaan Allah hanya dapat dibangun dengan daya kekuatan serta kuasa Allah yang terwujud dalam nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada cinta kasih yang tiada batas (bdk. Yoh 13:1).
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Sumber Pendukung
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Go, Piet, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, 1984.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Ladjar, Leo L., OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Ridick, Joyce, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987.
[1] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.182-183.
[2] Ibid., hlm. 191.
[3] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 304.
[4] Ibid., hlm. 301.
[5] LG, art. 137.
[6] Sr. Joyce Ridick, SSC, KAUL Harta melimpah dalam Bejana Tanah Liat, Yogyakarta: Kanisius,1987, hlm. 67.
[7] Ibid, hlm. 156
[8] Leo L. Ladjar, OFM, Inti Hidup Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 43.
[9] LG, art. 146.
[10] Piet Go, O. Carm., Hukum Kanonik Lembaga Hidu Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Malang: STFT Widya Sasana, hlm. 91.
[11] Dr. G. Kirchberger SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 334.
Gereja dan Gerakan Feminisme
1. Pengantar
Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja. Inilah yang menjadi polemik utama yang masih sampai sekarang merongrong Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Namun tujuan ini penulisan ini tidak hanya sebatas terfokus pada kesadaran Gereja terhadap kaum feminis, tetapi juga diharapkan kesadaran itu justru tumbuh dalam diri wanita katolik sendiri. Sehingga mereka tidak hanya larut dalam ketidakpuasan terhadap Gereja yang seolah-olah menomorduakan mereka, tetapi lebih mengupayakan sesuatu yang lebih penting dalam hidup menggereja. Tantangan yang mereka hadapi bukanlah suatu hambatan bagi mereka untuk mencapai kekudusan sebagai murid Kristus dan ikutserta dalam membangun Gereja. Sehingga diharapkan kaum wanita lebih kreatif dalam menemukan bentuk-bentuk baru dalam karya pelayanan mereka. Karena dengan demikian peran mereka dalam Gereja akan semakin tampak lewat kesaksian dan kekudusan hidup mereka.
2. Latar Belakang Gerakan Feminis
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat kita temukan dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.[1] Kemudian menjelang abad 19 feminisme terbentuk menjadi sebuah gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada awalnya gerakan ini karena memang diperlukan pada masa itu, dimana ada terjadi pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan kaum wanita. Secara umum kita dapat melihat bahwa dalam fakta sejarah kaum perempuan kerap merasa dirugikan bahkan direndahkan dalam berbagai bidang kehidupan sosio-politik. Secara jelas khususnya dalam masyarakat yang sifat patriarkinya masih kental, kaum perempuan hanya menjadi kelas nomor dua. Dalam bidang-bidang sosial dan lebih-lebih politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi masih belum menjadi sebuah gerakan populer yang memiliki pengaruh yang besar. Baru setelah di Amerika Serikat ketika terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Kemudian gerakan feminis ini begitu berkembang dan memberi pengaruh ke berbagai negara lain.
3. Tantangan Kaum Feminis dalam Gereja
3.1. Tahbisan Imam Wanita
Gerakan wanita dalam Gereja tidak lepas dari pengaruh berkembangnya gerakan feminis yang semakin luas dewasa ini. Gerakan ini tidak hanya sebatas tidakpuasan terhadap sikap Gereja namun berujung pada penolakan terhadap pandangan alkitabiah tentang wanita dalam Gereja dan masyarakat. Memang dasar permasalahan tidak terletak pada teks Kitab Suci tetapi dalam cara menafsirkannya. Hanya saja perbedaan penafsiran ini dapat berimbas pada perombakan tradisi Kristiani. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa perbedaan penafsiran ini jatuh pada pandangan ekstrim yang menafsirkan tradisi Kristiani secara inklusif. Penafsiran seperti ini memiliki argumen bahwa wanita tidak dapat diselamatkan oleh Allah yang laki-laki, sehingga menolak Yesus dan karya penyelamatanNya.[2]
Gerakan feminis dalam Gereja semakin mencuat seiring dominasi sikap Gereja yang lebih cenderung menomorduakan kaum perempuan, terutama menyangkut peran mereka di dalam Gereja. Peran mereka dibatasi oleh padangan-pandangan Gereja yang lebih dipengaruhi teologi kaum hawa. Sehingga timbul gerakan kaum feminis yang menginginkan wanita juga dapat menerima tahbisan seperti para imam biasanya. Sikap Gereja tetap mempertahankan tahbisan imam hanya untuk laki-laki saja. Bagi kaum feminis tahbisan imamat yang hanya diperuntukkan bagi kaum adam sebenarnya tidak memiliki alasan alkitabiah yang mendasar.
3.2. Penegakan HAM
Keengganan Tahta Suci Vatikan mentahbiskan imam perempuan dan meletakkan perempuan pada posisi kedua dalam tugas-tugas kegembalaan dengan sendirinya telah menunjukkan sikap diskriminatif Vatikan. Dalam hal ini, Vatikan telah melakukan pelanggaran HAM. Otoritas telah menjelma menjadi paham otoriter. Panggilan menjadi imam datang dari Allah sendiri. Panggilan menjadi imam bisa jadi tumbuh di antara kaum perempuan. Mereka layak ditahbiskan dan menjalankan tugas-tugas kegembalaan. Menjadi imam bagi perempuan adalah hak asasi. Menghalangi dan meruntuhkan hak-hak asasi manusia masuk dalam kategori pelanggaran HAM.[3]
4. Posisi Vatikan: Tradisi Gereja
Tahta Suci Vatikan melalui Konggregasi Suci untuk Doktrin dan Iman menyatakan posisi Vatikan bahwa Gereja Katolik Roma tidak akan pernah mentahbiskan imam perempuan. Imam hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa tradisi Gereja Katolik tidak mengijinkan dan mengesahkan perempuan ambil bagian dalam tugas-tugas kegembalaan sebagai imam. Keteguhan gereja Katolik Roma berpegang pada tradisi yang telah berabad-abad lamanya dihidupi sepertinya tak akan tergoyahkan, sampai-sampai pendapat demikian tidak membutuhkan pertimbangan atau intervensi keputusan magisterium.
4.1. Yesus Sendiri memilih Keduabelas Rasul
Dalam terang tradisi maka tampak alasan yang esensial pada tubuh Gereja Katolik bahwa hanya laki-laki yang layak menjabat tugas imamat. Yesus memilih keduabelas orang laki-laki untuk menjadi Rasul. Yesus tidak memilih seorang pun perempuan untuk tugas tersebut. Seorang Rasul mendapat legitimasi dengan pelantikan khusus oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.[4] Tidak mengherankan, tradisi pelimpahan tugas-tugas sakramental hingga kini didominasi oleh kaum adam.
Keduabelas Rasul itu seperti Yesus. Mereka melanjutkan misi Yesus mewartakan kabar gembira (lih. Mat 3: 14; 6: 12). Misi mereka menjadi model misi secara universal. Dalam pengertian misi semacam ini, mereka representasi Yesus. Itulah sebabnya mengapa para rasul harus laki-laki. Paus Innocent III menyatakan bahwa Yesus tidak pernah menyampaikan dan mempercayakan misinya secara langsung kepada ibunya, tetapi kepada para Rasul.
4.2. Perbedaan Kodrat Pria dan Wanita
Banyak kaum feminis mengatakan bahwa harus ada persamaan hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik, termasuk adalah untuk menjadi seorang imam. Mungkin kita harus menerima bahwa persamaan hak dan kewajiban tidak berarti menghilangkan perbedaan kodrat seorang pria dan wanita. Perbedaan kodrat ini tidak berbicara soal tingkatan, apalagi memaksudkan untuk merendahkan kaum wanita. Perbedaan kodrat ini tidak bisa langsung diidentikkan sebagai sesuatu yang buruk. Perbedaan ini lebih menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita itu berbeda dan perbedaan itu harus dihormati dan diterima secara bebas. Sebagai contoh, menjadi kodrat wanita untuk melahirkan. Kalaupun seorang pria ingin dan mau mempunyai persamaan hak untuk melahirkan seperti wanita, dia tetap tidak bisa, karena melahirkan bukan menjadi bagian dari kodratnya. Demikian juga dengan imam jabatan, seorang wanita tidak dapat menjadi imam, bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria.
5. Wanita dan Pelayanan dalam Gereja Sekarang
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa tradisi Gereja masa lampau yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarkal tidak banyak memberi peran pada kaum wanita dalam karya pelayanan intern Gereja. Dan pembatasan terhadap peran kaum perempuan dalam Gereja ini masih dirasakan imbasnya sampai sekarang. Seperti yang terjadi pada gereja di Indonesia, beberapa paroki tetap bersikukuh melarang kaum wanita dalam tugas sebagai pelayan altar dengan alasan berpegang pada tradiri Gereja. Meskipun dalam Cogregatio de Divinis Officiis tahun 1994 sudah memutuskan bahwa kaum wanita (termasuk anak-anak perempuan) dapat membantu Misa sebagai putri altar.[5]
Namun lepas dari itu semua, perkembangan Gereja saat ini mulai banyak menempatkan peran kaum wanita dalam pelayanan Gereja bila dibandingkan situasi Gereja masa lampu yang masih tertutup bagi mereka. Sekarang cukup banyak wanita yang sudah terlibat dalam tugas dan pelayanan di paroki-paroki, terlebih peran mereka dalam tugas-tugas pastoral.
Gereja Katolik Roma memang tidak memiliki dasar teologis untuk menempatkan perempuan dalam tugas kegembalaan sebagai seorang imam. Namun hal itu bukan berarti bahwa Gereja merendahkan martabat kaum perempauan. Justru Gerej mau menekankan bahwa perempuan memiliki peranan dalam tugas-tugas gerejawi, tetapi tidak sebagai imam. Peluang tugas-tugas gerejawi di luar tugas seorang imam terbuka lebar bagi kaum perempuan. Gereja tetap memberi ruang pada peran perempuan dalam karya kerasulan. Seperti yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik “Ordinatio Sacerdotalis” yang diterbitkan pada tahun 1994. Beliau menyatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan tahbisan imam kepada wanita dan keputusan ini harus ditaati oleh seluruh umat beriman. Namun demikian, Gereja memperbolehkan wanita untuk aktif dalam peran kerasulan awam (seperti mengajar agama sebagai katekis, membentuk komunitas ibu-ibu untuk maksud evangelisasi, dan seterusnya), namun terutama di dalam keluarga karena tugasnya sebagai ibu untuk mendidik anak-anak mereka.[6]
6. Bunda Maria: Teladan Suci Wanita Katolik
Dalam hidup Kristiani, Bunda Maria diakui sebagai Bunda Allah karena Ia boleh mengandung dan mengijinkan Putra Allah mengambil daging dalam rahimnya yang perawan. Karya kesematan Allah bekerja dalam dirinya karena kesucian dan kekudusan hidupnya. Hal itu tampak dalam kesetiaannya pada Allah dimana Bunda Maria juga ada di bawah kaki salib sementara Putranya, Juruselamat kita, menebus dunia sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Di sana ia ditunjuk untuk menjadi ibu dari mereka semua yang dihantar kepada hidup melalui wafat Putra tunggalnya ( lih.Yoh 19:26-27).
Namun dalam ajaran Katolik yang sejati pembahasan tentang Bunda Maria tidak hanya berhenti pada kekudusan hidupnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu. Sehingga Maria dalam Gereja Kudus mendapat tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita manusia (lih. LG art.54).
Kaum feminis seperti Halkes, seorang teolog feminis banyak menolak pandangan Kristen tentang Maria. Karena dalam gagasan teologi katolik Maria digambarkan sebagai citra asli umat manusia yang telah ditebus. Oleh kaum feminisme, gagasan Kristiani tersebut dianggap sebagai monopoli prinsip maskulin. Kehadiran Maria hanya menunjukkan prinsip feminis yang boleh menggambarkan manusia sebagai penerima rahmat Ilahi, tetapi tidak pernah bisa menggambarkan salah satu segi dari yang ilahi itu sendiri. Gambaran Maria yang dibuat oleh Gereja hanya didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan para imam dan teolog laki-laki.[7]
Namun bila kita lihat dalam Tradisi, Gereja dengan teguh menegaskan bahwa bukan karena tidak menjadi seorang imam, sehingga seorang perempuan menjadi kurang kudus atau kurang berperan dalam kehidupan Gereja. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia, setelah Kristus, yang tidak bernoda. Dan Bunda Maria, walaupun menjadi bunda Kristus, dia tidak menjadi salah satu dari rasul. Namun ia telah menunjukkan kekudusan hidup yang sungguh berkenan di hadapan Allah. Bunda Allah kiranya dapat menjadi teladan bagi semua orang terlebih kaum wanita Kristiani untuk kesempurnaan hidup di dunia.
7. Penutup
Semua orang yang dibaptis sebetulnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan raja. Imam yang dimaksud disini adalah imam bersama atau imamat umum bukan imamat jabatan. Imamat umum yang ada dalam setiap orang Kristiani menunjukkan bahwa semua orang Kristiani yang baik pria maupun wanita memiliki tugas mulia untuk menguduskan dunia lewat persekutuan doa dan kekudusan hidup mereka yang dapat menjadi kesaksian hidup untuk membawa setiap orang kepada Allah.
Konsili Vatikan II memang tidak mengangkat tema feminisme dalam pengkajian isi dokumen. Namun dalam Konsili Vatikan dalam GS sangat menekankan Gereja sebagai persekutuan jemaat. Dokumen ini mau menegaskan bahwa Gereja itu adalah umat Allah sendiri. Artinya bahwa Gereja bukanlah milik kaum klerus atau herarki yang tidak dapat disangkal adalah dominasi kaum maskulin. Kaum klerus sendiri merupakan bagian dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah persekutuan seluruh umat Allah yang merangkul perbedaan jenis kelamin, etnis, suku, bahasa dan bangsa. Di sini seluruh kaum awam yang terhimpun dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu Kepala, yakni Kristus dipanggil untuk menyumbangkan segenap tenaga yang diterima berkat kebaikan Allah dan rahmat Sang Penebusan demi perkembangan Gereja serta penebusannya terus-menerus (bdk. LG art. 33).
Seluruh kaum awam baik pria maupun wanita yang adalah anggota umat Allah memiliki panggilan dengan aneka cara berusaha supaya rencana keselamatan Allah semakin dirasakan oleh semua orang di segala zaman dan di mana-mana. Di sini kita dapat melihat bahwa larangan tahbisan imam wanita sebenarnya bukan halangan bagi kaum perempuan untuk ambil peran dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Sebagai anggota umat Allah, kaum perempuan dengan aneka cara juga dapat membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan demi penyebarluasan san perkembangan Kerajaan Allah di dunia (bdk. LG art. 35).
Daftar Pustaka
Buku
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Internet
http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/perempuan_vatikan-redirected diakses pada Kamis, 12 November 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November, 2009.
http://katolisitas.org/2009/04/28/2008/08/02/kaum-feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[2] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.343-344.
[3] http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108 diakses pada Kamis, 12 Novemerber 2009.
[4] G. Kirchberger, SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 271.
[5] Thomas P. Rausch, Loc. Cit., hlm. 350-351.
[6] Ibid.
[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.496.
Gereja Katolik sampai sekarang masih tertantang untuk menjawabi ketidakpuasan kaum wanita terhadap sikap Gereja yang masih terasa menomorduakan mereka. Banyak kaum wanita Katolik mulai memperjuangkan status quo mereka dalam Gereja. Mereka merasa bahwa mereka diperlakukan sebagai kaum kelas dua dalam Gereja. Hal ini tampak jelas bahwa Gereja tidak dapat menerima wanita ditahbiskan menjadi imam. Kaum wanita tidak bisa mendapat jabatan pemimpin dan terlibat dalam keputusan resmi Gereja. Inilah yang menjadi polemik utama yang masih sampai sekarang merongrong Gereja.
Gerakan feminisme yang berkembang akhir-akhir ini lebih merupakan kesadaran dari pihak kaum wanita sendiri yang menuntut kesamaan secara penuh baik dalam Gereja maupun masyarakat. Gereja tentunya harus tanggap dan memberi tempat kepada kaum wanita. Kaum wanita hendaknya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepenuhnya dalam Gereja. Sehingga dalam karyanya, Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan kaum wanita.
Namun tujuan ini penulisan ini tidak hanya sebatas terfokus pada kesadaran Gereja terhadap kaum feminis, tetapi juga diharapkan kesadaran itu justru tumbuh dalam diri wanita katolik sendiri. Sehingga mereka tidak hanya larut dalam ketidakpuasan terhadap Gereja yang seolah-olah menomorduakan mereka, tetapi lebih mengupayakan sesuatu yang lebih penting dalam hidup menggereja. Tantangan yang mereka hadapi bukanlah suatu hambatan bagi mereka untuk mencapai kekudusan sebagai murid Kristus dan ikutserta dalam membangun Gereja. Sehingga diharapkan kaum wanita lebih kreatif dalam menemukan bentuk-bentuk baru dalam karya pelayanan mereka. Karena dengan demikian peran mereka dalam Gereja akan semakin tampak lewat kesaksian dan kekudusan hidup mereka.
2. Latar Belakang Gerakan Feminis
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat kita temukan dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.[1] Kemudian menjelang abad 19 feminisme terbentuk menjadi sebuah gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada awalnya gerakan ini karena memang diperlukan pada masa itu, dimana ada terjadi pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan kaum wanita. Secara umum kita dapat melihat bahwa dalam fakta sejarah kaum perempuan kerap merasa dirugikan bahkan direndahkan dalam berbagai bidang kehidupan sosio-politik. Secara jelas khususnya dalam masyarakat yang sifat patriarkinya masih kental, kaum perempuan hanya menjadi kelas nomor dua. Dalam bidang-bidang sosial dan lebih-lebih politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi masih belum menjadi sebuah gerakan populer yang memiliki pengaruh yang besar. Baru setelah di Amerika Serikat ketika terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Kemudian gerakan feminis ini begitu berkembang dan memberi pengaruh ke berbagai negara lain.
3. Tantangan Kaum Feminis dalam Gereja
3.1. Tahbisan Imam Wanita
Gerakan wanita dalam Gereja tidak lepas dari pengaruh berkembangnya gerakan feminis yang semakin luas dewasa ini. Gerakan ini tidak hanya sebatas tidakpuasan terhadap sikap Gereja namun berujung pada penolakan terhadap pandangan alkitabiah tentang wanita dalam Gereja dan masyarakat. Memang dasar permasalahan tidak terletak pada teks Kitab Suci tetapi dalam cara menafsirkannya. Hanya saja perbedaan penafsiran ini dapat berimbas pada perombakan tradisi Kristiani. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa perbedaan penafsiran ini jatuh pada pandangan ekstrim yang menafsirkan tradisi Kristiani secara inklusif. Penafsiran seperti ini memiliki argumen bahwa wanita tidak dapat diselamatkan oleh Allah yang laki-laki, sehingga menolak Yesus dan karya penyelamatanNya.[2]
Gerakan feminis dalam Gereja semakin mencuat seiring dominasi sikap Gereja yang lebih cenderung menomorduakan kaum perempuan, terutama menyangkut peran mereka di dalam Gereja. Peran mereka dibatasi oleh padangan-pandangan Gereja yang lebih dipengaruhi teologi kaum hawa. Sehingga timbul gerakan kaum feminis yang menginginkan wanita juga dapat menerima tahbisan seperti para imam biasanya. Sikap Gereja tetap mempertahankan tahbisan imam hanya untuk laki-laki saja. Bagi kaum feminis tahbisan imamat yang hanya diperuntukkan bagi kaum adam sebenarnya tidak memiliki alasan alkitabiah yang mendasar.
3.2. Penegakan HAM
Keengganan Tahta Suci Vatikan mentahbiskan imam perempuan dan meletakkan perempuan pada posisi kedua dalam tugas-tugas kegembalaan dengan sendirinya telah menunjukkan sikap diskriminatif Vatikan. Dalam hal ini, Vatikan telah melakukan pelanggaran HAM. Otoritas telah menjelma menjadi paham otoriter. Panggilan menjadi imam datang dari Allah sendiri. Panggilan menjadi imam bisa jadi tumbuh di antara kaum perempuan. Mereka layak ditahbiskan dan menjalankan tugas-tugas kegembalaan. Menjadi imam bagi perempuan adalah hak asasi. Menghalangi dan meruntuhkan hak-hak asasi manusia masuk dalam kategori pelanggaran HAM.[3]
4. Posisi Vatikan: Tradisi Gereja
Tahta Suci Vatikan melalui Konggregasi Suci untuk Doktrin dan Iman menyatakan posisi Vatikan bahwa Gereja Katolik Roma tidak akan pernah mentahbiskan imam perempuan. Imam hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa tradisi Gereja Katolik tidak mengijinkan dan mengesahkan perempuan ambil bagian dalam tugas-tugas kegembalaan sebagai imam. Keteguhan gereja Katolik Roma berpegang pada tradisi yang telah berabad-abad lamanya dihidupi sepertinya tak akan tergoyahkan, sampai-sampai pendapat demikian tidak membutuhkan pertimbangan atau intervensi keputusan magisterium.
4.1. Yesus Sendiri memilih Keduabelas Rasul
Dalam terang tradisi maka tampak alasan yang esensial pada tubuh Gereja Katolik bahwa hanya laki-laki yang layak menjabat tugas imamat. Yesus memilih keduabelas orang laki-laki untuk menjadi Rasul. Yesus tidak memilih seorang pun perempuan untuk tugas tersebut. Seorang Rasul mendapat legitimasi dengan pelantikan khusus oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.[4] Tidak mengherankan, tradisi pelimpahan tugas-tugas sakramental hingga kini didominasi oleh kaum adam.
Keduabelas Rasul itu seperti Yesus. Mereka melanjutkan misi Yesus mewartakan kabar gembira (lih. Mat 3: 14; 6: 12). Misi mereka menjadi model misi secara universal. Dalam pengertian misi semacam ini, mereka representasi Yesus. Itulah sebabnya mengapa para rasul harus laki-laki. Paus Innocent III menyatakan bahwa Yesus tidak pernah menyampaikan dan mempercayakan misinya secara langsung kepada ibunya, tetapi kepada para Rasul.
4.2. Perbedaan Kodrat Pria dan Wanita
Banyak kaum feminis mengatakan bahwa harus ada persamaan hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik, termasuk adalah untuk menjadi seorang imam. Mungkin kita harus menerima bahwa persamaan hak dan kewajiban tidak berarti menghilangkan perbedaan kodrat seorang pria dan wanita. Perbedaan kodrat ini tidak berbicara soal tingkatan, apalagi memaksudkan untuk merendahkan kaum wanita. Perbedaan kodrat ini tidak bisa langsung diidentikkan sebagai sesuatu yang buruk. Perbedaan ini lebih menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita itu berbeda dan perbedaan itu harus dihormati dan diterima secara bebas. Sebagai contoh, menjadi kodrat wanita untuk melahirkan. Kalaupun seorang pria ingin dan mau mempunyai persamaan hak untuk melahirkan seperti wanita, dia tetap tidak bisa, karena melahirkan bukan menjadi bagian dari kodratnya. Demikian juga dengan imam jabatan, seorang wanita tidak dapat menjadi imam, bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria.
5. Wanita dan Pelayanan dalam Gereja Sekarang
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa tradisi Gereja masa lampau yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarkal tidak banyak memberi peran pada kaum wanita dalam karya pelayanan intern Gereja. Dan pembatasan terhadap peran kaum perempuan dalam Gereja ini masih dirasakan imbasnya sampai sekarang. Seperti yang terjadi pada gereja di Indonesia, beberapa paroki tetap bersikukuh melarang kaum wanita dalam tugas sebagai pelayan altar dengan alasan berpegang pada tradiri Gereja. Meskipun dalam Cogregatio de Divinis Officiis tahun 1994 sudah memutuskan bahwa kaum wanita (termasuk anak-anak perempuan) dapat membantu Misa sebagai putri altar.[5]
Namun lepas dari itu semua, perkembangan Gereja saat ini mulai banyak menempatkan peran kaum wanita dalam pelayanan Gereja bila dibandingkan situasi Gereja masa lampu yang masih tertutup bagi mereka. Sekarang cukup banyak wanita yang sudah terlibat dalam tugas dan pelayanan di paroki-paroki, terlebih peran mereka dalam tugas-tugas pastoral.
Gereja Katolik Roma memang tidak memiliki dasar teologis untuk menempatkan perempuan dalam tugas kegembalaan sebagai seorang imam. Namun hal itu bukan berarti bahwa Gereja merendahkan martabat kaum perempauan. Justru Gerej mau menekankan bahwa perempuan memiliki peranan dalam tugas-tugas gerejawi, tetapi tidak sebagai imam. Peluang tugas-tugas gerejawi di luar tugas seorang imam terbuka lebar bagi kaum perempuan. Gereja tetap memberi ruang pada peran perempuan dalam karya kerasulan. Seperti yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik “Ordinatio Sacerdotalis” yang diterbitkan pada tahun 1994. Beliau menyatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan tahbisan imam kepada wanita dan keputusan ini harus ditaati oleh seluruh umat beriman. Namun demikian, Gereja memperbolehkan wanita untuk aktif dalam peran kerasulan awam (seperti mengajar agama sebagai katekis, membentuk komunitas ibu-ibu untuk maksud evangelisasi, dan seterusnya), namun terutama di dalam keluarga karena tugasnya sebagai ibu untuk mendidik anak-anak mereka.[6]
6. Bunda Maria: Teladan Suci Wanita Katolik
Dalam hidup Kristiani, Bunda Maria diakui sebagai Bunda Allah karena Ia boleh mengandung dan mengijinkan Putra Allah mengambil daging dalam rahimnya yang perawan. Karya kesematan Allah bekerja dalam dirinya karena kesucian dan kekudusan hidupnya. Hal itu tampak dalam kesetiaannya pada Allah dimana Bunda Maria juga ada di bawah kaki salib sementara Putranya, Juruselamat kita, menebus dunia sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Di sana ia ditunjuk untuk menjadi ibu dari mereka semua yang dihantar kepada hidup melalui wafat Putra tunggalnya ( lih.Yoh 19:26-27).
Namun dalam ajaran Katolik yang sejati pembahasan tentang Bunda Maria tidak hanya berhenti pada kekudusan hidupnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Maria harus dipahami dari peristiwa puncak Yesus Kristus, yakni kebangkitan dan wafatNya di kayu salib. Maria adalah hamba Tuhan yang miskin, rendah hati dan mau melayani sesama. Maria menjadi saksi dan bukti kemanusiaan dan ilahi bahwa janji Allah demi keselamatan manusia adalah kekal dari ujung langit tanpa batas ruang dan waktu. Sehingga Maria dalam Gereja Kudus mendapat tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita manusia (lih. LG art.54).
Kaum feminis seperti Halkes, seorang teolog feminis banyak menolak pandangan Kristen tentang Maria. Karena dalam gagasan teologi katolik Maria digambarkan sebagai citra asli umat manusia yang telah ditebus. Oleh kaum feminisme, gagasan Kristiani tersebut dianggap sebagai monopoli prinsip maskulin. Kehadiran Maria hanya menunjukkan prinsip feminis yang boleh menggambarkan manusia sebagai penerima rahmat Ilahi, tetapi tidak pernah bisa menggambarkan salah satu segi dari yang ilahi itu sendiri. Gambaran Maria yang dibuat oleh Gereja hanya didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan para imam dan teolog laki-laki.[7]
Namun bila kita lihat dalam Tradisi, Gereja dengan teguh menegaskan bahwa bukan karena tidak menjadi seorang imam, sehingga seorang perempuan menjadi kurang kudus atau kurang berperan dalam kehidupan Gereja. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia, setelah Kristus, yang tidak bernoda. Dan Bunda Maria, walaupun menjadi bunda Kristus, dia tidak menjadi salah satu dari rasul. Namun ia telah menunjukkan kekudusan hidup yang sungguh berkenan di hadapan Allah. Bunda Allah kiranya dapat menjadi teladan bagi semua orang terlebih kaum wanita Kristiani untuk kesempurnaan hidup di dunia.
7. Penutup
Semua orang yang dibaptis sebetulnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan raja. Imam yang dimaksud disini adalah imam bersama atau imamat umum bukan imamat jabatan. Imamat umum yang ada dalam setiap orang Kristiani menunjukkan bahwa semua orang Kristiani yang baik pria maupun wanita memiliki tugas mulia untuk menguduskan dunia lewat persekutuan doa dan kekudusan hidup mereka yang dapat menjadi kesaksian hidup untuk membawa setiap orang kepada Allah.
Konsili Vatikan II memang tidak mengangkat tema feminisme dalam pengkajian isi dokumen. Namun dalam Konsili Vatikan dalam GS sangat menekankan Gereja sebagai persekutuan jemaat. Dokumen ini mau menegaskan bahwa Gereja itu adalah umat Allah sendiri. Artinya bahwa Gereja bukanlah milik kaum klerus atau herarki yang tidak dapat disangkal adalah dominasi kaum maskulin. Kaum klerus sendiri merupakan bagian dalam Gereja. Gereja itu sendiri adalah persekutuan seluruh umat Allah yang merangkul perbedaan jenis kelamin, etnis, suku, bahasa dan bangsa. Di sini seluruh kaum awam yang terhimpun dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu Kepala, yakni Kristus dipanggil untuk menyumbangkan segenap tenaga yang diterima berkat kebaikan Allah dan rahmat Sang Penebusan demi perkembangan Gereja serta penebusannya terus-menerus (bdk. LG art. 33).
Seluruh kaum awam baik pria maupun wanita yang adalah anggota umat Allah memiliki panggilan dengan aneka cara berusaha supaya rencana keselamatan Allah semakin dirasakan oleh semua orang di segala zaman dan di mana-mana. Di sini kita dapat melihat bahwa larangan tahbisan imam wanita sebenarnya bukan halangan bagi kaum perempuan untuk ambil peran dalam perutusan keselamatan Gereja sendiri. Sebagai anggota umat Allah, kaum perempuan dengan aneka cara juga dapat membaktikan segenap tenaga mereka dalam karya kerasulan demi penyebarluasan san perkembangan Kerajaan Allah di dunia (bdk. LG art. 35).
Daftar Pustaka
Buku
Dister, Nico Syukur, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kirchberger, G., SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991.
Lumen Gentium (Terj: R. Hardawiryana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Internet
http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/perempuan_vatikan-redirected diakses pada Kamis, 12 November 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November, 2009.
http://katolisitas.org/2009/04/28/2008/08/02/kaum-feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Feminis diakses pada Kamis, 12 November 2009.
[2] Thomas P. Rausch, Katolisisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.343-344.
[3] http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108 diakses pada Kamis, 12 Novemerber 2009.
[4] G. Kirchberger, SVD, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 271.
[5] Thomas P. Rausch, Loc. Cit., hlm. 350-351.
[6] Ibid.
[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm.496.
Langganan:
Postingan (Atom)