God Spy

Minggu, 01 Maret 2009

Teologi Moral 1

Analisa Kasus Padre Amaro dari Sudut Pandang
Moral Kristiani



1. Gambaran Singkat Film “The Crime of Padre Amaro”

Film "The Crime of Padre Amaro" ini menceritakan tentang Padre Amaro, seorang pastor muda yang tugas pertamanya adalah melayani gereja di Los Reyes, sebuah kota kecil di Meksiko. Ia sangat berambisi untuk mengabdi pada Tuhan dan membantu orang-orang di kampung tempat dia bekerja. Sayangnya, di saat ia sedang ingin menjalankan niat baiknya itu, ia “tergoda” oleh seorang gadis yang bernama Amelia. Sebenarnya Amelia sudah punya seorang kekasih namanya Ruben. Karena Pastor Amaro sangat tampan dan kelihatan begitu baik, Amelia memutuskan untuk meninggalkan Ruben dan mulai mendekati pastor tersebut. Awalnya Father Amaro tidak tergoda, tapi karena didukung oleh situasi dan Amelia yang semakin agresif, akhirnya hubungan mereka semakin dekat dan mulai mabuk dalam hubungan romantis. Pasangan yang mabuk asmara dan lupa segalanya itu mulai melakukan hubungan layaknya suami-istri. Kenikmatan semu itu semakin sulit dilepaskan. Sampai akhirnya mereka mulai merasakan akibat yang menjadi buah hubungan mereka. Dan kehamilan Amelia kini menjadi tanggungan yang harus mereka pikul. Tidak hanya itu kejahatan berzinah yang dilakukan oleh Pastor Amaro ini akhirnya mulai berentet ke kejahatan-kejahatan lain seperti melakukan berbagai muslihat dan kebohongan demi menutupi hubungannya dengan Amelia. Semuanya ini membuat keadaan mereka semakin rumit. Mereka semakin sulit lepas masalah tersebut.
Padre Amaro dilanda kebimbangan ketika ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia masih ingin mempertahankan imamatnya dan memperjuangkan impiannya untuk melanjutkan studi. Sehingga kemudian ia meminta Amelia untuk kembali kepada Ruben, mantan kekasihnya. Namun Ruben menolak karena ia tidak lagi mencintai Amelia. Padre Amaro pun tambah bingung harus harus berbuat apa. Karena kehamilan Amelia tidak diketahui oleh orang lain, maka Padre Amaro akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan aborsi sebagai jalan keluarnya. Namun pada akhirnya Amelia meninggal dalam proses pengguguran kandungannya. Ia mengalami pendarahan yang hebat yang kemudian merenggut nyawanya.

2. Analisa Perbuatan Moral Padre Amaro

2.1. Tindakan Moral Padre Amaro
Dalam menganalisa tindakan moral yang dilakukan oleh Padre Amaro, kita tidak hanya melihat dari sudut perbuatan itu sendiri, tetapi juga perlu melihat faktor-faktor yang berpengaruh didalamnya. Secara objektif tindakan Padre Amaro adalah tindakan yang bertentangan dangan moral kristiani atau boleh disebut tindakan buruk secara moral. Tindakan-tindakan tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut:

2.1.1. Zinah
Sebagai seorang manusia, Padre Amaro tentunya tidak luput dari pengalaman jatuh cinta atau rasa tertarik terhadap lawan jenis. Namun sebagai seorang imam, status keimaman dengan sendirinya sudah menjadi norma yang mengikat hidupnya. Kesucian imamatnya menuntut penyerahan dirinya yang total demi kerajaan Allah. Sehingga hidup selibat sudah secara otomatis menjadi norma yang harus dihayati oleh setiap imam. Dalam hal ini, setiap imam yang telah mengikat diri dengan Tuhan dengan tahbisan imamat, tentunya tidak lagi melihat rasa tertarik dengan lawan jenis dan keinginan lainnya sebagai suatu perasaan yang harus dipenuhi, tetapi sebagai perasaan manusiawi yang justru semakin menyadarkan dirinya pada keimamannya. Padre Amaro dengan bebas mengabdikan diri demi kerajaan Allah dengan menerima tahbisan imamat, dengan demikian ia juga harus bebas dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang imam yang berselibat.
Dengan situasi yang ada Padre Amaro terjerumus oleh pemenuhan hasrat manusiawi. Tanpa pertimbangan yang matang ia malah melampiaskannya dalam tindakan seksuil dengan Amelia. Tindakan amoral hubungan di luar nikah yang dilakukan oleh Padre Amaro bukan menodai kesucian sebuah perkawinan, tetapi juga menodai kesucian keimamannya. Tidakan percabulan ini tentunya menjadi tanggung jawab yang besar bagi Padre Amaro bukan hanya karena dilakukan di luar nikah, tetapi karena dilakukan oleh seorang imam yang membaktikan diri untuk hidup murni. Dan Padre Amaro pastinya tahu bahwa tindakan zinah merupakan tindakan yang dilarang oleh Tuhan sendiri (bdk. Ul 5: 18; 5: 27).
Seksualitas manusia adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang indah. Tidak ada jejak dosa di dalamnya. Seks berfungsi sebagai sarana untuk menyatukan dan memperoleh keturunan, dalam hubungan pria dan wanita untuk menjadi ‘satu daging’. Sehingga kesucian hubungan seks itu hanya ditampakan dalam suatu ikatan perkawinan. Ketika hubungan itu rusak oleh seks pra-nikah atau seks di luar nikah seperti yang dilakukan Padre Amaro, sebenarnya tindakan itu sudah merupakan dosa zinah. Dan hubungan seks pra-nikah Padre Amaro tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran tentang pengungkapan rasa cintanya pada Amelia. Mgr. Andre Leonard dalam Yesus dan tubuhmu-tuntunan Moral seksual bagi kaum muda mengungkapkan bahwa dalam percabulan hubungan seksual hanya membuka jalan bagi pelampiasan cinta atau pencarian kenikmatan erotis, dan bukan ungkapan penyerahan diri dari seseorang kepada yang lain secara definitif. Seksualitas semacam ini lepas dari kebenaran kristiani tentang cinta dan tuntutan-tuntunan yang bersumber dari padanya: orang mengambil kesempatan yang ditawarkan orang lain kepadanya untuk saling menikmati sesaat diri mereka masing-masing, akan tetapi dia tidak lagi menyerahkan secara total kebebasannya, dengan jiwa-raganya.[1]

2.1.2. Pembunuhan
Hak pertama pribadi manusia ialah hak atas hidup. Gereja begitu menghargai kehidupan manusia, pro life. Hak hidup manusia lebih diutamakan dalam setiap norma hukum Gereja. Terlebih juga larangan membunuh merupakan pertintah Tuhan sendiri (bdk. Ul 5: 17; Mat 5: 21-22). Sehingga Gereja dengan tegas menentang segala bentuk tindakan yang menghilangkan atau merusak nilai-nilai kehidupan manusia. Bentuk tindakan tersebut bukan hanya penghilangan nyawa manusia atau pembunuhan, tetapi juga berbagai tindakan lain yang “membunuh” martabat manusia sehingga ia tidak lagi dianggap manusia seperti perdagangan manusia yang kerap terjadi dewasa ini.
Begitu juga dengan kehidupan bayi dalam kandungan, posisi Gereja cukup tegas terhadap hidup manusia yang berada dalam kandungan. Gereja memberlakukannya sebagai makhluk manusia baru yang punya hak hidup seperti layaknya manusia. Memang menjadi problem sampai saat ini adalah menentukan sejak kapan manusia itu terbentuk dalam kandungan. Atau, kapan pertemuan sel sperma dan sel telur itu dianggap atau dikatakan sudah menjadi manusia. Dalam hal ini Gereja cukup tegas dan konsisten dalam mengambil keputusan. Dikatakan bahwa sejak pembuahan sel telur sudah mulailah hidup yang bukan hidup ayah atau ibu, melainkan hidup makhluk manusiawi baru yang tumbuh karena diri sendiri. Ia tidak pernah menjadi manusiawi bila tidak sudah manusiawi sejak waktu itu.[2]
Dalam kasus aborsi yang dilakukan oleh Padre Amaro, kita dapat menilai bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan penghilangan hidup atau nyawa manusia. Dengan alasan apa pun, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Dalam kasus ini beban moral yang ditanggung Padre Amaro tentunya berbeda dengan umat biasa, karena statusnya sebagai seorang imam. Sebagai seorang imam, ia pasti punya pengetahuan lebih tentang moralitas aborsi dibandingkan umat biasa. Sehingga bila tindakan aborsi tetap terjadi, tanggung jawab yang dikenakan pada Padre Amaro tentu lebih berat.

2.1.3. Dusta
Berdusta berarti tidak mengungkapkan suatu kebenaran. Apa yang dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang ada. Karena tidak mengungkap kebenaran maka secara moral tindakan dusta merupakan tindakan yang buruk. Perbuatan dusta juga menunjukkan ketertutupan diri terhadap sesama dan Tuhan sendiri.
Tindakan dusta yang dilakukan Padre Amaro memiliki tujuan agar hubungan gelapnya dengan Amelia tidak diketahui oleh orang lain. Maksud dari tindakan dusta yang dilakukannya adalah mempertahankan hubungan gelap tersebut. Kita ketahui bahwa hubungan tersebut tidak dapat dibenarkan, lebih-lebih karena Padre Amaro adalah seorang imam. Dan tindakan dusta itu sendiri merupakan tindakan yang bertentangan dengan perintah Tuhan sendiri atau dengan kata lain merupakan tindakan yang buruk (bdk.Ul 5: 20; 5: 33-37). Suatu maksud yang tidak baik dilakukan melalui tindakan yang tidak baik pula merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara moral.

2.2. Norma Moral: Hukum dan Hati Nurani
Norma moral yang rasional selalu memiliki ciri khas ganda. Pertama norma tersebut bersifat objektif bila dilihat dari dimensi sosial. Hidup sosial membentuk nilai moral untuk tujuan dasar hidup bersama manusia. Aspek keumuman dalam struktur dasar keberadaan manusia patut mendapat pertimbangan atau perhatian. Norma moral objektif ini dapat berupa ketentuan hukum yang mengatur suatu komunitas. Dan Yang kedua norma moral juga dapat bersifat subjektif bila suatu keputusan menyangkut pribadi. Karena manusia tidak selalu tergantung pada norma moral objektif. Seseorang dapat mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan hati nurani. Hati nurani inilah yang menjadi norma moral subjektif dalam pengambilan suatu keputusan dan tindakan. Hati nurani moral dipandang sebagai norma terakhir, sehingga manusia seharusnya mengikuti hati nurani yang dinilai baik dan menjauhi yang dianggap jahat.[3]
Bila kita menganalisa tindakan moral yang dilakukan Padre Amaro tentunya peran norma moral baik yang bersifat objektif maupun subjektif patut mendapat perhatian. Sebagai seorang imam, ia tentunya terikat dengan norma hukum Gereja dan juga norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat dimana ia bekarya. Fungsi hukum manusiawi atau hukum yang berlaku dalam masyarakat tentunya bertujuan untuk kebaikan bersama, sehingga dapat menuntun orang pada kebaikan yang otentik. Karena masyarakat dimana Padre Amaro bekarya kental dengan budaya kristiani, hukum-hukum yang berlaku tentunya juga dipengaruhi oleh hukum moral yang ada dalam Gereja. Di sini hukum Gejera melarang umat terlebih para selibater berhubungan seks di luar nikah. Gereja juga sangat menentang tindakan aborsi. Norma hukum Gereja tersebut tentunya dipandang baik, karena kehidupan manusia begitu dihargai dan dilindungi. Padre Amaro tentunya sudah tahu akan hal-hal yang dilarang oleh Gereja. Apalagi sebagai seorang imam pastinya ia sudah mendapat pengetahuan lebih tentang hukum Gereja. Seharus ia tidak boleh melakukan tindakan seks di luar nikah, apalagi pengaborsian.
Peran hati nurani sebagai norma subjektif juga berperan penting dalam penilaian tindakan moral Padre Amaro. KV II melalui GS 16 melukiskan hati nurani manusia sebagai “sanggar suci” terdalam, pusat manusia yang tersembunyi, tempat munculnya keputusan-keputusan moral manusia. Hati nurani merupakan sanggar suci yang ditemukan pada bagian terdalam diri manusia, yang tidak tertutup dalam dirinya, namun selalu terbuka untuk dirinya sendiri, sesama, dan Tuhan. Dalam hati nurani, pinsip-prinsip moral pertama dikenal sebagai yang dirancang oleh Allah.[4] Tindakan konkret yang dilakukan oleh Padre Amaro tidak berdasarkan pertimbangan hati nurani yang sehat. Bila berdasarkan hati nurani, keputusan-keputusan yang ada seharusnya dirumuskan dengan mengikuti akal budi yang berpadu dengan kebaikan yang dikehendaki oleh Allah. Dalam hal hati nurani lebih dipandang sebagai putusan moral praktis yang memberitahukan kepada manusia dalam suatu keadaan konkret sambil mengingatkan manusia akan kewajiban moral yang perlu dipenuhi.

2.3. Keadaan Hati Nurani dan Keputusan Padre Amaro
Sebagai sebagai seorang imam, Padre Amaro ingin mempertahankan keimamannya. Ia juga ingin mempertahankan segala harapan dan impian, terutama prestasi dan karirnya sebagai imam muda. Ia masih ingin melanjutkan studi dan sama sekali tidak terlintas di benaknya akan menikah sebagai pertanggungjawaban perbuatannya. Dengan permasalahan seperti itu, Padre Amaro pastinya mengalami kebimbangan dalam hati nurani. Ia berada dalam ketidakpastian untuk mengambil suatu keputusan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pada awalnya ia meminta Amelia untuk kembali pada Ruben. Namun usaha itu tidak berhasil karena Ruben tidak lagi mencintai Amelia. Usaha yang tidak berhasil ini tentunya membuat hati nuraninya bertambah bimbang. Jika terlalu bimbang, sebaiknya Padre Amaro tidak bertindak atau mengambil keputusan apa pun. Karena keputusan yang berasal dari kebimbangan dapat menggiring ke dalam dosa. Seharusnya Padre Amaro berani membuka diri dan meminta bantuan kepada rekan imam yang lebih bijaksana, seperti Padre Antonio dalam menghadapi dan mengatasi kebimbangannya. Meskipun tindakan ini sulit dilakukan karena harus membocorkan rahasia, namun perlu dilakukan mengingat rekan imam lebih memahami dan mengerti situasi tersebut daripada umat biasa.
Keputusan Padre Amaro untuk melakukan tindakan aborsi bukan merupakan jalan keluar yang objektif. Karena dalam keadaan bimbang, ia sebaiknya menunda mengambil keputusan agar dapat mempertimbangkannya dengan lebih tenang. Mungkin Padre Amaro tidak persoalan itu diketahui Padre Benito yang seminggu lagi kembali setelah operasi. Sehingga ia harus segera memutuskan untuk menyelesaikan persoalannya. Namun bagaimanapun juga dalam keadaan bimbang, ia tidak harus bertindak atau memutuskan sesuatu. Pertama-tama Padre Amaro harus menyingkirkan kebimbangan tersebut lebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau bertindak. Sehingga keputusan yang diambil paling tidak merupakan keputusan yang lebih baik dan lebih mendekati kebenaran duduk masalah.
Padre Amaro berani bertindak berdasarkan hati nurani yang bimbang. Ia memilih untuk melakukan tindakan aborsi. Dalam hal ini, tanggung jawab atas perbuatannya itu harus dipikul oleh dia sendiri. Ia tentunya sudah sudah tahu bahwa melakukan aborsi sama dengan melakukan tindakan membunuh. Dengan demikian, ia sudah siap menanggung beban dosa pembunuhan.

2.3. Tindakan Bertanggung Jawab
Dalam mengalisa kasus Padre Amaro, tanggung jawab menjadi unsur penting dalam menilai tindakan moralnya. Karena tindakan tanggung jawab menunjukkan juga tindakan moral seseorang. Tanggung jawab juga menunjukkan seberapa besar tindakan moral dapat ditolerir dan sejauhmana orang dapat memperbaiki keadaan. Tanggung jawab mengandaikan orang sadar akan perbuatan salah yang telah ia lakukan, sehingga perlu ada perbaikan. Sehingga di sini tangggung jawab merupakan unsur penting dalam diri manusia, karena menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi risiko tindakan yang telah dilakukan. Menganalisa dengan tepat sejauhmana aspek tindakan tanggung jawab seseorang tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Namun kita dapat menilainya secara umum dari tindakan pertanggung jawaban yang ada. Dan hal yang lebih penting agar penilaian moral lebih mengena, kita perlu mengenal lebih mendalam tentang pribadi manusia dengan berbagai kerumitannya. Dengan demikian kita dapat menganalisis aspek tanggung jawab perbuatan seseorang secara lebih mendalam.[5]
Dalam menganalisa aspek tanggung jawab perbuatan Padre Amaro, kita perlu melihat faktor kebebasan dalam memutuskan atau bertindak. Kebebasan yang dimaksud di sini lebi menyangkut kebebasan interior manusia. Bebas atau kebebasan pribadi tidak memberi ruang pada unsur paksa atau keterpaksaan baik dari luar maupun dalam diri manusia. Sehingga dalam hal ini dimensi paksa atau keterpaksaan tidak mewajibkan seseorang untuk mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakan yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, tanggung jawab moral seseorang atas tindakan yang dilakukan dengan kehendak bebas akan lebih berat daripada tanggungjawab moral seseorang atas tindakan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau karena suatu paksaan. Suatu tindakan dikatakan bebas apabila tindakan itu mengandung pengetahuan, pertimbangan rasional, dan keputusan berdasarkan kehendak.[6] Unsur-unsur ini penting untuk diperhatikan untuk menilai tindakan moral Padre Amaro.
Dalam hal pengetahuan, Padre Amaro tentunya punya pengetahuan lebih tentang moralitas kristiani. Ia sadar dan tahu bahwa tindakan seks di luar nikah dan aborsi tidak dibenarkan oleh hukum Gereja, bahkan merupakan perbuatan dosa. Secara rasional, aborsi bukan perkara menghilangkan nyawa yang ada dalam kandungan, tetapi juga membahayakan nyawa sang ibu bila terjadi pendarahan hebat. Dan keputusan yang dilakukan Padre Amaro dilakukan dengan bebas. Tindakan amoral itu sungguh berasal dari dalam diri Padre Amaro, tanpa ada pihak yang memaksakan kehendaknya. Unsur-unsur yang ada ini menuntut pertanggungjawaban. Keputusan atau tindakan yang diambil Padre Amaro menunjukkan bahwa adanya pengabaian terhadap unsur-unsur tersebut, Tindakan moral Padre Amaro yang dilakukan dengan tahu dan sadar ini tentunya menuntut pertanggungjawaban moral yang lebih berat.

3. Pembinaan Hati Nurani
Bila kita menyaksikan film “The Crime of Padre Amaro” dengan cermat, salah satu pesan moral yang dapat kita petik adalah bagaimana kita membina hati nurani. Pembinaan ini merupakan upaya hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Melalui pembinaan hati nurani tersebut, manusia semakin matang dan terhindar dari kesesatan dalam mengambil suatu keputusan dan dalam tindakan manusiawi.[7]
Pembinaan hati nurani begitu penting bagi umat Kristiani, terlebih bagi kaum berjubah. Pembinaan hati nurani dapat terwujud dalam doa dan hidup rohani. Hati nurani yang terbina dengan baik memampukan orang untuk membedakan “yang baik” dan “yang jahat”. Sehingga orang semakin peka dan teguh dalam menghadapi godaan-godaan dosa. Terlebih godaan zaman sekarang, perkembangan massmedia kerap menjadi godaan yang membuat hati nurani menjadi tumpul. Banyak orang menjadi egosentris dan hanya sibuk dengan kesenangannya sendiri, tanpa mau peduli pada keadaan orang lain.
Dengan pembinaan hati nurani, orang semakin dewasa dalam bersikap atau memutuskan sesuatu. Orang semakin tegas dalam mengambil suatu keputusan yang tidak hanya berada di hadapan sesama tetapi juga di hadapan Tuhan. Sehingga dalam hal ini kita tidak dapat menyangkal bahwa pembinaan hati nurani ini mestinya menuntun manusia kepada kebaikan yang bisa membangun pribadi dan seluruh masyarakat (lih.1 Kor 10: 23-24).

[1] Mgr. Andre Leonard, Yesus dan Tubuhmu (Tuntunan Moral Seksual bagi Kaum Muda), Jakarta: Penerbit Obor, 2002, hlm. 47.
[2] Prof. Dr. W. F. Maramis, dkk., Pengguguran, Malang: Dioma, 1989, hlm. 17.
[3] Dr. William Chang, OFMCap., Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hlm. 85.
[4] Idem., hlm. 133-134.
[5] Idem., hlm. 56-57.
[6] Idem., hlm. 60.
[7] Idem., hlm. 136-137.

Sabtu, 28 Februari 2009

Sosiologi 2

Kajian Sosiologis terhadap Nilai-nilai Permainan Tradisional dalam Kaitannya dengan Proses Sosialisasi Anak-anak dalam Masyarakat


1. Pendahuluan
Dewasa ini permainan tradisional semakin dipandang sebelah mata. Dengan kata lain tak banyak lagi kalangan yang meminati permainan yang bercorak sederhana serta didukung oleh sarana-sarana konvensional ini. Seiring dinamika perkembangan zaman, permainan tradisional seakan tergerus keberadaannya. Banyak anak yang hidup di era modern merasa kurang “asyik”, kurang antusias, kurang puas dengan permainan tradisional. Dan bahkan, bisa jadi ada yang beranggapan bahwa permainan tradisional adalah “barang kuno” yang sudah selayaknya disingkirkan. Anak muda sekarang mungkin lebih senang mengekspresikan ke-modern-annya demikian, “hari gini kok masih bentengan, kuno!”. Dengan menyimak realitas yang demikian, kita patut bertanya, mengapa pemainan tradisional jarang diminati lagi? Mengapa banyak kalangan, terutama yang muda lebih enjoy dengan permainan-permainan produksi era modern?
Permainan modern biasanya merupakan permainan berteknologi canggih yang cenderung mengarah kepada kepuasan individual. Sehingga bentuk permainannya pun kebanyakan dimainkan secara individual. Permainan modern tidak menuntut adanya ruang atau lapangan bermain yang luas dan juga tidak menuntut kehadiran teman bermain. Orang tidak perlu bersusah payah mencari teman atau tempat untuk bermain. Dengan adanya komputer, orang dapat menghabiskan waktu seharian untuk bermain game di dalam kamarnya. Permainan modern ini dapat dinikmati dan dilakukan sendiri, tanpa mengharuskan kehadiran orang lain sebagai teman bermain. Terkadang kehadiran orang lain justru dianggap mengganggu keasyikan bermain. Maka, tak dapat disangkal bahwa permainan-permainan modern memiliki dampak negatif karena akan menjerumuskan anak-anak ke dalam sikap egosentris. Anak-anak menjadi semakin enjoy dengan “dunianya” sendiri karena sikap egosentris yang berlebihan. Dengan ini jelas bahwa relasi anak-anak dengan sesamanya terabaikan. Anak-anak akhirnya tidak mampu bersosialisasi dengan baik dan wajar dalam masyarakat
Lain halnya dengan permainan tradisional yang sama sekali tidak menggunakan kecanggihan teknologi, umumnya dilakukan berkelompok. Karena itu permainan ini membutuhkan ruang atau lapangan bermain yang luas. Dan yang lebih penting lagi ialah kehadiran teman-teman bermain yang menjadi syarat utama bagi kelangsungan suatu permainan. Dengan kata lain, secara umum permainan tradisional memiliki karakter interaktif yang berpotensi membentuk pola relasi antar individu dalam hal ini anak-anak sendiri.
Permainan-permainan tradisional tentunya menyimpan kekayaan nilai dan keunikan tersendiri.. Kita ketahui bahwa permainan tradisional memiliki nilai-nilai positif yang tentunya berguna baik bagi perkembangan hidup pribadi maupun hidup sosial individu. Permainan tradisional juga menjadi identitas suatu daerah yang menunjukkan eksistensi dan keunikan budaya setempat. Seharusnya permainan tradisional ini dikembangan atau diwariskan turun-temurun. Namun ironisnya permainan tradisional ini justru semakin memudar bahkan hilang dari realitas kehidupan masyarakat dewasa ini.
2. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, batasan masalah yang kami ambil terarah pada kaitan antara nilai-nilai permainan tradisional dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat. Tinjauan yang digunakan dalam pembahasan ini terbatas dan berfokus pada proses sosialisasi terlebih dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur sosialisasi yang kami ambil adalah nilai dan norma sosial, komunikasi, dan identitas diri.
Melihat tema permainan tradisional terlalu luas, maka dalam pembahasan ini kami membatasinya dengan mengambil beberapa contoh permainan tradisional. Permainan-permainan itu adalah Engklek dan Betengan. Dari permainan-permainan tersebut akan dilihat kaitan antara nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat serta tetap berpedoman pada unsur-unsur sosialisasi di atas.
Analisa dalam pembahasan ini akan kami lihat berdasarkan paradigma interaksi simbolis. Pertanyaan yang muncul dalam analisa ini adalah bagaimana sosialisasi dilakukan dalam permainan tersebut.

3. Metode Pembahasan
Pembahasan tema ini ditulis dengan menggunakan studi kepustakaan. Gagasan-gagasan yang akan diuraikan dalam pembahasan tema ini diambil dari beberapa sumber bacaan. Dalam studi kepustakaan ini kami mengambil beberapa hal yang berkaitan dengan permainan tradisional dan sosialisasi. Pembahasan mengenai permainan tradisional akan kami kaji secara mendalam dari sudut pandang sosiologis, terlebih dalam kaitannya dengan proses sosialisasi. Pemaparan tema ini bertujuan untuk menunjukkan apa itu permainan tradisional, bagaimana permainan tradisional tersebut dilakukan, nilai-nilai apa saja yang ada di dalam permainan-permainan tersebut, serta kaitannya dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat.

4. Fenomena Permainan Tradisional
Dalam Jawa Pos, Minggu 26 Oktober 2008, dimuat artikel mengenai permainan tradisional. Dalam artikel tersebut ditampilkan disposisi permainan tradisional di jaman modern. Dikatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI), menggusur permainam tradisional. Anak-anak sekarang lebih banyak permainan berbasis TI. Permainan tradisional pun kini sudah ditinggalkan. Bahkan, anak-anak banyak yang tidak tahu beragam permainan tradisional yang dulu diwariskan turun- temurun.[1]
Tak dapat dipungkiri, bahwa fenomena semacam ini benar-benar terjadi dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Di era modern saat ini, kita semakin jarang menemukan anak-anak yang memainkan permainan-permainan tradisional, terlebih di kota-kota besar. Keterpurukan disposisi permainan tradisional menimbulkan pertanyaan mendasar, yakni Faktor apa saja sebenarnya yang menyebabkan hilangnya permainan tradisional dari peredarannya?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya permainan tradisional, pertama sarana dan tempat bermain tidak ada. Kedua adanya penyempitan waktu, terlebih lagi semakin kompleksnya tuntutan zaman terhadap anak yang semakin membebani. Ketiga terdesak oleh permainan modern dari luar negeri di mana tidak memakan tempat, tak terkendala waktu baik siang hari, pagi, sore, atau pun malam bisa dilakukan serta tidak perlu menunggu orang lain untuk bermain. Faktor lain yang tak kalah penting adalah akibat terputusnya pewarisan budaya dari generasi sebelumnya di mana mereka tidak sempat mencatat, mendata, dan mensosialisasikan sebagai produk budaya masyarakatnya kepada generasi di bawahnya.[2]
Kemajuan teknologi merupakan salah satu sebab tergerusnya permainan tradisional. Tak dapat disangkal, ada sekian banyak produk permainan canggih yang menggiurkan anak-anak di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Anak-anak cenderung memilih permainan yang instan, mudah diakses di mana dan kapan pun, dan yang lebih penting lagi permainan tersebut “berkelas” bagi mereka karena kalau tidak demikian, mereka takut dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Sangat disayangkan bahwasanya permainan tradisional yang sarat nilai edukatif tersebut semakin jarang kita temukan di Nusantara terutama belantara kota. Semua permainan yang bercorak tradisional terlindas keberadaannya oleh permainan modern yang dari waktu ke waktu kualitas, kuantitas, dan kecanggihannya semakin memuncak.
5. Nilai-nilai Permainan Tradisional
Permainan tradisional menekankan aspek kebersamaan. Aspek kebersamaan tentu menanamkan nilai-nilai yang dapat membangun baik hidup personal maupun komunal. Di sini tiap individu tidak lagi hanya memperhatikan hidup personalnya, tetapi juga mulai melibatkan diri dalam kehidupan sosial. Dalam proses ini terjadi interaksi antara tuntutan hidup pribadi dengan tuntutan hidup sosial. J. Darminta, SJ dalam Praksis Pendidikan Nilai mengungkapkan bahwa orang tidak hanya dituntut untuk memperhatikan nilai hidup dan diri, tetapi juga harus memperhatikan nilai dan hidup dalam aspek kebersamaan sehingga hidup itu tetap dijunjung sebagai yang bernilai tinggi.[3] Secara personal, aspek kebersamaan ini secara langsung membangun tiap individu untuk mulai mengenali atau menemukan tempat dan peranan dalam kehidupan sosial atau dalam tatanan hidup bersama.
Untuk dapat lebih memahami nilai-nilai positif permainan tradisional, berikut akan kami paparkan dalam contoh permainan Engklek dan Betengan.
a. Engklek
Engklek berasal dari bahasa jawa, artinya melompat dengan satu kaki. Permainan ini dilakukan bersama-sama. Permainan ini diawali dengan melempar gacu (kepingan geting) ke dalam kotak pertama yang telah digambar di tanah. Biasanya kotak-kotak itu berbentuk salib, dan jumlah kotak sesuai kesepakatan. Setelah melempar gacu, pemain melompati kotak-kotak itu sampai ujung, kemudian kembali lagi. Begitu seterusnya hingga kotak terakhir. Setelah sampai pada kotak terakhir, gacu tersebut ditaruh di tangan. Sambil engklek, gacu tersebut dilempar bolak-balik di telapak dan punggung tangan. Bila bisa melewati itu dengan lancar maka dialah pemenangnya. Kesalahan terjadi saat salah satu pemain salah melempar koin, atau ketika pemain jatuh saat melompat. Bila terjadi kesalahan, maka giliran kelompok lain untuk melempar koin. Aturannya, bila di salah satu kotak terdapat gacu milik lawan, maka ia harus melompati kotak tersebut. Begitu seterusnya, siapa yang paling cepat menyelesaikan lompatan, dialah yang menjadi pemenang.
Dalam permainan Engklek tersebut kita dapat melihat nilai-nilai yang ada di dalamnya. Anak akan belajar konsentrasi dan berhati-hati dalam permainan tersebut. Saat membawa gacu sambil melompat dengan satu kaki, anak-anak akan dilatih untuk berhati-hati, bersabar dan konsentrasi agar gacu dan dirinya sendiri tidak jatuh. Selain itu, dalam permainan ini anak-anak dilatih untuk mengendalikan dirinya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara tidak langsung akan membentuk pribadi anak untuk bersikap dalam kehidupannya sehari-hari.

b. Bentengan
Betengan adalah salah satu bentuk permainan tradisional yang melibatkan tim. Permainan ini dilakukan oleh dua kelompok. Peralatannya pun tidak sulit untuk didapat. Hanya membutuhkan tempat yang cukup luas, dua tiang atau pohon yang jaraknya agak berjauhan yang akan digunakan sebagai benteng. Permainan ini dilakukan dengan saling menyerang benteng milik lawan. Para pemain berusaha menyerang dengan menyentuh beteng milik lawan. Masing-masing tim juga berusaha melindungi betengnya dari serangan lawan. Pemain yang tidak menyerang berjaga di bentengnya untuk melindungi serangan lawan. Bila pemain lawan terpegang oleh lawan lainnya, maka ia menjadi tawanan musuh. Untuk membebaskan temannya, teman satu timnya harus memegang benteng milik timnya terlebih dahulu, baru memegang teman yang tertawan agar bebas. Tim yang terlebih dahulu dapat menyentuh beteng musuh akan menjadi pemenang.
Permainan Bentengan ini melatih anak-anak untuk bekerja sama dalam tim. Secara tidak langsung anak-anak dilatih bersama dengan kelompoknya merancang strategi untuk meraih kemenangan, melatih bagaimana agar kelompoknya tidak bermain curang. Mereka juga dilatih untuk mencari pemecahan masalah ketika kelompok mereka berada pada posisi kalah. Dengan kata lain, permainan Betengan ini lebih mengasah kemampuan individu anak untuk bekerja sama dalam kelompok.
Setelah melihat beberapa contoh permainan beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita mengetahui bahwa banyak nilai positif yang terdapat di dalam permainan-permainan tersebut. Melalui permainan-permianan tersebut, proses penerusan budaya juga dilestarikan.

6. Kaitan Nilai-nilai Permainan Tradisional dengan Proses Sosialisasi Anak-anak dalam Masyarakat
Setelah melihat beberapa contoh permainan di atas beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita mengetahui bahwa banyak nilai positif yang terdapat di dalam permainan-permainan tersebut. Pada bagian ini akan ditampilkan bagaimana kaitan antara permainan tradisional tersebut dengan proses sosialisasi anak-anak dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini kami akan meninjau dari unsur-unsur yang ada di dalam sosialisasi itu sendiri, yaitu mengenai nilai, situasi sosial, komunikasi, dan identitas diri.

6.1 Nilai dan Norma Sosial
Nilai adalah segala hal yang dianggap baik dan jahat bagi kehidupan bersama. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi dan dicintai, dan diakui sebagai hal yang berguna bagi kehidupan manusia[4]. Sedangkan nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama[5]. Selain nilai sosial, dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya norma sosial, yaitu aturan hidup bersama. Dengan kata lain, norma-norma sosial tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut. Aturan-aturan ini menyangkut relasi antar manusia, serta relasi manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan permainan tradisional, kita dapat melihat nilai serta norma sosial yang ada di dalamnya. Dalam permainan Engklek, nilai-nilai yang terkandung adalah bagaimana anak-anak tersebut melihat sebuah arti kesabaran, konsentrasi, dan pengendalian diri. Saat seorang anak melompat dengan satu kaki dengan membawa gacu, ia harus bersabar dan hati-hati agar tidak jatuh. Ia secara tidak langsung mulai menanamkan nilai-nilai positif dari permainan tersebut. Dalam permainan Bentengan, banyak nilai yang bisa kita gali di sini. Salah satu nilai yang bisa kita petik adalah nilai kerja sama. Anak dapat mengasah sikap gotong royong dalam tim, dan melatih tim untuk bersikap jujur dalam mengambil keputusan.
Permainan tradisional tersebut juga mengajarkan sportivitas dan aturan bermain yang disepakati bersama. Memang benar bahwa sudah ada aturan umum dalam sebuah permainan tradisional. Namun demikian, untuk memulai suatu permainan pada suatu waktu, mau tidak mau, anak-anak berunding terlebih dahulu dan membuat kesepakatan bersama. Di sinilah norma sosial itu disosialisasikan
Dengan melihat nilai-nilai tersebut, kita dapat melihat proses sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam permainan tersebut. Nilai-nilai positif dari permainan tersebut juga termasuk nilai-nilai positif yang ada dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, dengan melakukan permainan tersebut anak-anak juga turut melestarikan budaya daerah setempat. Dengan kata lain proses sosialisasi nilai-nilai positif dapat tersalurkan melalui permainan- permainan ini. Sehingga, sebenarnya, permainan ini memiliki nilai sosial yang tinggi karena berperan menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat

6.2 Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu isi dari sosialisasi yang berhubungan dengan bahasa. Bahasa di sini dapat diartikan sebagai bahasa lisan, mimik, atau gerak tubuh. Yang dikomunikasikan bisa berupa perasaan, pikiran, pengetahuan atau dirinya sendiri[6].
Di dalam kedua permainan di atas (Engklek dan Bentengan), secara langsung maupun tidak, mengandung unsur komunikasi tersebut. Secara langsung, komunikasi yang nampak adalah bahasa lisan. Hal ini dapat dilakukan baik antar anggota tim atau antar tim lain. Dalam Betengan misalnya, teman satu tim saling berkomunikasi dengan memberi tahu, memberi isyarat untuk mengatur strategi menyerang lawan. Antar tim pun dapat saling melihat bagaimana tim lawan mengatur strategi, yaitu melalui gerak-gerik tubuh atau mimik lawan.
Secara tidak langsung, proses komunikasi ini merupakan sebuah penerusan atau pewarisan budaya. Artinya, ketika permainan itu dilakukan maka, secara tidak langsung permainan itu telah tersalurkan dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi komunikasi dalam permainan-permainan tradisional dapat tersalurkan. Anak-anak dapat belajar, secara khusus dalam berkomunikasi, untuk dapat ambil bagian dalam kehidupan sosialnya.

6.3 Identitas Diri
Identitas diri merupakan gambaran seseorang akan dirinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan bagaimana individu hidup dan berperan dalam masyarakat. Peran di dalam masyarakat pada dasarnya berada pada level sarana untuk mengungkapkan gambaran diri. Maka, yang menjadi persoalan ialah bagaimana persoalan itu tidak diidentifikasikan dengan gambaran serta nilai hakiki manusia, meskipun peranan di dalam masyarakat merupakan hal yang penting dan ikut menentukan gambaran serta nilai diri secara sosial.[7] Menurut paradigma interaksi simbolis, proses identifikasi diri ini berawal dari relasi individu dengan individu lain.
Dalam kaitannya dengan permainan-permainan tersebut, sosialisasi identitas diri juga dapat ditampilkan sebagai sesuatu yang penting. Di sini dapat dilihat bagaimana anak mengambil peran dalam permainan tersebut. Permainan Bentengan misalnya, bagaimana seorang anak mengambil posisi dalam penyerangan ke benteng lawan. Apakah ia menjadi pengatur strategi, penjaga, atau sebagai penyerang. Peran-peran di sini secara tidak langsung juga membentuk konsep diri individu dalam memandang dirinya dalam hidup sosialnya.

7. Penutup
Dari uraian di atas, permaianan tradisional memberikan peranan yang penting dalam proses sosialisasi bagi anak-anak. Pada dasarnya bermain adalah dunia anak-anak. Namun pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa orang dewasa tidak boleh bermain. Melalui permainan-permaianan tradisional anak dapat mulai berinteraksi dengan hidup sosialnya. Anak-anak mulai dikenalkan dengan teman sebayanya, belajar menghargai , kerja sama dalam satu tim. Dengan kata lain, anak-anak tidak lagi terkungkung pada tuntutan personalnya, melainkan diajak untuk melihat kebutuhan komunal. Selain itu secara perlahan-lahan diajak untuk mulai mengenal perannya dalam masyarakat. Anak-anak mulai diajak untuk mulai mengungkapkan gambaran dirinya dalam tatanan masyarakat.

Jumat, 27 Februari 2009

Filsafat 1

ILUMINASI AGUSTINUS DAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI

1. Pendahuluan
Santo Agustinus adalah seorang tokoh kristiani yang besar di bidang teologi dan filsafat. Pemikirannya berpengaruh besar terhadap perkembangan iman kristen. Bahkan dikatakan bahwa pemikiran Agustinus telah merangkum pemikiran para ahli pikir Kristen sebelum dan sesudah dia. Ia disebut guru skolastik yang sejati karena berhasil membentuk “filsafat kristen” yang besar pengaruhnya pada abad pertengahan.1
Sebagai seorang Kristiani, Agustinus berusaha mengembangkan iman kepercayaan Kristianinya. Berhadapan dengan budaya Hellenis yang berkembang saat itu, pemikiran Agustinus tidak lepas dari pengaruh filsafat Yunani. Agustinus banyak menggunakan unsur-unsur filsafat ini dalam menjelas iman Kristen. Unsur filsafat ini membuat iman lebih mudah dimengerti dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam gereja katolik, pemikiran Agustinus turut mempengaruhi perkembangan hidup gereja selanjutnya. Pemikirannya banyak dipakai dalam usaha menjelaskan dan mendalami iman kristiani. Salah satu pemikiran Agustinus yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ajaran tentang iluminasi. Munculnya ajaran iluminasi di satu pihak merupakan suatu usaha Agustinus untuk menentang ajaran skeptisisme. Namun bila kita melihat lebih jauh, gagasan iluminasi juga merupakan usaha Agustinus untuk tetap mempertahanan iman kristiani. Karena ajaran skeptisisme bukan hanya membuat manusia meragukan kebenaran akal budinya, tetapi juga meragukan kebenaran ilahi dan eksistensi Allah sendiri. Gagasan iluminasi ini kemudian berkembang dalam hidup Kristiani.

2. Paham Skeptisisme
Lahirnya ajaran tentang iluminasi dilatarbelakangi oleh penolakan Agustinus terhadap Skeptisisme. Ajaran ini meragukan kemampuan akal budi manusia. Manusia tidak dapat sampai pada suatu pengetahuan yang benar. Akal budi manusia tidak mampu meyimpulkan sesuatu. Manusia tidak dapat mengetahui segala sesuatu atau realitas yang ada. Paham skeptisisme memosisikan manusia dalam keraguan tentang sesuatu. Keraguan ini membuat orang menangguhkan keputusannya karena tidak memiliki bukti-bukti yang akurat dan meyakinkan. Akhirnya skeptisisme ini dapat membawa orang pada ketidakpercayaan total. Dalam hal ini manusia meragukan kepastian akan segala sesuatu.

3. Penolakan Agustinus
Agustinus tidak menerima ajaran skeptisisme. Agustinus memiliki keyakinan bahwa di tengah keraguan atau kesangsian ada sesuatu yang pasti. Sehingga bagi Agustinus, kaum skeptisisme tidak konsisten dengan ajarannya. Kaum skeptis meragukan bahwa adanya kebenaran adalah salah. Namun keraguan kaum skeptis mengandaikan bahwa manusia sedang dan telah memikirkannya. Berpikir menunjukan adalah ia ada. Ia sedang berada di alam pikiran manusia.
Jika manusia meragukan segala sesuatu, maka secara otomatis keraguan tersebut telah menunjukkan adanya suatu kepastian dalam dirinya, yakni kepastian bahwa dia sedang meragukan segala sesuatu. Keraguan ini tidak dapat dibantah atau disangsikan lagi. Jadi kalau saya meragukan sesuatu, maka yang pasti ada saya sedang ragu dan seterusnya: “Jadi, kalau aku keliru, aku ada” (Si enim fallor, sum).2
Sebuah keraguan tentunya berkaitan langsung dengan adanya suatu pengetahuan yang benar. Jika tidak ada pengetahuan yang benar, maka tidak mungkin ada keraguan dan orang tidak mungkin memikirkannya. Oleh sebab itu, secara langsung dapat dinyatakan bahwa pikiran manusia dapat mencapai suatu pengetahuan yang benar dan pasti. Keraguan manusia terhadap suatu pengetahuan menunjukkan bahwa proses berpikir memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini bukanlah cerminan ketidakmampuan manusia untuk sampai pada kebenaran sejati. Sebaliknya, keterbatasan ini menunjukkan bahwa pikiran manusia dapat menganalisis dan mempertimbangkan suatu pengetahuan. Dengan analisis dan pertimbangan yang ada, manusia akhirnya dapat sampai pada suatu pengetahuan yang mengatasi pikirannya, yang tak berubah, dan bersifat abadi. Dengan demikian adanya Allah ditemukan dengan penganalisaan pikiran manusia.3 Keyakinan akan kebenaran ini membuat Agustinus menggagaskan suatu ajaran tentang iluminasi.

4. Pembahasan Ajaran Iluminasi Agustinus
Secara etimologis, iluminasi berasal dari Latin Iluminare yang berarti menerangi.4 Pengertian ini mengacu pada sesuatu yang memiliki sifat menerangi, yakni cahaya. Dalam sejarah filsafat, kata “cahaya” kerap dipakai untuk menggambarkan suatu kebenaran dan juga merupakan representasi dari pribadi Allah, Sang Kebenaran yang sejati.
Dalam ajaran iluminasi, Agustinus menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya bersumber pada Allah. Allah menjadi terang bagi akal budi, batin atau jiwa manusia. Manusia tidak akan mencapai suatu pengetahuan yang benar tanpa terang dari Allah. Iluminasi Agustinus ini dianggap sebagai pengaruh ilahi yang akan menghasilkan pengetahuan yang benar dan pasti pada manusia.
Di lain pihak Santo Agustinus juga melihat bahwa benih pengetahuan yang benar sudah ada dalam diri manusia. Sehingga untuk sampai pada pengetahuan yang benar, manusia harus kembali ke dalam dirinya. Manusia masuk ke dalam batin atau hatinya. Proses ini akhirnya sampai pada Tuhan yang menjadi dasar segala kebenaran itu sendiri. Gagasan ini menunjukkan bahwa akal budi manusia dapat mengadakan hubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi untuk mencapai kebenaran serta kepastian yang sempurna.5
Agustinus menggambarkan atau menganalogikan proses iluminasi dengan dunia pendidikan. Ia meyakinkan bahwa dalam manusia ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan ini menjadi penentu dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses mengajar, tugas guru hanya membuka atau menghidupkan dasar pengetahuan dengan penjelasan-penjelasan. Gambaran proses iluminasi ini juga dapat kita bandingkan dengan akibat yang dihasilkan sinar matahari pada penglihatan manusia. Mata adalah akal budi manusia yang menjadi tempat benih-benih kebenaran. Benda-benda yang disinari oleh cahaya matahari adalah objek-objek pengetahuan manusia. Benda-benda tidak akan terlihat oleh mata manusia, tanpa sinar dari matahari. Matahari yang menjadi sumber dari sinar adalah Allah sendiri. Dialah sumber pengetahuan manusia.6

4. Credo, ut Intelligam
Gagasan iluminasi Agustinus memiliki sifat ilahi atau adikodrati. Iluminasi dianggap sebagai terang rohani menyempurnakan pengetahuan rohani manusia atau suatu pengetahuan yang benar dan pasti. Dalam iluminasi kekuatan akal budi manusia berperan penting. Karena akal budi menjadi tempat naungan benih-benih kebenaran.
Gagasan iluminasi Agustinus ini dikembangkan dan dipakai Anselmus untuk melihat korelasi antara iman dan pengetahuan. Dia merumuskan hubungan iman dan pengetahuan demikian: Credo, ut intelligam (saya percaya agar mencapai pengertian).7 Ungkapan ini menunjukkan bahwa peran iman sangat penting dan harus ada dalam diri manusia. Manusia harus lebih dahulu percaya agar akal budinya memiliki kemampuan untuk menyelami atau menyelidiki kebenaran-keberan imannya. Iman menjadi daya pendorong akal budi untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh dan lebih mendalam. Iman dan akal budi diyakini berasal dari Allah. Iman diberikan dengan wahyu, sedangkan akal budi dengan penerangan Allah. Iman yang mendalam akan memberi pandangan yang mendalam pula kepada akal budi tentang segala sesuatu baik tentang Allah, manusia, maupun dunia.8

5. Tanggapan Kritis
Ajaran Agustinus tentang iluminasi muncul atas penolakannya terhadap aliran skeptisisme. Penolakan aliran skeptisisme merupakan suatu pembelaan Agustinus terhadap iman Kristiani. Keraguan akan suatu pengetahuan yang benar dalam skeptisisme merupakan konsep yang bertentangan dengan hidup iman. Ajaran ini tidak akan membawa orang pada Allah, sebaliknya membawa manusia pada lubang keraguan yang dalam. Manusia tidak lagi melihat Kebenaran Sejati, yakni Allah karena matanya dihalangi oleh kegelapan lubang itu. Untuk dapat melihat dan menemukan suatu kebenaran dibutuhkan suatu cahaya yang dapat membuka mata manusia. Cahaya itu akan membuka mata manusia akan suatu kepastian atau kebenaran dan membawa manusia kepada Allah. Karena Allah adalah sumber dari cahaya itu.
Pemikiran Agustinus bersifat adi-kodrati. Pengetahuan yang benar hanya dilihat dari sudut Allah. Gagasan iluminasi Agustinus ini dipengaruhi oleh konsep Plato tentang dunia ide. Adanya ide tentang sesuatu tidak diperoleh dari pengalaman indera manusia, karena pengalaman pengalaman indera sendiri sudah menunjukkan ide-ide tersebut.9 Ide tentang sesuatu ini menjadi penentu “adanya” sesuatu itu. Dan ide-ide tersebut hanya diperoleh dari Tuhan.
Epistemologi Agustinus yang bersifat iluminisme ini dapat dibenarkan dalam rangka pengetahuan iman. Namun dalam konteks pengetahuan pada umumnya, epistemologi ini kurang lengkap. Proses mengenal mengandaikan ada keseimbangan atau kerjasama antara pengetahuan intelektif dan pengetahuan sensitif. Dalam proses mengenal, suatu objek diawali oleh pengalaman sensitif. Kemudian pengetahuan intelectus mempertimbangkan objek material tersebut sehingga sampai menemukan essensi objek tersebut. Jadi, ada sebuah dinamika dalam sebuah pengenalan.10 Pengetahuan itu tidak semata-mata diperoleh langsung dari Allah. Ada pertimbangan atau refleksi aktif dari rasio manusia dalam mengenal, meskipun tidak dapat disangkal bahwa sumber terakhir dari pengetahuan yang benar berasal dari Tuhan.11

6. Relevansi
Dalam kehidupan umat beriman, gagasan Agustinus tentang iluminasi masih sangat relevan. Proses iluminasi merupakan proses yang harus ada dalam umat untuk sampai pada Allah. Kita dapat melihat konsep iluminasi dalam proses iman manusia hingga sampai pada Allah. Pertama, akal budi manusia hanya dapat melihat tanda-tanda dan bentuk lahiriah dari wahyu Allah. Kemudian karena manusia diterangi oleh rahmat Allah, manusia dapat melihat lebih dalam dari sekedar bentuk lahiriah. Manusia dapat menemukan kebenaran iman kristianinya dengan rahmat Allah. Kebenaran inilah yang mendorong manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Allah secara bebas.
Ajaran Agustinus tentang iluminasi memiliki dua gagasan penting yang perlu diperhatikan dalam kehidupan umat beriman, yakni:
Dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran. Manusia harus melihat ke dalam hati atau jiwanya.
Bibit kebenaran yang dalam setiap hati manusia itu menandakan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia. Manusia adalah makhluk yang secitra dengan Allah. Kebenaran itu merupakan gambaran diri Allah atau pantulan Allah sendiri.12 Karena dalam diri manusia ada benih kebenaran, maka manusia menampilkan gambaran Allah itu sendiri.
Gagasan di atas juga menyakinkan umat beriman akan kehadiran Allah dalam hati manusia. Bagi umat beriman, keyakinan ini mengandaikan bahwa hati manusia menjadi tempat naungan Allah. Allah hadir dalam setiap hati manusia. Kesadaran akan hal ini, umat beriman diajak untuk melihat dirinya. Umat beriman diajak untuk masuk ke dalam hati atau jiwanya. Masuk ke dalam hati bukan hanya berarti bahwa manusia mengenal dirinya, tetapi manusia juga terbuka akan suara hatinya. Sebab dalam diri atau jiwanya, ia menemukan terang yang akan menuntun orang kepada Allah.
Kebenaran Allah yang dalam diri atau hati manusia tidak akan pernah dicapai jika manusia tidak berusaha menciptakan keheningan dalam diri. Untuk masuk ke dalam hati, manusia harus memiliki suasana batin yang baik. Suasana ini memungkinkan manusia untuk lebih terbuka dan dapat masuk ke dalam hatiya. Karena dengan keheningan dan ketenangan jiwa, manusia semakin peka terhadap suara Tuhan yang menggema di dalam hatinya.
Manusia tidak akan pernah sampai pada kebenaran tanpa mendapat terang khusus dari Allah sendiri.
Benih kebenaran yang ada dalam hati manusia perlu diterangi oleh cahaya ilahi. Kebenaran-kebenaran dalam diri manusia merupakan gambaran Allah sendiri. Benih kebenaran itulah yang menunjukkan bahwa manusia adalah citra Allah. Bila manusia secitra dengan Allah, maka dalam diri manusia tentunya terdapat nilai-nilai luhur yang berasal dari Allah. Nilai-nilai luhur yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya dan disempurnakan di dalam oleh-Nya. Allah adalah Sang Kebenaran yang sempurna, maka benih-benih kebenaran yang ada dalam jiwa manusia akan mendapat kesempurnaannya dalam Allah sendiri.
Dalam kehidupan umat beriman, manusia hendaknya selalu memohonkan terang Ilahi agar dapat mengerti imannya dengan baik. Terang dari Allah ini juga memungkinkan manusia untuk dapat mengerti Sabda Allah dengan benar. Di sini kita dapat melihat bahwa iman bukan hanya sebatas usaha manusia, tetapi merupakan rahmat dari pihak Allah.
Bibit kebenaran yang ada dalam hati manusia tidak akan pernah nampak, tanpa penerangan dari Allah. Gagasan ini juga mau mengungkapkan bahwa kesempurnaan itu hanya terdapat pada Allah. Manusia dengan usaha dan kemampuan yang dimiliki akan mendapat kesempurnaannya dengan rahmat dari Allah. Oleh sebab itu, manusia harus menyadari keterbatasannya. Meskipun ada bibit kebenaran dalam diri manusia, namun kebenaran sejati hanya berasal dari Allah. Hanya Allah saja yang dapat menyempurnakan semuanya. Karena Dia adalah Kebenaran Sejati itu sendiri.

7. Penutup
Gagasan iluminasi Agustinus menyadarkan manusia akan peran sentral Allah pada pengetahuannya. Hanya dengan terang dari Allah, manusia dapat sampai pada kebenaran sejati. Di samping itu, gagasan tentang iluminasi juga mengangkat martabat manusia. Manusia memiliki nilai ilahi di dalam dirinya. Benih-benih kebenaran Allah ada dalam jiwa manusia. Sehingga melalui penerangan dari Allah, benih-benih kebenaran itu dapat tampak jelas.
Proses iluminasi merupakan proses yang harus dialami di dalam hidup beriman. Dengan akal budi manusia semakin kritis dan mulai mempertanyakan iman yang dihayatinya. Dengan akal budi itu manusia juga berusaha menjawab persoalan-persoalan imannya. Di sini, akal budi berperan penting dalam usaha memahami dan mendalami hidup iman kristiani. Namun, manusia tidak hanya mengandalkan kemampuan akal budinya untuk sampai pada kebenaran iman Kristiani. Karena kemampuan akal budi manusia terbatas. Manusia membutuhkan rahmat Allah untuk menerangi akal budinya sehingga dapat melihat lebih dalam kebenaran iman kristiani.





























DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanusius, 1980.
Isdaryanto, Y. B., Diktat Kuliah Epistemologi, 2008.
Tjahjadi, Simon Petrus, L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Verhaak, C., “Agustinus: Kebenaran dalam Penerangan Ilahi” dalam Sutrisno, Mudji, FX. dan Hardiman, Budi, F. (eds.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 27-35.





1 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1980), hlm. 79.
2 Simon Petrus L. Tjahjadi, Pertualangan Intelektual, (Jakarta: Kanisius, 2004), hlm. 112.
3 Harun Hadiwijono, Op. Cit., hlm. 80.
4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 313.
5 Harun Hadiwijono, Op. Cit., hlm. 94.
6 Simon Petrus L. Tjahjadi, Op. Cit., hlm. 113.
7 Harun Hadiwijono, Loc. Cit.

8 Ibid.
9 Simon Petrus L. Tjahjadi, Loc. Cit.
10 Y.B. Isdaryanto, Diktat Kuliah Epistemologi, hlm. 29.
11 Ibid.
12 C. Verhaak, “Agustinus: Kebenaran dalam Penerangan Ilahi” dalam FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (eds.), Para Penentu Gerak Zaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 27.

Teologi Fundamental

RESENSI
Buku : Teologi Sistematika 1
Karya : Dr. Nico Syukur Dister, OFM

Allah mewahyukan diri kepada manusia berdasarkan inisiatif dan kehendak bebas-Nya untuk menyelamatkannya. Wahyu itu diterima oleh manusia dengan iman. Iman merupakan jawaban manusia terhadap wahyu Allah dan sekaligus merupakan penyerahan dirinya kepada Allah. Sehingga tercipta sebuah relasi personal antara Allah dan manusia. Wahyu Allah terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Relasi personal Allah dan manusia yang terbentuk secara otomatis menyebabkan berkembangnya wahyu dalam sejarah keselamatan umat manusia. Iman dan wahyu secara bersama-sama menunjukkan adanya komunikasi antara Allah dan manusia.
Wahyu itu terus diwartakan Gereja dari generasi ke generasi. Pewartaan itu berlangsung sejak zaman para nabi, perjanjian baru yakni oleh Yesus Kristus, zaman patristik dan diterima sampai sekarang baik secara tertulis maupun tak tertulis. Penerusan wahyu didasarkan pada kehendak Allah yang ingin menyelamatkan semua manusia. Pewartaan tertulis disebut Alkitab, sedangkan yang tak tertulis adalah Tradisi. Tradisi adalah kumpulan tradisi-tradisi yang ada dan hidup di dalam Gereja.
Penerusan wahyu ini dilakukan lewat pewartaan para rasul dan diteruskan lewat pelayanan para uskup. Dalam pewartaan para rasul, wahyu yang diterima langsung oleh para rasul membuat pewartaan mereka bukan hanya sebatas penerusan wahyu, tetapi terlebih pewartaan mereka merupakan wahyu itu sendiri. Sedangkan dalam pewartaan para uskup, mereka hanya meneruskan wahyu yang telah diwariskan kepada mereka. Penerusan wahyu ini berarti bahwa para uskup menjaga keotentikkan wahyu itu. Sehingga para uskup hanya boleh menafsirkan segala sesuatu yang telah diwariskan para rasul tanpa menambah, mengurangi atau mengubahnya.
Wahyu yang diteruskan dalam Gereja tentunya berhadapan dengan budaya dan situasi yang berbeda-beda. Iman yang dihayati dalam Gereja akan berbentur dengan situasi dan budaya setempat. Karena Gereja sebagai jemaat Allah hidup dalam masyarakat yang memiliki budaya tersendiri. Situasi dan budaya pada zaman para rasul berbeda dengan zaman para bapa gereja. Apa yang menjadi tantangan para rasul dalam penghayatan imannya berbeda dengan tantangan para bapa gereja. Oleh sebab itu, iman Gereja harus disesuaikan dengan konteks. Dalam hal ini, kita bukannya merubah atau mengurangi keotentikkan iman kristiani. Nilai-nilai pokok iman yang diwariskan oleh para rasul tetap kita pegang, namun dihayati sesuai dengan situasi dan budaya di mana Gereja itu hidup. Sehingga iman jemaat itu sungguh hidup dan lebih mengena atau sesuai dengan kehidupan konkret masyarakat.
Dalam proses menafsirkan Kitab Suci secara otentik, Gereja secara khusus mempercayakan tugas ini pada Magisterium. Magisterium atas nama Yesus Kristus memiliki wewenang menafsirkan Kitab Suci dalam terang Roh Kudus. Oleh karena itu, ajaran Magisterium mempunyai sifat normatif bagi kehidupan orang kristiani. Magisterium berusaha menjaga keotentikkan Kitab Suci dan Tradisi. Sehingga dalam perkembangannya, mereka berusaha keras menjawab dan membela ajaran iman kritiani yang murni ketika berhadapan dengan ajaran-ajaran sesat atau bertentangan dengan ajaran iman Gereja.
Namun tidak dapat sangkal bahwa Magisterium juga merupakan anggota Gereja atau jemaat Allah. Dengan wewerang yang mereka miliki bukan berarti posisi mereka berada di atas sabda Allah. Sebagai jemaat, mereka juga harus menjadi pelaksana Sabda. Jadi Magisterium bukan hanya berperan sebagai penafsir Sabda yang berwenang, tetapi sekaligus menjadi murid yang setia. Mereka juga harus membuka hati untuk mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya.
Tradisi dan Alkitab tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang erat. Alkitab ditafsirkan dalam terang Tradisi. Dan Tradisi ditafsirkan bersumber pada Alkitab. Apa yang diungkapkan dalam Tradisi tidak boleh bertentangan dengan isi Alkitab. Keduanya saling mendukung dan melengkapi. Gereja memastikan segala sesuatu yang diwahyukan Allah bukan hanya melalui Kitab Suci, tetapi juga dalam kesatuannya dengan Tradisi. Keduanya diterima dan dihormati oleh Gereja karena sama-sama berasal dari Allah sendiri. Sehingga keduanya diyakini memuat sabda Allah yang dijamin keotentikkannya oleh Roh Kudus.
Dalam buku Teologi Sistematika 1, Dr. Nico Syukur Dister, OFM memaparkan Tradisi dan Kitab Suci Gereja dengan sistematis, sehingga mudah untuk dimengerti oleh para pembaca. Terlebih bagi umat Kristiani, buku ini kiranya menjadi pendasaran yang baik dalam berteologi. Kita ketahui bahwa Alkitab dan Tradisi Suci merupakan asas teologi Gereja. Dan dalam berteologi, umat dituntut juga untuk memiliki iman. Iman menjadi dasar dan sekaligus syarat orang berteologi. Di sini Teologi Fundamental memiliki peranan yang penting. Karena seluruh teologi mengandaikan Teologi Fundamental sebagai dasar penalarannya. Teologi Fundamental mempertanggungjawabkan kenyataan-kenyataan dasar teologi yakni wahyu ilahi dan penerusannya dalam Gereja, baik Tradisi maupun Kitab Suci. Dalam kehidupan bermasyarakat, jemaat berhadapan dengan situasi, budaya, agama yang beranekaragam. Menyikapi persoalan ini teologi Gereja juga harus kontekstual. Iman rasuli hendaknya menjadi iman yang hidup di dalam Gereja. Persoalan dan tuntutan dalam masyarakat hendaknya dianalisa dalam terang Kitab Suci dan Tradisi, sehingga mampu menjawab dan memberi pendasaran yang kokoh terhadap iman umat. Dengan pendasaran yang kokoh, umat dapat lebih terbuka dan mampu mempertanggungjawabkan imannya. Wahyu ilahi yang diwariskan para rasul berkembang dan hidup sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Tugas UTS Teologi Fundametal

Sosiologi 1

DINAMIKA HIDUP ROHANI PARA FRATER SEMINARI TINGGI CM LANGSEP
DALAM KORELASINYA DENGAN LATAR BELAKANG KELUARGA, HIDUP STUDI, DAN KEGIATAN PASTORAL
(TAHUN 2007/2008)


1. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk religius (homo religius). Religiusitas manusia tidak lepas dari iman dan agama sebagai manifestasinya. Dalam penghayatan imannya, manusia berusaha mengungkapkan penyerahan dirinya yang total kepada apa yang ia imani. Manusia berusaha untuk selalu bertekun dalam sikap dan praktik-praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hubungan antara manusia dengan apa yang diimaninya itu merupakan sebuah relasi personal yang menjadi dasar hidup imannya. Relasi personal inilah yang membuat manusia memberi perhatian lebih terhadap kehidupan rohaninya. Bentuk perhatian terhadap hidup rohani ini nampak dalam penghayatan hidup doa dan praktik-praktik agama lainnya.
Kongregasi Misi adalah Serikat Hidup Kerasulan Klerikal dan berada di bawah kewenangan Paus, sehingga para anggotanya melaksanakan tujuan kerasulannya yang khas, sesuai dengan warisan yang ditinggalkan oleh St. Vinsensius dan disahkan oleh Gereja.1 Dalam karya kerasulan, seorang vinsensian dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya sebaik mungkin, sehingga banyak jiwa-jiwa diselamatkan. Sebagai rohaniwan seorang vinsensian tidak hanya bergelut dengan berbagai kesibukan dalam karya pelayanannya. Namun seorang vinsensian juga dituntut untuk memiliki kematangan rohani. Sehingga dalam Kongregasi Misi, hidup rohani masuk menjadi salah satu bagian dari lima dimensi pembinaan calon imam.
Mengingat pembinaan hidup rohani merupakan salah satu bagian dari lima dimensi pembinaan calon imam Kongregasi Misi, maka mengetahui tingkat perkembangan hidup rohani para frater CM adalah hal yang penting. Sebagai calon imam yang sedang menjalani masa pembinaan di seminari tinggi, para frater diharapkan mampu mengasah diri menjadi insan Allah. Dalam PDV 45 ditegaskan bahwa pembinaan hidup rohani merupakan poros yang menyatukan dan menghidupkan kenyataan pribadi maupun kegiatannya sebagai imam. Karena itu tidak dapat disangkal bahwa ciri khas imam sebagai insan Allah harus dipupuk sejak dini, sehingga para frater benar-benar menampakkan citra hidup Yesus Kristus, Kepala dan Gembala Gereja (PDV 43).
Pendiri Kongregasi Misi, St. Vinsensius berkali-kali menekankan pentingnya hidup rohani bagi seorang imam maupun calon imam. Para frater hendaknya berusaha terus-menerus untuk menekuni pembinaan hidup rohani agar semakin dapat mengenakan Roh Kristus. Santo Vinsensius menekankan peranan Roh Kristus sebagai jiwa dan semangatnya dalam berkarya. Sehingga pada salah satu suratnya, ia mengatakan bahwa oleh karena Roh Kristus yang hidup di dalam dirinya, maka segala karyanya akan menjadi sama denga karya-Nya, yaitu akan menjadi karya Ilahi (SV XI, 343-344). Berkaitan dengan pentingnya hidup rohani tersebut, Santo Vinsensius juga memberikan teladan kepada para pengikutnya untuk bertekun dalam doa. “Berilah aku seorang pendoa maka Ia mampu melaksanakan segalanya” ( SV XI,83). Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa doa adalah sumber hidup rohani seorang misionaris, secara khusus dalam Kongregasi Misi.
Dimensi hidup rohani menjadi dimensi yang penting bagi seorang vinsensian. Karya kerasulan seorang vinsensian tidak boleh terlepas dari hidup rohani. Bila seorang vinsensian hanya mementingkan karya dan melupakan hidup rohaninya, ia tidak lebih dari seorang aktivis. Seorang aktivis yang banyak terlibat dalam kegiatan sosial kerap kali hanya mengandalkan kemampuannya sendiri dalam berkarya. Dan kebanyakan aktivis melakukan karya sosial hanya demi kemuliaan dirinya sendiri, bukan untuk kemuliaan Allah. Ini akan menjadi sesuatu yang sungguh memprihatinkan bila setiap anggota vinsensian jatuh dalam aktivisme. Oleh sebab itu, pengolahan hidup rohani sejak masa pembinaan hendaknya mendapat perhatian yang lebih. Seorang vinsensian juga tidak hanya bergelut dengan persoalan rohani saja, tetapi nantinya akan melaksanakan karya misi di mana pun ia berada. Pengolahan hidup rohani yang baik selama masa pembinaan akan menjadi kekayaan dan kekuatan seorang misionaris dalam karya kerasulannya kelak. Selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap karya merupakan ungkapan iman seeorang misionaris yang sadar akan keterbatasannya atau ketidaksempurnaannya. Segenap karya yang telah diusahakan atau dilakukannya tidaklah sempurna. Oleh sebab itu ia senantiasa harus menyerahkan semuanya pada penyelenggaraan Ilahi. Biarlah Tuhan yang menyempurnakan segenap usaha dan karya yang telah dilakukan.
Dalam penelitian ini, akan diteliti dinamika kehidupan rohani para frater CM yang bertempat tinggal di Seminari Tinggi CM unit De Paul, Langsep, Malang. Kehidupan rohani tersebut dilihat dalam korelasinya dengan latar belakang keluarga, hidup studi, dan kegiatan pastoral. Para frater yang berada di Seminari Tinggi CM unit De Paul ini memiliki latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang ini mengakibatkan adanya perbedaan cara berpikir dan bersikap. Perbedaan ini juga berpengaruh terhadap dinamika hidup rohani seorang frater. Kita tahu bahwa keluarga merupakan Gereja kecil. Sebagai Gereja kecil, keluarga berperan penting dalam membentuk dan menumbuhkan iman seorang anak. Pembinaan hidup rohani yang telah dimulai dalam Gereja kecil ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan iman anak selanjutnya. Selain melihat pengaruh latar belakang keluarga, kami juga akan melihat korelasi hidup studi dengan dinamika hidup rohani para frater. Sebagai calon imam, para frater CM juga harus mengembangkan dimensi intelektual. Karena itu, mereka harus memenuhi tuntutan studi di STFT. Banyaknya tugas dari STFT kerap kali menimbulkan ketegangan. Di satu pihak, para frater harus dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut secara maksimal, namun di lain pihak tuntutan untuk mengembangkan hidup rohani juga menyita banyak waktu dan perhatian yang khusus. Sama halnya dengan hidup studi, kegiatan pastoral seperti: pastoral lingkungan, mengajar di sekolah, dan berorganisasi juga menjadi bagian dari proses pembinaan para frater CM. Kegiatan pastoral ini juga menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran. Sehingga dalam usaha untuk mengembangkan dimensi hidup rohani seringkali muncul ketegangan. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi kami dalam penyusunan penelitian ini.

2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan guna melihat apakah ada korelasi antara dinamika hidup rohani dengan latar belakang keluarga, beban studi di STFT, dan kegiatan pastoral yang ada di Seminari Tinggi CM unit De Paul, Langsep, Malang. Penelitian ini secara tidak langsung dapat membantu para frater untuk melihat kembali hubungan antara hidup rohani dengan latar belakang keluarga, hidup studi, serta hidup berpastoral. Dengan mengetahui dinamika hidup rohani dalam korelasinya dengan latar belakang keluarga, hidup studi, dan kegiatan pastoral, diharapkan para frater dapat lebih dewasa dan bijaksana dalam usaha menyeimbangkan perkembangan hidup rohani dengan perkembangan dimensi pembinaan lainnya.

3. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, kami akan meneliti dinamika perkembangan hidup rohani para frater CM Langsep (tahun 2007/2008) dalam korelasinya dengan latar belakang keluarga, hidup studi, dan kegiatan pastoral. Untuk lebih jelasnya kami berikan beberapa rumusan masalah berikut ini:
Ø Bagaimana korelasi latar belakang keluarga dengan penghayatan hidup rohani.
Ø Bagaimana korelasi hidup studi dengan penghayatan hidup rohani.
Ø Bagaimana korelasi kegiatan pastoral dengan penghayatan hidup rohani.

4. Telaah Kepustakaan

Tujuan dan Sarana Pembinaan Hidup Rohani
Untuk melihat tujuan dan sarana yang terkandung dalam aspek pembinaan hidup rohani, kami menggunakan buku “Ratio Formationis Vinsentianae untuk Seminari Tinggi Kongregasi Misi” sebagai pedoman.

· Tujuan
20. Para frater hendaknya berusaha terus menerus untuk menekuni pembinaan rohani yang intinya ialah mengenakan Roh Kristus (RC I,3; C 1,1), agar dapat menghayati segala dimensi kehidupan mereka dalam Kristus itu (1 Kor 12:13; Gal 5:16-25; Rom 8:14). Menurut teladan Santo Vinsensius mereka hendaknya menimba pengalaman rohani melalui kontemplasi dan pelayanan bagi Kristus dalam pribadi orang-orang miskin (C Intr.).

· Sarana-sarana
21. Memeperdalam semangat Sakramen Baptis dan semakin meresapkan misteri wafat dan kebangkitan Tuhan. Untuk itu hendaknya para frater menghayati tahun liturgis dan terutama menghayati perjumpaan sakramental dengan Kristus.
a. Dengan keikutsertaan setiap hari dalam ekaristi yang merupakan pusat hidup komunitas yang berdasarkan iman, dan sekaligus merupakan kesempatan untuk merayakan peristiwa penyelamatan kita yang amat menggembirakan (RC X,3: C 45,1)
b. Dengan sering berusaha memperoleh pengampunan Tuhan melalui Sakramen Rekonsiliasi (C 45,2)

22. Dengan semangat iman mengikuti kegiatan-kegiatan rohani yang biasa dilakukan dalam Kongregasi kita, khususnya:
a. Doa yang seharusnya menjadi sikap hidup dalam diri kita, sehingga doa dan karya pastoral saling memperkaya. Untuk itu hendaknya para frater:
· Merayakan ibadat pagi dan ibadat sore bersama
· Melakukan meditasi bersama
· Melakukan doa-doa harian, baik bersama maupun secara pribadi
b. Pembacaan Sabda Tuhan terutama Perjanjian Baru, besarta usaha untuk meranungkannya, agar dengan demikian kita menjadi “pewarta Sabda Tuhan yang hampa, karena kita sendiri tidak mendengarkannya dengan hati” (RC X,8; C 85,3, DV 23).
c. Keikutsertaan di dalam saat-saat istimewa yang memungkinkan pengalaman rohani yang lebih mendalam, seperti retret, rekoleksi, dsb. (C 47,2).
d. Kebiasaan melakukan mawas diri bersama dalam suasana penuh iman. kebiasaan ini akan membantu untuk menemukan tangan Tuhan dalam kehidupan komnitas kita masing-masing, dalam kehidupan komunitas kita maupun dalam Gereja serta dalam sejarah bangsa-bangsa (C 44). Untuk membantu kebiasaan ini correctio fraterna akan sangat berguna.
e. Kepekaan terhadap pelajaran yang dapat kita terima dari orang miskin dan terhadap banyak unsur positif yang dapat kita temukan dalam ungkapan dan bentuk keagamaan rakyat (C 16).

23. Kristus yang telah menjelma untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin (RC X,2; C 1; 48,77) merupakan pelita dan kekuatan bagi panggilan vinsensian. Para frater hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk mengenal Kristus secara mendalam. Dengan demikian mereka dapat mencintaiNya secara pribadi dan mesra. Mereka dapat pula mencapai persekutuan yang semakin kokoh dengan Pribadi-Nya dan tentu saja dengan karya-Nya, yang intinya ialah pewartaan Kerajaan Allah kepada kaum miskin.
24. Membuka diri dengan sepenuh hati kepada misteri Tritunggal (RC X,2; c 20; 48). Itu dapat dilakukan dengan usaha melakukan kehendak Bapa (RC II,3; C 24,2), menyerahkan diri kepada Penyelenggaraan Ilahi (RC II,2; C 6), mengikuti Putera dalam ketaatan kepada Roh Kudus dan dalam kesediaannya untuk dibimbing olehNya.
25. Mencintai Gereja sebagaimana adanya (dalam keadaan nyata) dan menyediakan diri untuk melayaninya, dengan berusaha memperlancar perjalanan manusia menuju iman akan Allah penyelamat (C 2).
26. Bertumbuh dalam cinta dan penyerahan diri kepada Santa Perawan Maria, “Bunda Kristus dan Bunda Gereja yang menurut kata Santo Vinsensius, melebihi semua orang beriman yang lain dalam menangkap inti ajaran Injil secara tajam dan menunjukkan penghayatanya dalam hidup sehari-hari” (C 49,1; bdk. RC X,4).
27. Perhatian khusus untuk bimbingan rohani atau pendampingan pribadi, agarpara frater berhasil mengintegrasikan segala aspek kehidupan (RC X, 11; S 19; 50).
28. Kebulatan hati untuk mengabdikan seluruh hidup bagi pelayanan orang miskin dalam Serikat dan untuk mengikuti Kristus pewarta Kabar Gembira kepada kaum miskin dalam kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan itu, diteguhkan dan diperkokoh oleh pengikraran kaul. Dengan bantuan kelompok parapembina, para frater akan berusaha mengembangkan suatu spiritualitas kaul yang terarah kepada pelayanan pastoral sesuai dengan panggilan kita (SV XIII, 366).
29. Tahbisan suci merupakan salah satu puncak dari seluruh proses pembinaan. Maka setiap peristiwa tahbisan membutuhkan, sebagai persiapan langsung, waktu khusus untuk doa, refleksi dan renungan, untuk mengerti arti dari tiap-tiap tahbisan dan tugas panggilan yang terkandung di dalamnya.

4. Metode Penelitian
Ø Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara mendalam korelasi anatara dinamika hidup rohani dengan latar belakang keluarga, hidup studi, dan kegiatan pastoral yang ada di Seminari Tinggi CM unit De Paul, Langsep, Malang.
Ø Teknik pengumpulan data
Dalam proposal penelitian ini, kami menggunakan metode kuesioner, yang akan diperdalam melalui wawancara. Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah para frater CM (tahun 2007/2008) yang ada di seminari tinggi CM Langsep.


KUESIONER
Pilihlah jawaban pertanyaan berikut dengan melingkari.
( tanda *: boleh memilih jawaban lebih dari satu)

1. Ayah saya:
a). Katolik b). Kristen c). Hindu d). Islam e). ……
2. Ibu saya:
a). Katolik c). Kristen c). Hindu d). Islam e). ……
3. Kebiasaan doa dalam keluarga:
a). selalu b). sering c). jarang d). tidak ada
4. Keluarga ke gereja:
a). tiap minggu b). 2 minggu sekali c). 3 minggu sekali d). satu bulan sekali e). lain- lain…..
5. Kegiatan Gereja yang pernah diikuti: *
a). Sekolah Minggu b). Misdinar c). Rekat d). Mudika e). lain-lain….


6. Bentuk keterlibatan orang tua dalam hidup menggereja:*
a). doa lingkungan b). organisasi kepengurusan Gereja c). kelompok doa d). tidak ada e). lain-lain….


7. Sekarang saya semester:
a). semester 4 b). semester 6 c). semester 8
8. Jumlah SKS yang diambil:
a). 21 SKS b). 22 SKS c). 23 SKS d).24 SKS e). lain-lain….
9. Waktu untuk studi pribadi dan mengerjakan tugas dalam satu minggu:
a). 1 jam b). 2 jam c). 3 jam d). 4 jam e). lebih dari 4 jam
10. Hasil indeks prestasiku yang terahkir:
a). ≤ 1,49 b). 1,50-1,99 c). 2,00-2,49 d).2,50-2,99 e). ≥ 3,00
11. Saya belajar dan mengerjakan tugas hingga larut malam:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah

12. Pastoral yang sedang saya jalani:*
a). Pastoral lingkungan b).Pastoral sekolah c). Organisasi d). lain-lain….
13. Waktu untuk berpastoral:
a). 1x seminggu b). 2x seminggu c). 3x seminggu d).≥ 4x seminggu
14. Kegiatan Pastoral menyita waktu acara rohani:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah
15. Hingga saat ini, sudah berapa kali saya mengabaikan waktu pastoral untuk keperluan pribadi?
a). 1 kali b). 2 kali c). 3 kali d). > 3 kali e). tidak pernah

16. Saya berdoa pribadi:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah
17. Waktu yang saya gunakan untuk berdoa pribadi:
a). 5-10 menit b). 10-15 menit c). 15-30 menit d). >30 menit
18. Saya menikmati acara doa bersama yang ada di seminari:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah
19. Saya mengikuti perayaan Ekaristi yang ada di seminari dengan penuh penghayatan:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah
20. Saya membaca Kitab Suci:
a). selalu b). sering c). kadang-kadang d). tidak pernah
21. Saya menjalankan bimbingan rohani:
a). > 1x sebulan b). 1bulan sekali c). 2 bulan sekali d). 3 bulan sekali e).≥ 4bulan sekali
22. Saya menerima Sakramen Rekonsiliasi:
a). > 1x sebulan b). 1bulan sekali c). 2 bulan sekali d). 3 bulan sekali e).≥ 4bulan sekali


Pertanyaan wawancara

1. Bagaimana peran keluarga Anda dalam menanamkan iman kristiani?
2. Bagaimana Anda menyesuaikan waktu belajar dengan kegiatan-kegiatan lain yang ada di Seminari?
3. Apa arti penting hidup studi bagi Anda sebagai seorang calon imam?
4. Sejauh mana kegiatan pastoral yang Anda jalani dapat membantu perkembangan hidup rohani dan panggilan Anda?
5. Sejauh mana penghayatan kegiatan pastoral Anda selama ini?
6. Sebagai orang yang terpanggil, bagaimana relasi Anda dengan Tuhan selama ini?


Ø Sampel
Sampel yang kami ambil dalam penelitian ini ialah para frater CM (tahun 2007/2008) khususnya para frater CM tingkat II, III, dan IV. Karena dalam penelitian ini dibahas pula aspek hidup pastoral, maka kami mengambil para frater tingkat II, III, dan IV yang sedang menjalani kegiatan pastoral.

5. Hipotesa
Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, kami menyusun beberapa hipotesa.
· Tidak semua frater menyadari pentingnya hidup rohani bagi cita-cita atau tujuan bersama (Fungsional)
· Acara-acara rohani di seminari kurang diminati dan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dalam mendukung kegiatan pastoral dan hidup studi (Interaksi simbolis)
· Ada frater yang merasa terbebani saat mengikuti kegiatan-kegiatan rohani karena banyak tugas dari STFT yang belum diselesaikan (Konflik)
· Semakin baik hidup rohani, hasil studi semakin maksimal
· Semakin baik hidup rohani, semakin aktif dalam berpastoral
· Para frater yang berasal dari keluarga Katolik, perkembangan hidup rohaninya lebih baik
· Kegiatan pastoral yang padat, mengakibatkan para frater mengabaikan hidup doa





1 Konstitusi dan Statuta Kongregasi Misi., hlm. 2


Tugas UTS Sosiologi 1
Dosen: Antonius Sad Budianto, M.A

Filsafat Nusantara

SITUASI POLITIK EKONOMI INDONESIA
PADA MASA KEKUASAAN VOC, BELANDA, DAN INGGRIS


SITUASI KEPENDUDUKAN PADA AWAL KEKUASAAN BELANDA
Pada mulanya kedatangan Belanda ke Indonesia murni hanya untuk berdagang. Belanda sama sekali tidak berniat untuk menjajah. Mereka mendirikan dan menjadikan Batavia sebagai tempat di mana kekuatan mereka dapat berkumpul. Batavia menjadi pusat perdagangan kerena letaknya yang sangat strategis. Sebagai pusat perdagangan, maka banyak penduduk yang datang dan menetap di daerah itu antara lain Cina, Bugis, Madura dan Jawa. Belanda takut dengan pengelompokan orang pribumi. Karena jika mereka bersatu, maka jumlahnya akan sangat besar. Belanda memanfaatkan orang Tionghoa sebagai perantara untuk masuk kepada orang pribumi. Sebenarnya tujuan utama kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia hanya untuk mencari uang. Mereka mencari penghidupan yang layak, karena di Tiongkok terjadi peperangan. Belanda memberikan kepercayaan kepada mereka, karena ketekunan dan keuletan mereka dalam bekerja. Sehigga perekonomian banyak dikuasai oleh orang Tionghoa. Hal ini tentunya menimbulkan terjadinya pengelompokan dalam masyarakat.
Situasi kependudukan pada jaman Belanda memang penuh dengan pengelompokan dan pemisahan antara suku-suku. Pemecahan suku-suku ini merupakan cara yang dilakukan Belanda agar tidak terjadi pemberontakan. Kelompok-kelompok itu disebut sebagai “Oostersche Natien” atau bangsa-bangsa timur. Tanpa disengaja, Belanda percaya bahwa persatuan suku-suku sudah dapat disebut sebagai bangsa. Orang-orang yang dulunya disebut inlanders sekarang disebut sebagai bangsa-bangsa Timur. Fakta sejarah ini sangat menarik bahwa kesatuan suku-suku dapat membentuk bangsa. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Belanda, sehingga mereka membatasi kebebasan berpihak.

PERLAWANAN RAKYAT PRIBUMI
Dalam perjuangan melawan Belanda yang menarik adalah bahwa perlawanan timbul karena tak satu pun yang mau sumber-sumber penghidupannya dikuasai orang lain. Dalam perang suku sudah ada inisiatif untuk melibatkan suku-sukunya untuk melawan Belanda. Ini merupakan salah satu fakta sejarah bahwa ada persatuan untuk melawan Belanda. Hal ini merupakan isyarat bahwa munculnya semangat persatuan yang terjadi sekarang ini sudah punya bibit dalam sejarah. Dalam sejarah, keagamaan juga sudah mulai muncul sebagai penggerak suku-suku untuk melawan Belanda. Seruan keagamaan yang bercorak demikian adalah seruan untuk melawan orang kafir. Dan orang kafir adalah non-Muslim atau orang yang tidak menganut agama Islam. Seruan untuk melawan orang kafir ini menjadi daya gerak yang hebat. Karena bagi mereka, orang Islam akan masuk surga bila mati karena melawan atau membunuh orang kafir.

POLITIK EKONOMI DI INDONESIA

Masa kekuasaan VOC
Salah satu sistem penjajahan VOC adalah memaksa agar petani berjuang lebih keras dan hasilnya dijual ke VOC. Hal ini menyebabkan perekonomian di pedasaan semakin tertutup, karena hasil pertanian mereka bukan untuk diperdagangkan, tetapi disetorkan ke VOC. Mereka mengambil hasil pertanian rakyat secara tidak langsung. Belanda menjadikan bupati sebagai alat untuk memerintah dan menggerakkan rakyat. Hal ini menyebabkan tumbuh suburnya sistem feodal yang membuat ketergantungan antara bupati dengan rakyatnya. Bila sistem ini makin kuat, maka rakyat tidak akan bekerja tanpa perintah bupati dan inilah yang menyebabkan tingginya korupsi bagi para bupati. Rakyat semakin tertindas bukan hanya karena dijajah oleh bangsa asing, tetapi juga dijajah oleh bangsa sendiri.

Masa setelah VOC
Setelah VOC dikuasai Belanda maka Indonesia pun ada dalam kuasa Belanda. Jadi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Belanda berpengaruh pada Indonesia. Pada waktu itu di negeri Belanda politik bersifat liberalisme. Sehingga dalam penerapannya, Belanda memberi kebebasan kepada rakyat untuk berkreasi atas daerahnya. Kepemilikan tanah diberikan kepada rakyat. Rakyat bebas mengolah dan menanam daerah pertaniannya. Tapi sistem liberalisme secara praktis gagal dilaksanakan, karena sistem feodal yang telah mendaging dalam diri rakyat Indonesia. Darah feodal menyebabkan mereka tidak mau mengikuti kebijakan Belanda (dandles). Rakyat tidak mau bergerak tanpa ada peritah dari bupati. Mereka selalu menyetor melalui bupati.

Masa kekuasaan Inggris
Setelah armada Belanda dikalahkan oleh armada Inggris, Indonesia pun berada dibawah pimpinan inggris. Meskipun Inggris berkuasa hanya beberapa waktu saja, namun kebijakan yang mereka terapkan menunjukkan sistem perekonomian yang lebih baik. Mereka tetap memberi kebebasan kepada rakyat untuk mengolah pertanian serta hasilnya. Mereka menghapus sistem kerja paksa. Namun cara kerja Inggris dengan memberi hak bebas kepada rakyat tidak berjalan dengan lancar, karena terkendala oleh sulitnya sumber daya manusia. Sistem liberal yang ditawarkan atau ditanamkan Inggris ternyata juga gagal karena sistem feudal yang telah membudaya dalam diri rakyat Indonesia.

SISTEM TANAM PAKSA
Merosotnya perekonomian di negeri Belanda pada tahun 1830 menyebabkan berlakunya Sistem Tanam Paksa (STP) di Indonesia. Sistem ini diberlakukan untuk memulihkan kembali perekonomian Belanda. Menurut sistem ini, pungutan dari rakyat bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk tanaman ekspor. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan rakyat. Rakyat tidak lagi menanam tanaman atau kebutuhan pokok sendiri tetapi mereka dipaksa untuk menanam tanaman asing atau tanaman yang menjadi kebutuhan ekspor seperti tebu, rempah-rempah, dan lain-lain. Pemerintah Belanda pun mengambil kebijakan soal daerah pertanian. Sehingga terjadi pengalihan tanah oleh pemerintah Belanda. Setiap lahan yang berada di dekat pabrik langsung diambil menjadi tanah pemerintah. Sedangkan rakyat pemilik tanah dipindahkan ke daerah yang jauh. Akibatnya sawah-sawah rakyat yang terbengkalai, banyak orang mengalami kelaparan. Pengalihan tanah rakyat ini dilakukan oleh pemerintah Belanda semata-mata untuk kepentingan mereka, yakni memperluas dan meningkatkan hasil produksi yang besar. Sistem STP Belanda ini juga memiliki unsur positif, yakni Indonesia mampu mengisi kas Belanda dan berdirinya pabrik-pabrik yang memberi kesempatan rakyat untuk bekerja dan mendapat uang upahan. Perekonomian di desa mulai terbuka. Namun karena budaya feodal yang menjadi bawaan Indonesia, perekonomian rakyat tetap tidak menunjukan perkembangannya. Meskipun intensif STP tetap agraris dan memakai cara kerja trasional, tetapi sistem produksi tetap tidak menimbulkan wiraswasta.
Akhir abad ke 19, pengaruh asing mulai masuk ke Indonesia. Muncul investasi swasta dan pabrik pengolahan barang ekspor. Barang-barang produk industri mulai masuk dan mempengaruhi kehidupan rakyat. Namun pada saat itu, rakyat kecil masih mengangan-angankan kembalinya zaman keemasan Islam atau tentang munculnya Sang Ratu Adil. Angan-angan ini membuat mereka menganggap pengaruh asing sebagai sesuatu yang mengancam dan menggelisahkan hidup mereka. Akhirnya timbul sentimen agama langsung melawan orang kafir yang mengobarkan semangat rakyat untuk melakukan pemberontahan dan perlawanan terhadap Belanda.
Tugas Ringkasan Filsafat Nusantara
Dosen: Dr. Stanislaus Reksosusilo, CM