God Spy

Jumat, 27 Februari 2009

Filsafat 1

ILUMINASI AGUSTINUS DAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI

1. Pendahuluan
Santo Agustinus adalah seorang tokoh kristiani yang besar di bidang teologi dan filsafat. Pemikirannya berpengaruh besar terhadap perkembangan iman kristen. Bahkan dikatakan bahwa pemikiran Agustinus telah merangkum pemikiran para ahli pikir Kristen sebelum dan sesudah dia. Ia disebut guru skolastik yang sejati karena berhasil membentuk “filsafat kristen” yang besar pengaruhnya pada abad pertengahan.1
Sebagai seorang Kristiani, Agustinus berusaha mengembangkan iman kepercayaan Kristianinya. Berhadapan dengan budaya Hellenis yang berkembang saat itu, pemikiran Agustinus tidak lepas dari pengaruh filsafat Yunani. Agustinus banyak menggunakan unsur-unsur filsafat ini dalam menjelas iman Kristen. Unsur filsafat ini membuat iman lebih mudah dimengerti dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam gereja katolik, pemikiran Agustinus turut mempengaruhi perkembangan hidup gereja selanjutnya. Pemikirannya banyak dipakai dalam usaha menjelaskan dan mendalami iman kristiani. Salah satu pemikiran Agustinus yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ajaran tentang iluminasi. Munculnya ajaran iluminasi di satu pihak merupakan suatu usaha Agustinus untuk menentang ajaran skeptisisme. Namun bila kita melihat lebih jauh, gagasan iluminasi juga merupakan usaha Agustinus untuk tetap mempertahanan iman kristiani. Karena ajaran skeptisisme bukan hanya membuat manusia meragukan kebenaran akal budinya, tetapi juga meragukan kebenaran ilahi dan eksistensi Allah sendiri. Gagasan iluminasi ini kemudian berkembang dalam hidup Kristiani.

2. Paham Skeptisisme
Lahirnya ajaran tentang iluminasi dilatarbelakangi oleh penolakan Agustinus terhadap Skeptisisme. Ajaran ini meragukan kemampuan akal budi manusia. Manusia tidak dapat sampai pada suatu pengetahuan yang benar. Akal budi manusia tidak mampu meyimpulkan sesuatu. Manusia tidak dapat mengetahui segala sesuatu atau realitas yang ada. Paham skeptisisme memosisikan manusia dalam keraguan tentang sesuatu. Keraguan ini membuat orang menangguhkan keputusannya karena tidak memiliki bukti-bukti yang akurat dan meyakinkan. Akhirnya skeptisisme ini dapat membawa orang pada ketidakpercayaan total. Dalam hal ini manusia meragukan kepastian akan segala sesuatu.

3. Penolakan Agustinus
Agustinus tidak menerima ajaran skeptisisme. Agustinus memiliki keyakinan bahwa di tengah keraguan atau kesangsian ada sesuatu yang pasti. Sehingga bagi Agustinus, kaum skeptisisme tidak konsisten dengan ajarannya. Kaum skeptis meragukan bahwa adanya kebenaran adalah salah. Namun keraguan kaum skeptis mengandaikan bahwa manusia sedang dan telah memikirkannya. Berpikir menunjukan adalah ia ada. Ia sedang berada di alam pikiran manusia.
Jika manusia meragukan segala sesuatu, maka secara otomatis keraguan tersebut telah menunjukkan adanya suatu kepastian dalam dirinya, yakni kepastian bahwa dia sedang meragukan segala sesuatu. Keraguan ini tidak dapat dibantah atau disangsikan lagi. Jadi kalau saya meragukan sesuatu, maka yang pasti ada saya sedang ragu dan seterusnya: “Jadi, kalau aku keliru, aku ada” (Si enim fallor, sum).2
Sebuah keraguan tentunya berkaitan langsung dengan adanya suatu pengetahuan yang benar. Jika tidak ada pengetahuan yang benar, maka tidak mungkin ada keraguan dan orang tidak mungkin memikirkannya. Oleh sebab itu, secara langsung dapat dinyatakan bahwa pikiran manusia dapat mencapai suatu pengetahuan yang benar dan pasti. Keraguan manusia terhadap suatu pengetahuan menunjukkan bahwa proses berpikir memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini bukanlah cerminan ketidakmampuan manusia untuk sampai pada kebenaran sejati. Sebaliknya, keterbatasan ini menunjukkan bahwa pikiran manusia dapat menganalisis dan mempertimbangkan suatu pengetahuan. Dengan analisis dan pertimbangan yang ada, manusia akhirnya dapat sampai pada suatu pengetahuan yang mengatasi pikirannya, yang tak berubah, dan bersifat abadi. Dengan demikian adanya Allah ditemukan dengan penganalisaan pikiran manusia.3 Keyakinan akan kebenaran ini membuat Agustinus menggagaskan suatu ajaran tentang iluminasi.

4. Pembahasan Ajaran Iluminasi Agustinus
Secara etimologis, iluminasi berasal dari Latin Iluminare yang berarti menerangi.4 Pengertian ini mengacu pada sesuatu yang memiliki sifat menerangi, yakni cahaya. Dalam sejarah filsafat, kata “cahaya” kerap dipakai untuk menggambarkan suatu kebenaran dan juga merupakan representasi dari pribadi Allah, Sang Kebenaran yang sejati.
Dalam ajaran iluminasi, Agustinus menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya bersumber pada Allah. Allah menjadi terang bagi akal budi, batin atau jiwa manusia. Manusia tidak akan mencapai suatu pengetahuan yang benar tanpa terang dari Allah. Iluminasi Agustinus ini dianggap sebagai pengaruh ilahi yang akan menghasilkan pengetahuan yang benar dan pasti pada manusia.
Di lain pihak Santo Agustinus juga melihat bahwa benih pengetahuan yang benar sudah ada dalam diri manusia. Sehingga untuk sampai pada pengetahuan yang benar, manusia harus kembali ke dalam dirinya. Manusia masuk ke dalam batin atau hatinya. Proses ini akhirnya sampai pada Tuhan yang menjadi dasar segala kebenaran itu sendiri. Gagasan ini menunjukkan bahwa akal budi manusia dapat mengadakan hubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi untuk mencapai kebenaran serta kepastian yang sempurna.5
Agustinus menggambarkan atau menganalogikan proses iluminasi dengan dunia pendidikan. Ia meyakinkan bahwa dalam manusia ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan ini menjadi penentu dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses mengajar, tugas guru hanya membuka atau menghidupkan dasar pengetahuan dengan penjelasan-penjelasan. Gambaran proses iluminasi ini juga dapat kita bandingkan dengan akibat yang dihasilkan sinar matahari pada penglihatan manusia. Mata adalah akal budi manusia yang menjadi tempat benih-benih kebenaran. Benda-benda yang disinari oleh cahaya matahari adalah objek-objek pengetahuan manusia. Benda-benda tidak akan terlihat oleh mata manusia, tanpa sinar dari matahari. Matahari yang menjadi sumber dari sinar adalah Allah sendiri. Dialah sumber pengetahuan manusia.6

4. Credo, ut Intelligam
Gagasan iluminasi Agustinus memiliki sifat ilahi atau adikodrati. Iluminasi dianggap sebagai terang rohani menyempurnakan pengetahuan rohani manusia atau suatu pengetahuan yang benar dan pasti. Dalam iluminasi kekuatan akal budi manusia berperan penting. Karena akal budi menjadi tempat naungan benih-benih kebenaran.
Gagasan iluminasi Agustinus ini dikembangkan dan dipakai Anselmus untuk melihat korelasi antara iman dan pengetahuan. Dia merumuskan hubungan iman dan pengetahuan demikian: Credo, ut intelligam (saya percaya agar mencapai pengertian).7 Ungkapan ini menunjukkan bahwa peran iman sangat penting dan harus ada dalam diri manusia. Manusia harus lebih dahulu percaya agar akal budinya memiliki kemampuan untuk menyelami atau menyelidiki kebenaran-keberan imannya. Iman menjadi daya pendorong akal budi untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh dan lebih mendalam. Iman dan akal budi diyakini berasal dari Allah. Iman diberikan dengan wahyu, sedangkan akal budi dengan penerangan Allah. Iman yang mendalam akan memberi pandangan yang mendalam pula kepada akal budi tentang segala sesuatu baik tentang Allah, manusia, maupun dunia.8

5. Tanggapan Kritis
Ajaran Agustinus tentang iluminasi muncul atas penolakannya terhadap aliran skeptisisme. Penolakan aliran skeptisisme merupakan suatu pembelaan Agustinus terhadap iman Kristiani. Keraguan akan suatu pengetahuan yang benar dalam skeptisisme merupakan konsep yang bertentangan dengan hidup iman. Ajaran ini tidak akan membawa orang pada Allah, sebaliknya membawa manusia pada lubang keraguan yang dalam. Manusia tidak lagi melihat Kebenaran Sejati, yakni Allah karena matanya dihalangi oleh kegelapan lubang itu. Untuk dapat melihat dan menemukan suatu kebenaran dibutuhkan suatu cahaya yang dapat membuka mata manusia. Cahaya itu akan membuka mata manusia akan suatu kepastian atau kebenaran dan membawa manusia kepada Allah. Karena Allah adalah sumber dari cahaya itu.
Pemikiran Agustinus bersifat adi-kodrati. Pengetahuan yang benar hanya dilihat dari sudut Allah. Gagasan iluminasi Agustinus ini dipengaruhi oleh konsep Plato tentang dunia ide. Adanya ide tentang sesuatu tidak diperoleh dari pengalaman indera manusia, karena pengalaman pengalaman indera sendiri sudah menunjukkan ide-ide tersebut.9 Ide tentang sesuatu ini menjadi penentu “adanya” sesuatu itu. Dan ide-ide tersebut hanya diperoleh dari Tuhan.
Epistemologi Agustinus yang bersifat iluminisme ini dapat dibenarkan dalam rangka pengetahuan iman. Namun dalam konteks pengetahuan pada umumnya, epistemologi ini kurang lengkap. Proses mengenal mengandaikan ada keseimbangan atau kerjasama antara pengetahuan intelektif dan pengetahuan sensitif. Dalam proses mengenal, suatu objek diawali oleh pengalaman sensitif. Kemudian pengetahuan intelectus mempertimbangkan objek material tersebut sehingga sampai menemukan essensi objek tersebut. Jadi, ada sebuah dinamika dalam sebuah pengenalan.10 Pengetahuan itu tidak semata-mata diperoleh langsung dari Allah. Ada pertimbangan atau refleksi aktif dari rasio manusia dalam mengenal, meskipun tidak dapat disangkal bahwa sumber terakhir dari pengetahuan yang benar berasal dari Tuhan.11

6. Relevansi
Dalam kehidupan umat beriman, gagasan Agustinus tentang iluminasi masih sangat relevan. Proses iluminasi merupakan proses yang harus ada dalam umat untuk sampai pada Allah. Kita dapat melihat konsep iluminasi dalam proses iman manusia hingga sampai pada Allah. Pertama, akal budi manusia hanya dapat melihat tanda-tanda dan bentuk lahiriah dari wahyu Allah. Kemudian karena manusia diterangi oleh rahmat Allah, manusia dapat melihat lebih dalam dari sekedar bentuk lahiriah. Manusia dapat menemukan kebenaran iman kristianinya dengan rahmat Allah. Kebenaran inilah yang mendorong manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Allah secara bebas.
Ajaran Agustinus tentang iluminasi memiliki dua gagasan penting yang perlu diperhatikan dalam kehidupan umat beriman, yakni:
Dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran. Manusia harus melihat ke dalam hati atau jiwanya.
Bibit kebenaran yang dalam setiap hati manusia itu menandakan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia. Manusia adalah makhluk yang secitra dengan Allah. Kebenaran itu merupakan gambaran diri Allah atau pantulan Allah sendiri.12 Karena dalam diri manusia ada benih kebenaran, maka manusia menampilkan gambaran Allah itu sendiri.
Gagasan di atas juga menyakinkan umat beriman akan kehadiran Allah dalam hati manusia. Bagi umat beriman, keyakinan ini mengandaikan bahwa hati manusia menjadi tempat naungan Allah. Allah hadir dalam setiap hati manusia. Kesadaran akan hal ini, umat beriman diajak untuk melihat dirinya. Umat beriman diajak untuk masuk ke dalam hati atau jiwanya. Masuk ke dalam hati bukan hanya berarti bahwa manusia mengenal dirinya, tetapi manusia juga terbuka akan suara hatinya. Sebab dalam diri atau jiwanya, ia menemukan terang yang akan menuntun orang kepada Allah.
Kebenaran Allah yang dalam diri atau hati manusia tidak akan pernah dicapai jika manusia tidak berusaha menciptakan keheningan dalam diri. Untuk masuk ke dalam hati, manusia harus memiliki suasana batin yang baik. Suasana ini memungkinkan manusia untuk lebih terbuka dan dapat masuk ke dalam hatiya. Karena dengan keheningan dan ketenangan jiwa, manusia semakin peka terhadap suara Tuhan yang menggema di dalam hatinya.
Manusia tidak akan pernah sampai pada kebenaran tanpa mendapat terang khusus dari Allah sendiri.
Benih kebenaran yang ada dalam hati manusia perlu diterangi oleh cahaya ilahi. Kebenaran-kebenaran dalam diri manusia merupakan gambaran Allah sendiri. Benih kebenaran itulah yang menunjukkan bahwa manusia adalah citra Allah. Bila manusia secitra dengan Allah, maka dalam diri manusia tentunya terdapat nilai-nilai luhur yang berasal dari Allah. Nilai-nilai luhur yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya dan disempurnakan di dalam oleh-Nya. Allah adalah Sang Kebenaran yang sempurna, maka benih-benih kebenaran yang ada dalam jiwa manusia akan mendapat kesempurnaannya dalam Allah sendiri.
Dalam kehidupan umat beriman, manusia hendaknya selalu memohonkan terang Ilahi agar dapat mengerti imannya dengan baik. Terang dari Allah ini juga memungkinkan manusia untuk dapat mengerti Sabda Allah dengan benar. Di sini kita dapat melihat bahwa iman bukan hanya sebatas usaha manusia, tetapi merupakan rahmat dari pihak Allah.
Bibit kebenaran yang ada dalam hati manusia tidak akan pernah nampak, tanpa penerangan dari Allah. Gagasan ini juga mau mengungkapkan bahwa kesempurnaan itu hanya terdapat pada Allah. Manusia dengan usaha dan kemampuan yang dimiliki akan mendapat kesempurnaannya dengan rahmat dari Allah. Oleh sebab itu, manusia harus menyadari keterbatasannya. Meskipun ada bibit kebenaran dalam diri manusia, namun kebenaran sejati hanya berasal dari Allah. Hanya Allah saja yang dapat menyempurnakan semuanya. Karena Dia adalah Kebenaran Sejati itu sendiri.

7. Penutup
Gagasan iluminasi Agustinus menyadarkan manusia akan peran sentral Allah pada pengetahuannya. Hanya dengan terang dari Allah, manusia dapat sampai pada kebenaran sejati. Di samping itu, gagasan tentang iluminasi juga mengangkat martabat manusia. Manusia memiliki nilai ilahi di dalam dirinya. Benih-benih kebenaran Allah ada dalam jiwa manusia. Sehingga melalui penerangan dari Allah, benih-benih kebenaran itu dapat tampak jelas.
Proses iluminasi merupakan proses yang harus dialami di dalam hidup beriman. Dengan akal budi manusia semakin kritis dan mulai mempertanyakan iman yang dihayatinya. Dengan akal budi itu manusia juga berusaha menjawab persoalan-persoalan imannya. Di sini, akal budi berperan penting dalam usaha memahami dan mendalami hidup iman kristiani. Namun, manusia tidak hanya mengandalkan kemampuan akal budinya untuk sampai pada kebenaran iman Kristiani. Karena kemampuan akal budi manusia terbatas. Manusia membutuhkan rahmat Allah untuk menerangi akal budinya sehingga dapat melihat lebih dalam kebenaran iman kristiani.





























DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanusius, 1980.
Isdaryanto, Y. B., Diktat Kuliah Epistemologi, 2008.
Tjahjadi, Simon Petrus, L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Verhaak, C., “Agustinus: Kebenaran dalam Penerangan Ilahi” dalam Sutrisno, Mudji, FX. dan Hardiman, Budi, F. (eds.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 27-35.





1 Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1980), hlm. 79.
2 Simon Petrus L. Tjahjadi, Pertualangan Intelektual, (Jakarta: Kanisius, 2004), hlm. 112.
3 Harun Hadiwijono, Op. Cit., hlm. 80.
4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 313.
5 Harun Hadiwijono, Op. Cit., hlm. 94.
6 Simon Petrus L. Tjahjadi, Op. Cit., hlm. 113.
7 Harun Hadiwijono, Loc. Cit.

8 Ibid.
9 Simon Petrus L. Tjahjadi, Loc. Cit.
10 Y.B. Isdaryanto, Diktat Kuliah Epistemologi, hlm. 29.
11 Ibid.
12 C. Verhaak, “Agustinus: Kebenaran dalam Penerangan Ilahi” dalam FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (eds.), Para Penentu Gerak Zaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar