Kajian Sosiologis terhadap Nilai-nilai Permainan Tradisional dalam Kaitannya dengan Proses Sosialisasi Anak-anak dalam Masyarakat
1. Pendahuluan
Dewasa ini permainan tradisional semakin dipandang sebelah mata. Dengan kata lain tak banyak lagi kalangan yang meminati permainan yang bercorak sederhana serta didukung oleh sarana-sarana konvensional ini. Seiring dinamika perkembangan zaman, permainan tradisional seakan tergerus keberadaannya. Banyak anak yang hidup di era modern merasa kurang “asyik”, kurang antusias, kurang puas dengan permainan tradisional. Dan bahkan, bisa jadi ada yang beranggapan bahwa permainan tradisional adalah “barang kuno” yang sudah selayaknya disingkirkan. Anak muda sekarang mungkin lebih senang mengekspresikan ke-modern-annya demikian, “hari gini kok masih bentengan, kuno!”. Dengan menyimak realitas yang demikian, kita patut bertanya, mengapa pemainan tradisional jarang diminati lagi? Mengapa banyak kalangan, terutama yang muda lebih enjoy dengan permainan-permainan produksi era modern?
Permainan modern biasanya merupakan permainan berteknologi canggih yang cenderung mengarah kepada kepuasan individual. Sehingga bentuk permainannya pun kebanyakan dimainkan secara individual. Permainan modern tidak menuntut adanya ruang atau lapangan bermain yang luas dan juga tidak menuntut kehadiran teman bermain. Orang tidak perlu bersusah payah mencari teman atau tempat untuk bermain. Dengan adanya komputer, orang dapat menghabiskan waktu seharian untuk bermain game di dalam kamarnya. Permainan modern ini dapat dinikmati dan dilakukan sendiri, tanpa mengharuskan kehadiran orang lain sebagai teman bermain. Terkadang kehadiran orang lain justru dianggap mengganggu keasyikan bermain. Maka, tak dapat disangkal bahwa permainan-permainan modern memiliki dampak negatif karena akan menjerumuskan anak-anak ke dalam sikap egosentris. Anak-anak menjadi semakin enjoy dengan “dunianya” sendiri karena sikap egosentris yang berlebihan. Dengan ini jelas bahwa relasi anak-anak dengan sesamanya terabaikan. Anak-anak akhirnya tidak mampu bersosialisasi dengan baik dan wajar dalam masyarakat
Lain halnya dengan permainan tradisional yang sama sekali tidak menggunakan kecanggihan teknologi, umumnya dilakukan berkelompok. Karena itu permainan ini membutuhkan ruang atau lapangan bermain yang luas. Dan yang lebih penting lagi ialah kehadiran teman-teman bermain yang menjadi syarat utama bagi kelangsungan suatu permainan. Dengan kata lain, secara umum permainan tradisional memiliki karakter interaktif yang berpotensi membentuk pola relasi antar individu dalam hal ini anak-anak sendiri.
Permainan-permainan tradisional tentunya menyimpan kekayaan nilai dan keunikan tersendiri.. Kita ketahui bahwa permainan tradisional memiliki nilai-nilai positif yang tentunya berguna baik bagi perkembangan hidup pribadi maupun hidup sosial individu. Permainan tradisional juga menjadi identitas suatu daerah yang menunjukkan eksistensi dan keunikan budaya setempat. Seharusnya permainan tradisional ini dikembangan atau diwariskan turun-temurun. Namun ironisnya permainan tradisional ini justru semakin memudar bahkan hilang dari realitas kehidupan masyarakat dewasa ini.
2. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, batasan masalah yang kami ambil terarah pada kaitan antara nilai-nilai permainan tradisional dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat. Tinjauan yang digunakan dalam pembahasan ini terbatas dan berfokus pada proses sosialisasi terlebih dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur sosialisasi yang kami ambil adalah nilai dan norma sosial, komunikasi, dan identitas diri.
Melihat tema permainan tradisional terlalu luas, maka dalam pembahasan ini kami membatasinya dengan mengambil beberapa contoh permainan tradisional. Permainan-permainan itu adalah Engklek dan Betengan. Dari permainan-permainan tersebut akan dilihat kaitan antara nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat serta tetap berpedoman pada unsur-unsur sosialisasi di atas.
Analisa dalam pembahasan ini akan kami lihat berdasarkan paradigma interaksi simbolis. Pertanyaan yang muncul dalam analisa ini adalah bagaimana sosialisasi dilakukan dalam permainan tersebut.
3. Metode Pembahasan
Pembahasan tema ini ditulis dengan menggunakan studi kepustakaan. Gagasan-gagasan yang akan diuraikan dalam pembahasan tema ini diambil dari beberapa sumber bacaan. Dalam studi kepustakaan ini kami mengambil beberapa hal yang berkaitan dengan permainan tradisional dan sosialisasi. Pembahasan mengenai permainan tradisional akan kami kaji secara mendalam dari sudut pandang sosiologis, terlebih dalam kaitannya dengan proses sosialisasi. Pemaparan tema ini bertujuan untuk menunjukkan apa itu permainan tradisional, bagaimana permainan tradisional tersebut dilakukan, nilai-nilai apa saja yang ada di dalam permainan-permainan tersebut, serta kaitannya dengan proses sosialisasi anak-anak dalam masyarakat.
4. Fenomena Permainan Tradisional
Dalam Jawa Pos, Minggu 26 Oktober 2008, dimuat artikel mengenai permainan tradisional. Dalam artikel tersebut ditampilkan disposisi permainan tradisional di jaman modern. Dikatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI), menggusur permainam tradisional. Anak-anak sekarang lebih banyak permainan berbasis TI. Permainan tradisional pun kini sudah ditinggalkan. Bahkan, anak-anak banyak yang tidak tahu beragam permainan tradisional yang dulu diwariskan turun- temurun.[1]
Tak dapat dipungkiri, bahwa fenomena semacam ini benar-benar terjadi dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Di era modern saat ini, kita semakin jarang menemukan anak-anak yang memainkan permainan-permainan tradisional, terlebih di kota-kota besar. Keterpurukan disposisi permainan tradisional menimbulkan pertanyaan mendasar, yakni Faktor apa saja sebenarnya yang menyebabkan hilangnya permainan tradisional dari peredarannya?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya permainan tradisional, pertama sarana dan tempat bermain tidak ada. Kedua adanya penyempitan waktu, terlebih lagi semakin kompleksnya tuntutan zaman terhadap anak yang semakin membebani. Ketiga terdesak oleh permainan modern dari luar negeri di mana tidak memakan tempat, tak terkendala waktu baik siang hari, pagi, sore, atau pun malam bisa dilakukan serta tidak perlu menunggu orang lain untuk bermain. Faktor lain yang tak kalah penting adalah akibat terputusnya pewarisan budaya dari generasi sebelumnya di mana mereka tidak sempat mencatat, mendata, dan mensosialisasikan sebagai produk budaya masyarakatnya kepada generasi di bawahnya.[2]
Kemajuan teknologi merupakan salah satu sebab tergerusnya permainan tradisional. Tak dapat disangkal, ada sekian banyak produk permainan canggih yang menggiurkan anak-anak di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Anak-anak cenderung memilih permainan yang instan, mudah diakses di mana dan kapan pun, dan yang lebih penting lagi permainan tersebut “berkelas” bagi mereka karena kalau tidak demikian, mereka takut dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Sangat disayangkan bahwasanya permainan tradisional yang sarat nilai edukatif tersebut semakin jarang kita temukan di Nusantara terutama belantara kota. Semua permainan yang bercorak tradisional terlindas keberadaannya oleh permainan modern yang dari waktu ke waktu kualitas, kuantitas, dan kecanggihannya semakin memuncak.
5. Nilai-nilai Permainan Tradisional
Permainan tradisional menekankan aspek kebersamaan. Aspek kebersamaan tentu menanamkan nilai-nilai yang dapat membangun baik hidup personal maupun komunal. Di sini tiap individu tidak lagi hanya memperhatikan hidup personalnya, tetapi juga mulai melibatkan diri dalam kehidupan sosial. Dalam proses ini terjadi interaksi antara tuntutan hidup pribadi dengan tuntutan hidup sosial. J. Darminta, SJ dalam Praksis Pendidikan Nilai mengungkapkan bahwa orang tidak hanya dituntut untuk memperhatikan nilai hidup dan diri, tetapi juga harus memperhatikan nilai dan hidup dalam aspek kebersamaan sehingga hidup itu tetap dijunjung sebagai yang bernilai tinggi.[3] Secara personal, aspek kebersamaan ini secara langsung membangun tiap individu untuk mulai mengenali atau menemukan tempat dan peranan dalam kehidupan sosial atau dalam tatanan hidup bersama.
Untuk dapat lebih memahami nilai-nilai positif permainan tradisional, berikut akan kami paparkan dalam contoh permainan Engklek dan Betengan.
a. Engklek
Engklek berasal dari bahasa jawa, artinya melompat dengan satu kaki. Permainan ini dilakukan bersama-sama. Permainan ini diawali dengan melempar gacu (kepingan geting) ke dalam kotak pertama yang telah digambar di tanah. Biasanya kotak-kotak itu berbentuk salib, dan jumlah kotak sesuai kesepakatan. Setelah melempar gacu, pemain melompati kotak-kotak itu sampai ujung, kemudian kembali lagi. Begitu seterusnya hingga kotak terakhir. Setelah sampai pada kotak terakhir, gacu tersebut ditaruh di tangan. Sambil engklek, gacu tersebut dilempar bolak-balik di telapak dan punggung tangan. Bila bisa melewati itu dengan lancar maka dialah pemenangnya. Kesalahan terjadi saat salah satu pemain salah melempar koin, atau ketika pemain jatuh saat melompat. Bila terjadi kesalahan, maka giliran kelompok lain untuk melempar koin. Aturannya, bila di salah satu kotak terdapat gacu milik lawan, maka ia harus melompati kotak tersebut. Begitu seterusnya, siapa yang paling cepat menyelesaikan lompatan, dialah yang menjadi pemenang.
Dalam permainan Engklek tersebut kita dapat melihat nilai-nilai yang ada di dalamnya. Anak akan belajar konsentrasi dan berhati-hati dalam permainan tersebut. Saat membawa gacu sambil melompat dengan satu kaki, anak-anak akan dilatih untuk berhati-hati, bersabar dan konsentrasi agar gacu dan dirinya sendiri tidak jatuh. Selain itu, dalam permainan ini anak-anak dilatih untuk mengendalikan dirinya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara tidak langsung akan membentuk pribadi anak untuk bersikap dalam kehidupannya sehari-hari.
b. Bentengan
Betengan adalah salah satu bentuk permainan tradisional yang melibatkan tim. Permainan ini dilakukan oleh dua kelompok. Peralatannya pun tidak sulit untuk didapat. Hanya membutuhkan tempat yang cukup luas, dua tiang atau pohon yang jaraknya agak berjauhan yang akan digunakan sebagai benteng. Permainan ini dilakukan dengan saling menyerang benteng milik lawan. Para pemain berusaha menyerang dengan menyentuh beteng milik lawan. Masing-masing tim juga berusaha melindungi betengnya dari serangan lawan. Pemain yang tidak menyerang berjaga di bentengnya untuk melindungi serangan lawan. Bila pemain lawan terpegang oleh lawan lainnya, maka ia menjadi tawanan musuh. Untuk membebaskan temannya, teman satu timnya harus memegang benteng milik timnya terlebih dahulu, baru memegang teman yang tertawan agar bebas. Tim yang terlebih dahulu dapat menyentuh beteng musuh akan menjadi pemenang.
Permainan Bentengan ini melatih anak-anak untuk bekerja sama dalam tim. Secara tidak langsung anak-anak dilatih bersama dengan kelompoknya merancang strategi untuk meraih kemenangan, melatih bagaimana agar kelompoknya tidak bermain curang. Mereka juga dilatih untuk mencari pemecahan masalah ketika kelompok mereka berada pada posisi kalah. Dengan kata lain, permainan Betengan ini lebih mengasah kemampuan individu anak untuk bekerja sama dalam kelompok.
Setelah melihat beberapa contoh permainan beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita mengetahui bahwa banyak nilai positif yang terdapat di dalam permainan-permainan tersebut. Melalui permainan-permianan tersebut, proses penerusan budaya juga dilestarikan.
6. Kaitan Nilai-nilai Permainan Tradisional dengan Proses Sosialisasi Anak-anak dalam Masyarakat
Setelah melihat beberapa contoh permainan di atas beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita mengetahui bahwa banyak nilai positif yang terdapat di dalam permainan-permainan tersebut. Pada bagian ini akan ditampilkan bagaimana kaitan antara permainan tradisional tersebut dengan proses sosialisasi anak-anak dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini kami akan meninjau dari unsur-unsur yang ada di dalam sosialisasi itu sendiri, yaitu mengenai nilai, situasi sosial, komunikasi, dan identitas diri.
6.1 Nilai dan Norma Sosial
Nilai adalah segala hal yang dianggap baik dan jahat bagi kehidupan bersama. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi dan dicintai, dan diakui sebagai hal yang berguna bagi kehidupan manusia[4]. Sedangkan nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama[5]. Selain nilai sosial, dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya norma sosial, yaitu aturan hidup bersama. Dengan kata lain, norma-norma sosial tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut. Aturan-aturan ini menyangkut relasi antar manusia, serta relasi manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan permainan tradisional, kita dapat melihat nilai serta norma sosial yang ada di dalamnya. Dalam permainan Engklek, nilai-nilai yang terkandung adalah bagaimana anak-anak tersebut melihat sebuah arti kesabaran, konsentrasi, dan pengendalian diri. Saat seorang anak melompat dengan satu kaki dengan membawa gacu, ia harus bersabar dan hati-hati agar tidak jatuh. Ia secara tidak langsung mulai menanamkan nilai-nilai positif dari permainan tersebut. Dalam permainan Bentengan, banyak nilai yang bisa kita gali di sini. Salah satu nilai yang bisa kita petik adalah nilai kerja sama. Anak dapat mengasah sikap gotong royong dalam tim, dan melatih tim untuk bersikap jujur dalam mengambil keputusan.
Permainan tradisional tersebut juga mengajarkan sportivitas dan aturan bermain yang disepakati bersama. Memang benar bahwa sudah ada aturan umum dalam sebuah permainan tradisional. Namun demikian, untuk memulai suatu permainan pada suatu waktu, mau tidak mau, anak-anak berunding terlebih dahulu dan membuat kesepakatan bersama. Di sinilah norma sosial itu disosialisasikan
Dengan melihat nilai-nilai tersebut, kita dapat melihat proses sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam permainan tersebut. Nilai-nilai positif dari permainan tersebut juga termasuk nilai-nilai positif yang ada dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, dengan melakukan permainan tersebut anak-anak juga turut melestarikan budaya daerah setempat. Dengan kata lain proses sosialisasi nilai-nilai positif dapat tersalurkan melalui permainan- permainan ini. Sehingga, sebenarnya, permainan ini memiliki nilai sosial yang tinggi karena berperan menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat
6.2 Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu isi dari sosialisasi yang berhubungan dengan bahasa. Bahasa di sini dapat diartikan sebagai bahasa lisan, mimik, atau gerak tubuh. Yang dikomunikasikan bisa berupa perasaan, pikiran, pengetahuan atau dirinya sendiri[6].
Di dalam kedua permainan di atas (Engklek dan Bentengan), secara langsung maupun tidak, mengandung unsur komunikasi tersebut. Secara langsung, komunikasi yang nampak adalah bahasa lisan. Hal ini dapat dilakukan baik antar anggota tim atau antar tim lain. Dalam Betengan misalnya, teman satu tim saling berkomunikasi dengan memberi tahu, memberi isyarat untuk mengatur strategi menyerang lawan. Antar tim pun dapat saling melihat bagaimana tim lawan mengatur strategi, yaitu melalui gerak-gerik tubuh atau mimik lawan.
Secara tidak langsung, proses komunikasi ini merupakan sebuah penerusan atau pewarisan budaya. Artinya, ketika permainan itu dilakukan maka, secara tidak langsung permainan itu telah tersalurkan dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi komunikasi dalam permainan-permainan tradisional dapat tersalurkan. Anak-anak dapat belajar, secara khusus dalam berkomunikasi, untuk dapat ambil bagian dalam kehidupan sosialnya.
6.3 Identitas Diri
Identitas diri merupakan gambaran seseorang akan dirinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan bagaimana individu hidup dan berperan dalam masyarakat. Peran di dalam masyarakat pada dasarnya berada pada level sarana untuk mengungkapkan gambaran diri. Maka, yang menjadi persoalan ialah bagaimana persoalan itu tidak diidentifikasikan dengan gambaran serta nilai hakiki manusia, meskipun peranan di dalam masyarakat merupakan hal yang penting dan ikut menentukan gambaran serta nilai diri secara sosial.[7] Menurut paradigma interaksi simbolis, proses identifikasi diri ini berawal dari relasi individu dengan individu lain.
Dalam kaitannya dengan permainan-permainan tersebut, sosialisasi identitas diri juga dapat ditampilkan sebagai sesuatu yang penting. Di sini dapat dilihat bagaimana anak mengambil peran dalam permainan tersebut. Permainan Bentengan misalnya, bagaimana seorang anak mengambil posisi dalam penyerangan ke benteng lawan. Apakah ia menjadi pengatur strategi, penjaga, atau sebagai penyerang. Peran-peran di sini secara tidak langsung juga membentuk konsep diri individu dalam memandang dirinya dalam hidup sosialnya.
7. Penutup
Dari uraian di atas, permaianan tradisional memberikan peranan yang penting dalam proses sosialisasi bagi anak-anak. Pada dasarnya bermain adalah dunia anak-anak. Namun pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa orang dewasa tidak boleh bermain. Melalui permainan-permaianan tradisional anak dapat mulai berinteraksi dengan hidup sosialnya. Anak-anak mulai dikenalkan dengan teman sebayanya, belajar menghargai , kerja sama dalam satu tim. Dengan kata lain, anak-anak tidak lagi terkungkung pada tuntutan personalnya, melainkan diajak untuk melihat kebutuhan komunal. Selain itu secara perlahan-lahan diajak untuk mulai mengenal perannya dalam masyarakat. Anak-anak mulai diajak untuk mulai mengungkapkan gambaran dirinya dalam tatanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar